Sebuah buku usang tetap tergeletak di meja. Padahal Marwah sudah sangat ingin menyelesaikannya sekali lagi.
Iya, membaca buku novel itu memang tidak membosankan. Menyelesaikan halaman demi halamannya senantiasa menimbulkan semangat baru yang tumbuh bagaikan tunas kecil lalu berkembang menjadi kokoh.Â
Marwah pun pernah mengatakannya, bahwa dari membaca novel lah ia belajar banyak hal tentang hidup. Meskipun novel hanya tulisan fiksi, tetapi baginya, penggambaran yang disampaikan penulis senantiasa memberikan pesan mendalam.
Lupakan soal buku novel usang. Ramadan ini Marwah lebih senang membuka kitab suci. Sesuatu yang telah sangat lama dibiarkan. Nyaris usang seperti buku novel yang sudah lama tidak dibaca itu.Â
Detik waktu terasa sangat percuma jika hanya dihabiskan untuk bercanda, bercengkrama dan haha hihi. Bahkan sangatlah rugi jika waktu habis dipakai untuk berselancar di media sosial; menyimak gosip artis atau masalah politik dan negara yang semakin hari semakin menjemukan.
Lebih baik waktunya adigunakan untuk membaca Alkuran dengan harapan mendapatkan pahala berlipat ganda di bulan Ramadan yang penuh berkah ini.Â
"Sudah sampai juz berapa?" tanya Andri. Pertanyaan yang rutin dikirim lewat pesan singkat, atau telepon bertahun lalu.Â
Marwah pun tentu sangat bahagia mendapatkan pesan itu. Tak jarang ia merasa terbang dan hatinya begitu berbunga-bunga hanya karena mendapatkan pertanyaan itu.Â
"Mungkin inilah rasanya punya tambatan hati yang begitu saleh," gumamnya dalam hati.Â
Andri memang selalu berhasil membuat Marwah terpana. Entah itu caranya bicara dan perlakuannya yang membuat Marwah menjadi seseorang yang "diistimewakan" oleh seorang lelaki bernama Andri Wirawan. Guru ngaji, pengusaha muda dan aktivis lingkungan kala itu.
Selanjutnya Marwah berangan-angan andai saja Andri bisa menjadi suaminya kelak.
Akan tetapi, benteng yang berada di antara mereka begitu terjal. Entah. Entah apa itu. Rasanya semesta tidak akan pernah menyatukan mereka dalam sebuah ikatan yang dinamakan sebuah pernikahan.Â
Usia keduanya saja terpaut cukup jauh. Pemikiran mereka tentu saja jauh berbeda. Lihatlah, saat itu marwah baru berusia 12 tahun. Seorang anak kecil yang masih duduk di kelas 6 SD. Anak ingusan yang sudah berani memikirkan urusan cinta dan pernikahan.
Sedangkan Andri berusia 26 tahun. Usia yang sudah cukup matang untuk menjalin hubungan ke jenjang yang lebih serius. Selain itu Andri juga tentunya memiliki pemikiran yang jauh lebih matang dan dewasa lebih dari usianya. Karena pengalaman dan caranya menyikapi hidup membuat lelaki ini sangat piawai dibandingkan lelaki seusianya.Â
Namun harapan tinggalah harapan. Marwah harus mengubur mimpi untuk memiliki pasangan hidup seorang alim.Â
Seseorang yang sejak dirinya duduk di bangku Sekolah Dasar sudah mengajarinya mengaji sampai akhirnya ia bisa membaca kitab suci Alkuran cukup baik kali ini.Â
Dialah ustadz yang begitu telaten. Mengajarinya huruf hijaiyah satu per satu kepada muridnya. Dia pula yang mengajarkan Marwah bagaimana rumitnya merasakan cemburu di usia yang sangat belia.Â
Mengetahui ustadzah Salma yang sering curi-curi pandang kepada Andri saat mengajar ngaji di madrasah itu sangat menyebalkan.Â
"Kak Salma suka ya sama Kang Andri?" tanya Marwah dengan nada ketus kepada Salma yang saat itu sama-sama mendapatkan tugas dari kepala desa untuk mengajar di pesantren kilat tingkat desa.Â
Salma hanya tersenyum, menanggapi pertanyaan anak kecil usia 12 tahun itu.Â
"Marwah tahu dari mana...?" tanya Salma dengan lembut. Membuat Marwah merasa kikuk sendiri. Kesal tapi bingung.
