Salah satu reaksi atas tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah bahwa tes itu terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles Sperrman mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum saja (general factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik. Teori ini disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence). Alat tes yang dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak.
Di samping alat-alat tes di atas, banyak dikembangkan alat tes dengan tujuan yang lebih spesifik, sesuai dengan tujuan dan kultur di mana alat tes tersebut dibuat.
Inteligensi dan Bakat
Inteligensi merupakan suatu konsep mengenai kemampuan umum individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam kemampuan yang umum ini, terdapat kemampuan-kemampuan yang amat spesifik. Kemampuan-kemampuan yang spesifik ini memberikan pada individu suatu kondisi yang memungkinkan tercapainya pengetahuan, kecakapan, atau ketrampilan tertentu setelah melalui suatu latihan. Inilah yang disebut Bakat atau Aptitude. Karena suatu tes inteligensi tidak dirancang untuk menyingkap kemampuan-kemampuan khusus ini, maka bakat tidak dapat segera diketahui lewat tes inteligensi.
Alat yang digunakan untuk menyingkap kemampuan khusus ini disebut tes bakat atau aptitude test. Tes bakat yang dirancang untuk mengungkap prestasi belajar pada bidang tertentu dinamakan Scholastic Aptitude Test dan yang dipakai di bidang pekerjaan adalah Vocational Aptitude Test dan Interest Inventory. Contoh dari Scholastic Aptitude Test adalah Tes Potensi Akademik (TPA) dan Graduate Record Examination (GRE). Sedangkan contoh dari Vocational Aptitude Test atau Interest Inventory adalah Differential Aptitude Test (DAT) dan Kuder Occupational Interest Survey.
Inteligensi dan Kreativitas
Kreativitas merupakan salah satu ciri dari perilaku yang inteligen karena kreativitas juga merupakan manifestasi dari suatu proses kognitif. Meskipun demikian, hubungan antara kreativitas dan inteligensi tidak selalu menunjukkan bukti-bukti yang memuaskan. Walau ada anggapan bahwa kreativitas mempunyai hubungan yang bersifat kurva linear dengan inteligensi, tapi bukti-bukti yang diperoleh dari berbagai penelitian tidak mendukung hal itu. Skor IQ yang rendah memang diikuti oleh tingkat kreativitas yang rendah pula. Namun semakin tinggi skor IQ, tidak selalu diikuti tingkat kreativitas yang tinggi pula. Sampai pada skor IQ tertentu, masih terdapat korelasi yang cukup berarti. Tetapi lebih tinggi lagi, ternyata tidak ditemukan adanya hubungan antara IQ dengan tingkat kreativitas.
Para ahli telah berusaha mencari tahu mengapa ini terjadi. J. P. Guilford menjelaskan bahwa kreativitas adalah suatu proses berpikir yang bersifat divergen, yaitu kemampuan untuk memberikan berbagai alternatif jawaban berdasarkan informasi yang diberikan. Sebaliknya, tes inteligensi hanya dirancang untuk mengukur proses berpikir yang bersifat konvergen, yaitu kemampuan untuk memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan informasi yang diberikan. Ini merupakan akibat dari pola pendidikan tradisional yang memang kurang memperhatikan pengembangan proses berpikir divergen walau kemampuan ini terbukti sangat berperan dalam berbagai kemajuan yang dicapai oleh ilmu pengetahuan.
Belajar
Belajar Pemecahan Masalah (Problem Solving)
Belajar pemecahan masalah pada dasarnya adalah belajar untuk
memperoleh keterampilan atau kemampuan memecahkan berbagai
masalah secara logis dan rasional. Tujuannya ialah memperoleh
kemampuan atau kecakapan kognitif guna memecahkan masalah secara
tuntas. Untuk itu, kemampuan individu dalam menguasai berbagai
konsep, prinsip, serta generalisasi, amat diperlukan.
Belajar Rasional (Rational Learning)
Belajar rasional adalah belajar dengan menggunakan kemampuan
berpikir secara logis atau sesuai dengan akal sehat. Tinjuannya ialah
memperoleh beragam kecakapan menggunakan prinsip-prinsip dan
konsep-konsep. Jenis belajar ini berkaitan erar dengan belajar
pemecahan masalah. Dengan belajar rasional, individu diharapkan
memiliki kemampuan rationnl problem solving, yaitu kemampuan
memecahkan masalah dengan menggunakan pertimbangan dan
strategi akal sehat, logis, dan sistematis.
Belajar Kebiasaan (Habitual Learning)
Belajar kebiasaan adalah proses pembentukan kebiasaan baru atau
perbaikan kebiasaan yang telah ada. Belajar kebiasaan, selain
menggunakan perintah, keteladanan, serta pengalaman khusus, juga
menggunakan hukum dan ganjaran. Tujuannya agar individu
memperoleh sikap dan kebiasaan perbuaran baru yang lebih tepat dan
lebih positi{ dalam arti selaras dengan kebutuhan ruang dan waktu
atau bersifat kontekstual.
Belajar Apresiasi (Appreciation Leorning)
Beiajar apresiasi pada dasamya adalah belajar mempertimbangkan nilai
atau arri penting suatu objek. Tirjuannya agar individu mempe,roleh
dan mengembangkan kecakapan ranah rasa (effective s/cills), dalam hal
ini kemampuan menghargai secara tepat, arti penting objek tertentu,
misalnya apresiasi sastra, apiesiasi musik, dan apresiasi seni lukis.
Dalam mengapresiasi mutu karya sastra, rnisalnya, seorang individu
perlu mengetahui "hakikat keindahan" (estetika) di samping
mengetahui hal-hal lain, seperti bentuk ungkapan, isi ungkapan, bahasa
ungkapan, dan nilai ekspresinya
Bidang studi agama juga memungkinkan untuk digunakan sebagai
alat pengembangan apresiasi individu, misalnya dalam hal seni baca
tulis Al- Quran.