Mohon tunggu...
Dian Purnomo
Dian Purnomo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Dian Purnomo

Berisi tentang berbagai peristiwa sejarah dan humaniora.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sejarah Perjalanan Problematika Kota Jakarta

26 Maret 2021   23:48 Diperbarui: 26 Maret 2021   23:53 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sejarah perjalanan Kota Jakarta telah banyak mengalami perubahan yang dinamis dan dramatis yang membuat para peneliti semakin bingung dalam mencari kesinambungan dan  keterkaitan antara peristiwa satu dengan yang lainnya. Dalam perjalanannya Kota Jakarta  juga mengalami berbagai masalah, mulai dari kepadatan penduduk, penenganan banjir, dan  masalah kepadatan kendaraan. Semua masalah ini harus dihadapi oleh para pemimpin Kota  Jakarta, mulai dari masa pra-kolonial, kolonial, hingga nasional. Tetapi pada kesempatan kali ini saya hanya memfokuskan kepada kajian perjalanan problematika pada masa kolonial dan nasional saja. 

Asal mula Kota Jakarta sebagai kota pelabuhan dapat ditelusuri pada abad ke-12. Ketika itu, disebutkan adanya sebuah kota yang bernama Sunda Kelapa yang merupakan pelabuhan dari Kerajaan Hindu-Jawa bernama Padjajaran. Pada masanya Pelabuhan Sunda Kelapa menjadi kawasan yang strategis bagi perdagangan rempah-rempah yang dilalaui berbagai kapal, mulai pedagang Eropa, Afrika, Gujarat, dan Cina berkumpul disatu titik untuk berdagang antar komoditas import berharga seperti, rempah-rempah dari Nusantara, Porselin dan lilin dari Cina, budak dari Afrika, dan koin perak dari Eropa.

Dengan tumbuhnya perdagangan di kawasan Sunda Kelapa dan sekitarnya, wilayah ini menjadi sangat sejahtera dan makmur, karena setiap kapal yang melintasi pelabuhan Sunda Kelapa dan yang membongkar muat di pelabuhan tersebut dikenakan pajak dan cukai perdagangan. Hal inilah yang dikemudian hari menjadi perebutan beberapa penguasa yang ingin menguasai perdagangan di kawasan Sunda Kelapa itu sendiri. 

Pada masa selanjutnya kota ini sering mendapatkan berbagai ancaman. Pada saat yang sama Kesultanan Banten mengutus panglimanya yang bernama Fatahillah untuk menaklukan kota ini dan mengubahnya menjadi wilayah kedaulatan dari Kesultanan Banten, lalu mengganti nama Pelabuhan Sunda Kelapa menjadi Jayakarta yang bermakna "kemenangan atau kejayaan". Peristiwa tersebut dipilih oleh pemerintah Jakarta sebagai hari ulang tahun Kota Jakarta pada 22 Juni, yang selalu dirayakan setiap tahunnya. 

Jakarta Pada Masa KolonialKetertarikan bangsa Eropa terhadap Nusantara tidak dapat dipisahkan dari perdagangan komersial Nusantara, pada abad ke-16 dan ke-17 difokuskan pada rempahrempah yang merupakan komoditas jarak jauh yang sangat menguntungkan bagi pihak Eropa. Jayakarta menjadi tempat yang strategis dalam menyediakan fasilitas dan komoditas, di sebelah barat terdapat lada dan tebu, sedangkan di sebelah timur menghasilkan berbagai macam rempah, mulai dari pala, cengkeh, dan kapulaga. Hal inilah yang menjadikan Jayakarta sebagai eilayah yang sangat kompleks dari segi keterjangkauan terhadap sumber-sumber komoditas import. 

