Mohon tunggu...
Diantika IE
Diantika IE Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Penulis, Blogger, Guru, Alumnus Pascasarjana PAI UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Antara Kesetiaan dan Dendam Perempuan

11 Agustus 2021   19:40 Diperbarui: 11 Agustus 2021   19:41 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 "Aku telah selesai," bisiknya nyaris tidak terdengar. Wajahnya pucat pasi. Tangannya gemetar. Napasnya tidak beraturan. Sesaat kemudian perempuan itu ambruk di lantai tua kotor berkerak debu. Bajunya penuh dengan bercak darah. Pisau yang ada di genggamannya jatuh ke lantai menghasilkan bunyi dentangan yang nyaring bersaing dengan suara gemerisik air hujan yang begitu deras. Tembok lembab berlumut menjadi saksi kejadian malam itu.   

Angga bergeming. Berdiri memaku di tempatnya. Bajunya basah kuyup. Pikirannya kacau. Tidak menyangka jika gadis yang sangat dicintainya tega mengambil jalan yang di luar nalar. Rasanya terlalu kotor jika mahluk secantik dan selembut Ayu tega melakukan perbuatan kriminal paling menyakitkan.

Ia memang benci kepada Wahyu, tetapi ia tidak menyangka jika Ayu akan betul-betul melakukannya. Rasa sesal meliputi pikirannya. Mengapa ia datang terlambat sehingga tidak dapat menghentikan semuanya.

Dengan langkah gontai, Angga mendekati jasad Wahyu yang tergeletak di dekat sova lusuh. Baju biru mudanya penuh darah. Bau amis menyengat. Kondisi Wahyu sangat mengenaskan.

Angga yang lemas duduk di kursi itu. Menyesali segalanya. Wahyu adalah temannya sejak duduk di bangku SMA. Mereka memang bukan sahabat baik. Namun mereka cukup lama berteman. 

Angga kenal baik dengan Wahyu. Jika saja Wahyu tidak suka main perempuan, maka ia akan sangat menyenangi temannya itu. Sikapnya yang supel kepada semua orang disenangi Angga. Namun jika sudah urusan main perempuan Angga paling membencinya dan memilih untuk tidak terlalu peduli lagi dengan pertemanna mereka.

Dua tahun lebih pertemanan mereka renggang. Sejak Angga mengetahui jika Wahyu menyukai Ayu. Angga tidak pernah tahan ketika Ayu berkali-kali mengeluh bahwa Wahyu menggodanya dengan berbagai cara bahkan nyaris melakukan perbuatan asusila di depan umum.

Bersyukur, kebencian yang memuncak di kepala Angga tidak lantas menghilangkan akal sehatnya. Ia masih waras dan berusaha meredam segala emosi yang ada. Walaupun perasaannya teramat sakit ketika perempuan yang sangat dicintainya diperlakukan dengan buruk, karena telah menolak cintanya.

"Angga, jangan marah sama aku ya," suara Ayu di tengah isak tangisnya satu tahun lalu ketika mereka bertemu melepas rindu. Hubungan jarak jauh yang mereka jalani membuat keduanya harus bekerja keras untuk saling menjaga kepercayaan.

"Kenapa, Yu?" tanya Angga dengan lembut.

Ayu bergeming. Kepalanya tertunduk  air matanya mulai menetes perlahan membasahi pipinya. Tak lama kemudian Ayu berhambur ke pelukan, menangis sejadinya.

Wahyu telah mempermalukannya di depan umum. Ayu bekerja di kantor yang sama dibuat malu oleh lelaki itu. Sekali lagi Wahyu menyatakan cinta kepada Ayu di acara ulang tahun perusahaan. Lantas Ayu menolak dengan alasan sudah memiliki kekasih. Namun Wahyu tidak terima, kali ketiga ia menyatakan cintanya kembali mendapatkan penolakan. Sampai akhirnya Wahyu berteriak di depan umum, bahwa suatu saat ia akan berhasil meniduri Ayu. Setelah kejadian itu Ayu selalu ada di dalam bayang-bayang ancaman Wahyu.

Angga sendiri telah menyarankan untuk Ayu pindah kerja. Akan tetapi ikatan kontrak kerja dan kebutuhan pengobatan ibu dan sekolah adik-adiknya membuat Ayu tidak punya pilihan. Mau tidak mau Ayu harus tetap bertahan di sana, setidaknya sampai kontrak kerja habis. Angga pun tidak bisa berbuat apa-apa.

Sampai suatu hari Ayu datang menangis mendapat kabar yang sangat memilukan bagi dirinya. Ketika Angga memilih untuk pergi menjauh untuk mencari pekerjaan yang lebih menjanjikan demi agar secepatnya menikahi dan menyelamatkan Ayu dan keluarganya. Sepeninggalan Angga pergi keluar kota, ternyata Wahyu semakin semena-mena. Memaksa Ayu menerima cintanya. Wahyu datang ke rumah Ayu dan melamar gadis itu di depan sang ibu yang sakitnya semakin parah.

Wahyu menjanjikan biaya pengobatan Ibu, membuat Ayu tidak memiliki pilihan lain selain menerimanya demi kesembuhan ibunya. Ayu dan Wahyu akhirnya bertunangan. Hal itulah yang menggiring Ayu datang menemui Angga ketika kembali ke kota mereka.

"Kenapa kamu tidak pernah memberiku kabar?"

"Aku tidak punya pilihan lain. Ancaman Wahyu lebih besar daripada perlindungan yang aku dapatkan dari lelaki yang mengaku kekasihku."

