Jakarta Pada Masa Nasional
Pada masa ini perubahan dan perkembangan Kota Jakarta mengalami kondisi yang tidak jauh berbeda dari masa sebelumnya. Yang unik dari kota ini barangkali sejarah perjalanannya yang menjadi pusat pemerintahan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Tatapi hal ini tidak menutup kemungkinan kota ini untuk terus berkembang menjadi sebuah kota nasional kebanggaan Indonesia yang dinamis dan dramatis.Â
Pada awal-awal kemerdekaan, Soekarno memiliki peran yang sangat penting bagi pembangunan di jakarta. Pada saat itu jakarta ingin memiliki suatu ciri khas yang menunjukan kepada dunia bahwa indonesia bisa untuk memerintah negaranya dengan baik. Beberapa landmark dibangun seperti, Monumen Nasional, Jembatan Simpang Semanggi, Kompleks Istora Senayan, dan masih banyak lagi peninggalan era Soekarno yang masih bertahan hingga kini. Tetapi ironisnya permasalahn jakarta tidak pernah kunjung usai, mulai dari bencana banjir yang melanda setiap tahun, kepadatan penduduk yang besar, dan kepadatan transportasi yang membuat kemacetan tidak dapat dihindarkan.Â
Angka resmi memperlihatkan berlipatgandanya populasi dari 823.000jiwa pada 1948 menjadi 1.782.000 jiwa pada tahun 1965, lalu pada pertengahan 1950-an bertambah lagi menjadi 3.813.000 jiwa. 13Akibat dari permasalahan ini pemerintah menambah luas Kota Jakarta menjadi tiga kali lipat dari batas kota yang lama pada tahun itu. Perluasan wilayah ini merupakan tanggapan dari bertambahnya jumlah penduduk, mengingat bahwa daerah sekitaran kota masih jarang penduduknya. Sebagian besar masyarakat Jakarta adalah para pendatang, berdasarkan survei pada tahun 1953, bahwa 75% penduduk disana kelahiran luar Jakarta, dari jumlah ini setengahnya bermigrasi sejak tahun 1949.14Â
Lantas, mengapa mereka ingin datang ke Jakarta?, mereka datang dalam jumlah besar dikarenakan faktor ekonomi yang enganggap bahwa dengan hidup di Jakarta mereka akanmudah dalam mencari penghasilan sehari-hari. Tetapi mayoritas yang datang ke Jakarta tidak memiliki kemampuan skill dalam bekerja, sehingga banyak diantaranya yang menjadi masayarakat tunawisma, dan malah menjadi permasalahan baru di Kota Jakarta itu sendiri.Â
Selain banyaknya penduduk juga berakibat pada masalah banjir, hal ini dikarenakan banyak masyarakat yang tinggal di sekitaran kali yang membuat kali tersebut kehilangan daya tampungnya, selain itu kebiasaan buruk masyarakat yang menganggap bahwa sungai adalah tempat sampah juga memengaruhi kualitas dan daya tampung sungai itu sendiri. Sehingga bencana banjir sering melanda Kota Jakarta.Â
Selain permasalahan itu Jakarta juga mengalami permasalahan kesehatan yang buruk, hal ini terjadi lantaran kurangnya penanganan dari pihak pemerintah dan masyarakat terhadapkebersihan kota Jakarta. Penyakit kolera dan malaria masih menghantui kehidupan di Kota Jakarta pada tahun 1970-an. Tetapi pada masa ini telah ada program perbaikan kampung yang bernama Proyek Muhammad Husni Thamrin. Proyek ini dirancang oleh Gubernur Ali Sadikin pada pada periode 1969-1976, dimana sebanyak 166 kampung yang berpenduduk hampir dua juta orang diperbaiki dengan menelan biaya Rp. 22.439.000.000 atau sekitar 11.000 rupiah per individu. Dengan cara inilah penduduk kampung merasakan manfaatnya.
Tetapi, dalam skala yang lebih luas, Proyek M.H. Thamrin telihat sangat kecil anggarannya jika dibandingkan pengeluaran lainnya untuk Jakarta. Menurut catatan Bank Dunia dipertanyakan kecilnya dana yang hanya disisihkan sebanyak 15-20 persen dari anggaran kota untuk memperbaiki kampung yang merupakan tempat tinggal sekitar 60 persen populasi kota.16 Sebagian besar anggaran kota dihabiskan untuk keperluan fasilitas seperti, jalan, listrik, dan air ledeng yang digunakan oleh kalangan berduit. Pada akhir masa Ali Sadikin, hanya 15 persen masyarakat yang mampu untuk menggunakan fasilitas air ledeng.
Permasalahan transportasi juga mengalami hal yang rumit, diman pada masa Ali Sadikin dirancang sebuah program yakni, penghapusan becak sebagai angkutan umum di kawasan Jakarta yang dinilai mengganggu aktivitas perkotaan. Ada dua alasan mengapa becak ini harus dihapus dari Jakarta. Yang pertama, sebagian besar pengemudi becak adalah masyarakat migran yang tentu sangat memenuhi kepadatan penduduk di Jakarta. Dan yang kedua, gambaran ini tidak sesuai dengan Kota Metropolitan Jakarta.18 Hal ini wajar karena pada 1970, terdapat 92.650 becak yang terdaftar secara resmi di Jakarta, namun secara tidak resmi jumlahnya diperkirakan mencapai 150.000 becak.19Penghapusan becak pun mendapatkan respon yang beragam dari masyarakat dikarenakan becak merupakan sumber penghasilan bagi sekitar 1.200.000 orang. Namun, sampai saat ini becak tidak serta merta menghilang dikarenakan terdapat kecintaan masyarakat yang mendalam kepada becak yang sudah ada dari tahun 1940-an.
Selain itu juga terjadi masalah yang sangat rumit, yaitu permasalahan dalam pembebasan lahan untuk keperluan pembangunan kota yang dilakukan oleh pemerintah Propinsi Jakarta. Salah satu yang terburuk terjadi pada November 1975 di kawasan Bendungan Hilir. Menurut tata kota daerah ini akan digunakan sebagai kawasan hijau, sebanyak 250 unit rumah dibongkar tanpa dana kompensasi yang jelas. Akibatnya rakyat pun menolak pembangunan kawasan hijau tersebut dan melaporkan pemerintah kepada pihak Lembaga Bantuan Hukum (LBH), sebuah organisasi yang didirikan oleh Adnan Buyung Nasution pada 1970-an.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H