Selanjutnya Marwah berangan-angan andai saja Andri bisa menjadi suaminya kelak.
Akan tetapi, benteng yang berada di antara mereka begitu terjal. Entah. Entah apa itu. Rasanya semesta tidak akan pernah menyatukan mereka dalam sebuah ikatan yang dinamakan sebuah pernikahan.Â
Usia keduanya saja terpaut cukup jauh. Pemikiran mereka tentu saja jauh berbeda. Lihatlah, saat itu marwah baru berusia 12 tahun. Seorang anak kecil yang masih duduk di kelas 6 SD. Anak ingusan yang sudah berani memikirkan urusan cinta dan pernikahan.
Sedangkan Andri berusia 26 tahun. Usia yang sudah cukup matang untuk menjalin hubungan ke jenjang yang lebih serius. Selain itu Andri juga tentunya memiliki pemikiran yang jauh lebih matang dan dewasa lebih dari usianya. Karena pengalaman dan caranya menyikapi hidup membuat lelaki ini sangat piawai dibandingkan lelaki seusianya.Â
Namun harapan tinggalah harapan. Marwah harus mengubur mimpi untuk memiliki pasangan hidup seorang alim.Â
Seseorang yang sejak dirinya duduk di bangku Sekolah Dasar sudah mengajarinya mengaji sampai akhirnya ia bisa membaca kitab suci Alkuran cukup baik kali ini.Â
Dialah ustadz yang begitu telaten. Mengajarinya huruf hijaiyah satu per satu kepada muridnya. Dia pula yang mengajarkan Marwah bagaimana rumitnya merasakan cemburu di usia yang sangat belia.Â
Mengetahui ustadzah Salma yang sering curi-curi pandang kepada Andri saat mengajar ngaji di madrasah itu sangat menyebalkan.Â
"Kak Salma suka ya sama Kang Andri?" tanya Marwah dengan nada ketus kepada Salma yang saat itu sama-sama mendapatkan tugas dari kepala desa untuk mengajar di pesantren kilat tingkat desa.Â
Salma hanya tersenyum, menanggapi pertanyaan anak kecil usia 12 tahun itu.Â
"Marwah tahu dari mana...?" tanya Salma dengan lembut. Membuat Marwah merasa kikuk sendiri. Kesal tapi bingung.