Kini kejadian itu telah begitu lama berlalu. Marwah tidak lagi mendapatkan pesan yang berisi pertanyaan soal berapa juz yang telah dibaca. Lelaki idamannya itu kini telah bahagia dengan keluarganya. Menikah sesama anak pesantren. Meskipun bukan dengan Salma, tetapi hati Marwah tetap sama hancurnya.Â
"Doakan ya, Akang dua pekan lagi akan menikah. Nanti Marwah datang. Jangan lupa ajak ibu sekalian," ucap Andri sambil menyerahkan sepucuk undangan berwarna biru langit. Di sana tertera namanya dan mempelai wanita, lengkap dengan gelar akademik yang berderet di berderet di belakang nama masing-masing.
Marwah mengangguk, berusaha tersenyum, "insyaalah datang!" jawabnya.Â
Lalu sesaat kemudian Marwah berlari ke kamar dan mengunci diri. Menangis berhari-hari, membuat sang ibu bersedih karena putrinya tidak mau makan. Kalau malam trrlihat sering terjaga, melamun, dan tampal kehilangan semangat.
Sampai akhirnya ibu Marwah meninggal. Andri kembali datang sebagai penyemangat.Â
"Doa dan amal ibadah seorang anak adalah bekal orangtua di alam kubur dan yang akan menolong mereka di akhirat kelak. Jangan putus berdoa. Allah Maha Pengabul Keinginan," ucap Andri.Â
"Jodoh, kematian semua adalah ketentuan Allah, Marwah. Tidak ada yang bisa menebak. Belajarlah ikhlas menerima semua ketetuan Allah. Insyaalah hidup akan jauh lebih tenang," katanya lagi.Â
Marwah yang masih diliputi rasa gundah pun perlahan dapat menerima dan merelakan. Penerimaan terhadap kepergian sang ibu dan pernikahan Andri dengan perempuan yang lebih dewasa perlahan dapat diterimanya. Ya, semua karena Allah telah menggariskan takdirnya.Â
Kini, usia Marwah 29 tahun dan Andri 43 tahun. Marwah yang helum juga menikah, merasa belum menemukan sosok yang dapat membukakan pintu hatinya. Bagi Marwah tidak ada lagi lelaki selengkap Andri. Andai saja lelaki itu memilihnya sebagai istri, maka lelaki itu layak dinyatakan sempurna. Sayang sekali dia memilih orang lain yang bisa jadi cintanya tidak akan sebesar cinta yang dirasakan Marwah kepadanya.Â
Pertengahan Ramadan Marwah sudah menyelesaikan baca Alkuran dua kali. Larut dalam bacaan ayat suci seolah menjadi manifestasi pembuktian cinta kepada lelaki itu.Â
"Aku memang tidak mendapatkan cinta dan pendampinganmu dalam membaca ayat-ayat Allah. Namun kini aku akan membuktikan, bahwa karena kekuatan kata-katamu puluhan tahun lalu lah aku menjadi seperti ini.Â
Tidak ada lagi yang lebih menarik kini. Hatiku pun tidak lagi bisa terbuka untuk orang lain. Aku hanya menginginkanmu. Bukan yang lain.Â
Aku tidak akan mencari, apalagi menjemput. Biar lah Allah yang mendatangkan jodohku.Â
Aku sudah lelah. Membuka hati tetapi yang datang lagi-lagi tidak sepertimu.Â
Akhirnya aku tutup kembali. Sekali lagi, biarlah Allah yang mendatangkanya. Aku rela... Aku pasrah...."
Marwah menutup kitabnya. Lelehan air mata membasahi kedua pipinya.Â
Marwah menghela napas. Mengambil ponsel, lalu mengetik sebuah nama di pencarian google.Â
Beberapa gambar ditemukan.Â
"Sekarang kamu sudah semakin sukses. Sudah lebih bahagia dengan keluargamu. Sementara aku di sini, masih terperangkap dalam keinginan semu. Yang kupupuk sejak masih anak-anak. Yang tanpa kusadari tumbuh begitu saja. Semakin kuat dan tidak lagi dapat aku kuasai.Â
Aku mencintaimu tanpa lelah. Kini bahagialah kau dengan seseorang yang telah kau pilih dan Allah pilihkan untukmu. Semoga kelak Allah datangkan seseorang yang sepertimu. Atau tidak pun tidak apa-apa. Asal mampu membuatku lupa tentang kamu."
Hari sudah petang, sebentar lagi adzan magrib datang. Marwah menutup halaman pencarian. Menghela napas lebih panjang. Mengembuskannya.
Selembar beban hilang, dibawa pergi angin dingin yang menelusup lewat celah jendela rumahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H