Kalimat Ayu tersebut begitu menohok. Memang benar, selama ini Angga hanya mampu mengingatkan Ayu untuk lebih berhati-hati dengan Wahyu. Tanpa bisa melakukan perlindungan yang benar-benar nyata.

Angga benci dengan ketidak berdayaannya. Bahkan kini ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri. Karena ketidakmampuannya menolong Ayu, gadisnya itu telah nekat menghabisi nyawa seseorang.

"Aku sudah tidak tahan lagi Angga...." Isak tangis Ayu sore tadi di ujung telepon.

"Apa yang Wahyu lakukan kepadamu? Jelaskan padaku!"

"Tidak ada gunanya aku menjelaskan. Pada akhirnya kamu akan dibakar api cemburu dan  menyalahkan aku seperti biasanya. Kamu tidak pernah paham bagaimana rasanya menjadi aku. Wahyu adalah lelaki paling berengsek yang pernah aku temui."

"Katakan Ayu!"

"Apa yang harus aku katakana lagi? Pada akhirnya kamu tidak akan pernah bisa melakukan apapun kepadanya sebagai bentuk pembelaanmu kepadaku."

Angga terdiam. Kemudian, "relakan saja aku. Jangan pernah mencariku lagi. Mungkin sudah jadi takdirku untuk menjadi budaknya Wahyu."

Sambungan telepon terputus. Sejenak kemudian pikiran-pikiran buruk datang bergantian di kepalanya. Sejumput sesal memenuhi perasaan. Angga memang terlalu acuh membiarkan Ayu berjuang sendirian. Ia menuntut menuntut kesetiaan, tetapi ia membiarkan Ayu diganggu lelaki lain. Seharunya ia bertindak dan menyelesaikan semuanya. 

Apa daya, Angga selalu merasa tidak memiliki kemampuan untuk itu. Ia tahu betul jika Wahyu mampu memberikan semua yang Ayu butuhkan. Alasan itu pula yang mungkin menjadikan Wahyu begitu senang main perempuan dan menganggap bahwa perempuan bisa dibeli dengan kekuasaan dan uang.

Hanya saja tidak demikian dengan Ayu. Ayu adalah perempuan yang bisa dipercaya. Dengan modal kepeercayan itulah Angga membiarkan Ayu menghadapinya sendirian. Angga yakin bahwa hati Ayu hanya terpaut kepadanya.

Etelah menerima telepon itu ada sebuah tekada dalam diri Angga. Kali ini Angga tidak mau egois. Ia harus menemui Ayu di kotanya. Sore hari, Angga mengendarakan motornya secepat mungkin. Mencari tahu keberadaan Ayu petang itu bukan hal yang mudah. Setelah melakukan berbagai usaha akhirnya ia mengetahui jika Ayu ada di sebuah rumah tua yang belakangn diketahui sebagai rumah milik mendiang orangtua Wahyu. 

Namun sayang, Angga terlambat datang. Ayu telah selesai menunaikan dendamnya. Kini hanya sesal yang tersisa.

"Angga...," panggil Ayu dengan suara gemetar.

Angga meberanikan diri mendekati perampuan itu. Berjongkok di hadapan Ayu yang masih lemas besimpuh di lantai tanpa bisa mengeluarkan sepatah katapun.

"Kamu boleh pergi sekarang. Jangan pernah lagi mencariku," ucap Ayu begitu dingin.

"Kenapa?"

"Aku akan menyerahkan diriku ke polisi, kekesalanku sudah terbalaskan."

"Ayu, maafkan aku," bisik Angga.

"Tidak ada yang perlu disesalkan. Maafku tidak perlu kau minta. Aku mencintaimu tanpa syarat.  Namun nyatanya semua orang berhak melakukan apapun sesuai apa yang diinginkannya bukan? Seperti aku yang ingin menghabisi dia. Pun semua orang boleh tidak melakukan apa yang tidak ia inginkan. Termasuk ketidak inginanmu menolong dan membantu ketidakberdayaanku menghadapi manusia licik itu."

Kalimatnya terucap gamblang. Seolah tanpa beban. Perempuan itu sadar betul jika apa yang ia lakukan sudah berada di dalam urutan rencananya. Kebencian kepada Wahyu sudah menguasai sanubarinya.

"Kenapa kamu tega melakukannya?" Angga memberanikan diri untuk bertanya hal yang sebenarnya tidak berguna. Karena Wahyu tidak akan pernah kembali.

"Jika kamu tahu, maka kamu pun akan termotivasi untuk melakukan hal yang sama," jawab Ayu dengan penuh kebencian.

Suara sirine mendekat. Tidak lama kemudian polisi datang membawa Ayu. Beberapa dari mereka menangani jasad korban.

Ayu memeluk Angga erat sesaat sebelum polisi membawanya pergi.

"Aku sangat mencintaimu. Sampai kapanpun. Hatiku milikmu seutuhnya, Angga. Hanya satu yang perlu kamu tahu, kadang perempuan dihadapkan kepada keadaan yang di luar kuasanya. Maafkan aku telah menjadi pembunuh. Biar aku kurangi jumlah lelaki biadab di bumi ini. Dan kamu, jadilah lelaki baik sampai kapanpun."

Ayu melepaskan pelukannya. Lalu melempar semyuman yang begitu penuh makna.

Malam meninggi. Hujan menyisakan basah di pelataran tanah halaman rumah tua. Orang-orang mulai berdatangan mencari tahu alasan perihal penangkapan seorang perempuan di rumah tua.

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun