"Aku sudah tahu siapa yang sebenarnya mencelakaimu," ucap Nala dengan napas terengah-engah.Â
Langkahnya begitu terburu ketika mendatangiku. Baju gamisnya yang terlalu panjang disingkapnya demi untuk mempercepat langkah sampai betisnya yang membulat terlihat jelas.
Aku yang sejak tadi asik duduk santai di teras rumah memintanya tenang dan duduk di kursi butut peninggalan bapak.
"Duduk saja dulu! Datang-datang kok langsung heboh." ucapku.
Nala menurut seraya menyeka bulir peluh di keningnya dengan kain kerudung.
"Ini derius, Ann!" katanya dengan sorot mata tajam ke arahku.Â
Aku hanya tersenyum sinis malas menanggapi. Aku sudah bisa menebak apa yang akan dibahasnya.
Sejak kapan seluruh hal dalam hidupku menjadi hal yang tidak serius bagimu, Nala? gerutuku dalam hati.
Nala memang selalu peduli tentang ABCD sampai Z perihal kehidupanku. Walau kadang aku pun merasa jengah jika sudah ada yang mencampuri urusan pribadiku terlalu dalam.
Namun sejak kakiku patah dan tidak bisa berjalan seperti sekarang, memang hanya Nala lah yang selalu setia menjenguk dan menghiburku. Menemani ngobrol dan membantu beberapa keperluan yang aku butuhkan. Boleh dibilang, memang Nala yang paling setia saat aku ada di titik terendah seperti saat ini.