Masuknya bangsa Eropa telah merusak sistem perdagangan dikarenakan saling bersaing dan memonopoli perdagangan di wilayah tersebut. Sehingga Jayakarta menjadi medan pertempuran antara berbagai pihak yang saling berebut kepentingan. Pada awal abad ke-17 baik Belanda maupun Inggris membentuk sebuah perserikatan perusahaan besar yang beroperasi dikawasan Hindia Timur. VOC dan EIC saling bersaing dalam mencari sumber kekayaan di kawasan ini.Pada tahun 1602 berdiri sebuah perusahaan multinasional Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang dijalankan oleh sebuah dewan direktur yang disebut sebagai Hereen XVII, yakni 17 orang perwakilan para pemengang saham.

Terdapat berbagai motif Belanda dengan VOC-nya dalam menaklukan Kota Jayakarta, yang pertama Kota Jayakarta memiliki sebuah pelabuhan yang sangat strategis dalam perlayaran samudra. Dan yang kedua Belanda merasa bahwa markas perdagangan di kawasan Ambon kurang strategis dan memiliki perairan laut dalam yang menyulitkan kapal dalam berlayar, hal ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan pelabuhan Kota Jayakarta yang perairannya merupakan perairan Laut Jawa yang memiliki kedalaman yang dangkal dan arus yang tidak terlalu berbahaya, sehingga sangat cocok untuk dijadikan tempat berlabuh. 

Pada tahun 1610, sebuah kontrak perjanjian ditandatangani antara Belanda dan Kesultanan Banten, yang memperbolehkan Belanda untuk membangun sebuah markas dagang di tepi timur Kali Ciliwung. Pada tahun 1619, Belanda dibawah pimpinan seorang ambisius, Jan Pieterszoon Coen menaklukan Kota Jayakarta dengan membumihanguskan kota dan membantai pasukan Kesultanan Banten yang kalah perang. Pada saat yang sama juga nama kota berganti dari Jayakarta menjadi Batavia (kemungkinan diambil dari sebuah nama suku awal Belanda yang bernama Bataav).

Segera setelah itu, Belanda membangun Kota Batavia dengan segala kemewahannya, mulai dari membangun jalan dan kanal-kanal yang memanjang menembus hutan yang sangat rimbun. Tidak gentar meskipun nyamuk dan buaya seringkali menyerang para pekerja proyek ambisius tersebut. Sebagai pelengkap Kota Batavia yang sedang mengalami perkembangan, Belanda segera membangun sebuah benteng di dekat muara Kali Ciliwung yang berhadapan langsung dengan pelabuhan kota. Didalam tembok tersebut dibangun berbagai sarana penunjang seperti, kantor dagang, kediaman Gubernur Jendral, bengkel, perbendaharaan, gudang senjata, penjara, dan gereja pertama (oud kerk).

Pada awalnya kawasan Batavia menjadi sebuah kawasan yang dinamis, hal ini turut mengundang berbagai etnis untuk mencari keuntungan di Kota Batavia tersebut, mulai dari orang Cina, Eurasia, dan penduduk Nusantara yang sebagian besar bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan pekerja kasar bagi memenuhi kebutuhan penguasa Kolonial Hindia Belanda. 

Pemerintah Kolonial Belanda juga membangun kanal-kanal yang menghubungkan antara Kali Ciliwung dan Kali Krukut. Kanal-kanal ini berfungsi sebagai pengendali banjir dan sebagai sarana transportasi air bagi perahu-perahu kecil yang saling melintasi kanal tersebut. Selain itu, disekitaran kanal ini berkembang menjadi sebuah kawasan yang mewah dan dinamis, karena seperti di Belanda, orang Eropa sangat nyaman jika tinggal di tepi kanal dengan bagunan rumah tembok yang berlantai satu atau dua, serta ciri bangunan yang saling berhimpit menjadikan kawasan ini seperti kawasan yang ada di Belanda. 

Jan de Marre, seorang penyair yang ditunjuk oleh pemerintah, memuji daerah ini melalaui syair panjangnya yang bertele-tele dan berlebihan. Seorang Jerman bernama Christopher Fryke yang mengunjungi Batavia pada 1680-an menganggap tempat tersebut lebih indah dari Kota Amsterdam di Belanda.  Tidak heran jika pada saat itu juga Kota Batavia berjuluk "Queen of The East" atau ratu dari timur. 

