"Mbak bantu aku untuk mencarinya," pintaku pada Mbak Isah dan Mbak Nida.Â
"Tidak usah khawatir. Nunik kan udah dewasa nanti juga ketemu," jawab Mbak Isah.Â
Hatiku tidak tenang sebelum menemukan Nunik. Ada sesuatu yang aneh dalam pikiranku. Terakhir Nunik menelefon bahwa dia sudah berada di belakang kampus tempat dimana lorong gelap menuju mushola dimulai.Â
Kami bertiga menyusuri lorong kembali untuk menuju posko pengemasan barang bantuan untuk orang-orang yang terdampak covid. Kami tergabung pada gabungan relawan provinsi. Kawan yang lain sudah pulang sejak sebelum Magrib. Kami memilih melaksanakan salat terlebih dahulu, karena perjalanan jauh menuju pulang.Â
Pencarian keberadaan Nunik terus kami lakukan. Berkali-kali aku mencoba menelefonnya, telefon tersambung namun tidak ada jawaban.Â
Ketika kami melangkahkan kaki, kami dikagetkan dengan suara dering ponsel sayup-sayup dengan suara hujan. Ponsel Nunik tergeletak di sudut lorong yang  gelap, menimbulkan cahaya yang mencolok.Â
Pikiran kami mulai kacau. Apa yang sebenarnya telah terjadi menimpa Nunik.
Hujan semakin deras, membuat suasana semanik mencekam.
"Nik..., Nunik...!" panggil Mbak Nida memecah kebisuan kami.Â
"Kamu di mana?" Mbak Nida mengulang teriakannya. Sesuatu bergerak di belakang kami. Langkah kami terhenti. Kaki seakan begitu berat melangkah. Ada beban berat menghambat langkah kaki kami.Â
Sebuah benda dingin dan lembab, kurasakan memegangi pergelangan kakiku. Aku ingin berteriak, tetapi mulutku mendadak gagap. Aku melihat ekspresi yang sama di wajah kedua temanku. Samar-samar  terlihat di bawah cahaya lampu yang temaram. Mbak Isah dan Mbak Nida pun tampak meingis dan ingin melepaskan beban masing-masing. Mbak Isah membacakan ayat-ayat sebisanya. Aku dan Mbak Nida melakukan hal yang sama.Â