Mungkin, itu pula yang terjadi dengan Zaki anak kami. Beberapa kejadian membekas di hati dan pikirannya. Membuat dia belum sepenuhnya bisa membuka hati untuk bisa tanpa sekat dengan orang yang menjadi ayah kandungnya. Sehingga ia akan melakukan segala cara agar tidak harus memenuhi ajakan ayahnya agar tinggal bersama.Â
"Kalau gak mau mesantren, tinggalnya bareng ayah biar belajar agama bareng ayah nanti," begitu ucapan Danar tempi hari pada Zaki sebagai megosiasi.
"Zaki suka gak tempatnya?"Â
Entah sejak kapan tiba-tiba Wina ibu sambung Zaki sudah berdiri begitu dekat dengan analku.
Zaki hanya mengangguk, tanpa mengucapkan sepatah katapun. Kakinya melangkah menjauh sedikit menjaga jarak dengan Wina. Aku segera memberi kode, "engak apa-apa."
"Tuh lihat di sana! Nanti akan dibangun sport centre. Zaki nanti bisa main bola di sana. Zaki suka kan main bola?" tanya Wina lagi.Â
Tubunya yang sedikit lebih tinggi dariku, berusaha membungkuk untuk menyeimbangkan tingginya dengan Zaki. Kain abayanya yang berwarna hitam terjulur, menyapu lantai sekolah. Danar mendekat, menyentuh bahu perempuan bercadar itu dengan lembut sambil tersenyum.Â
Aku menelan saliva menyaksikan pemandangan itu. Di depan mataku sendiri aku menyaksikan bahwa mantan suamiku telah menemukan perempuan yang sangat diinginkannya sejak ia menyatakan diri untuk hijrah; seorang perempuan bercadar yang ia nikahi 5 bulan kemudian sejak pemgajuan perceraian kami.Â
Masih teringat jelas. Malam itu, setelah beberapa hari Danar pergi dari rumah dan mengemasi barangnya, Danar menelefonku. Dengan suara yang riang bertanya kabar. Ya, meskipun kami akan bercerai Danar tetap menganggapku sebagai teman baik, bahkan mungkin akulah satu-satunya teman terbaik dalam hidupnya adalah aku. Seorang perempuan yang pernah berada di daftar nama siswa di kelas yang sama saat SMA.Â
"Apa kabar, Dinda?" tanyanya malam itu.Â
"Alhamdulillah," jawabku singkat menjawab pertanyaan suamiku yang baru dua pekan menjatuhkan talak di pengadilan negeri dengan pergi sendiri tanpa persetujuanku.Â