Tetapi pada abad ke-18, Kota Batavia mengalami serangkaian kemunduran yang ditandai dengan maraknya perusahaan penggilingan tebu yang tidak mengindahkan aspek ekologi. Sehingga limbah pabrik tebu dan kebiasaan jorok para penghuni yang sebagian besar adalah budak membuat kanal-kanal menjadi keruh serta tidak jarang mengakibatkan banjir dan berbagai macam penyakit yang mengerikan bagi para penduduk di sekitar kanal, yang mayoritas adalah orang Belanda dan Eurasia. 

Bagi sebagian besar orang Belanda melihat peristiwa ini sebagai kemunduran dari sistem tata kota Batavia yang telah hancur dan tidak sesuai dengan kondisi pada saat itu.  

Sistem kanal tidak dapat menyelesaikan permasalahan banjir, dan bahkan ironisnya malah memperparah kondisi banjir. Pada awal 1634, sebuah kanal batu karang harus dibangun  

mengarah ke laut untuk mencegah tertutupnya jalur masuk ke kali akibat endapan pasir. Bertambahnya populasi penduduk juga sangat berpengaruh, dimana kebiasaan membuang sampah sembarangan dan menghiraukan peraturan pemerintah seringkali dilakukan. 

Walaupun begitu, pemerintah berupaya untuk mengeruk pasir yang mengendap didasar kali dengan bantuan para narapinadana atau sekelompok orang jawa dan budak yang direkrut oleh pemerintah. Tatapi hal itu tidak menghasilkan perubahan yang signifikan. Akibatnya pada pertengahan abad ke-18, sejumlah kanal bahkan diuruk oleh pemerintah karena menimbulkan penyakit seperti malaria dan tifus yang membuat mayoritas masyarakat Belanda meninggal dunia. Sebuah catatan dibuat oleh seseorang pelayar yang berlabuh untuk memperbaiki kapalnya yang rusak pada 1770, Kapten Cock mencatat bahwa pada Oktober, seluruh awak kapal dalam kondisi sehat, tetapi pada Desember, sebagian dari mereka kemudian sakit dan meniggal dunia. "Lebih banyak orang Eropa meninggal karena udara yang tidak sehat di Batavia, dibandingkan di tempat-tempat lain di dunia.....".

Akibat dari peristiwa ini masyarakat Belanda pergi meninggalkan kawasan Oud Batavia (Batavia lama) ke arah selatan kota menuju kawasan yang mereka nilai masih sangat asri dan airnya pun masih belum tercemar. Wilayah yang akan menjadikannya pusat dari permukiman baru, perdagangan, dan kantor administrasi pemerintah Kolonial Belanda. Kawasan inilah yang dikenal dengan sebutan Weltevraden atau dalam bahasa Belanda berarti "sangat memuaskan" lokasinya berdekatan dengan sebuah lapangan luas yang dikenal dengan sebutan Koningsplein (Lapangan Raja), dan setelah kemerdekaan menjadi Lapangan Merdeka. yang merupakan lapangan seluas 1 km x 0,85 km yang membuat mata menjadi decak kagum bagi setiap orang yang memandangnya.

Sejumlah bangunan mewah dan megah saling menghias tata kota di kawasan Weltevraden, lebih tepatnya di sisi kawasan Koningsplein, dimana istana Gubernur Jendral dibangun menyerupai gaya arsitektur Eropa pada abad ke-19. Dimana saat ini istana tersebut dikelola oleh Kementrian Keuangan Republik Indonesia. Selain itu, Gereja berdiri sebagai tempat ibadah kaum minoritas kristen Belanda di Batavia. Tetapi permasalahan pada masa ini lebih kompleks, jika dibandingkan masa sebelumnya. Hal ini dikarenakan Kota Batavia memiliki berbagai kemudahan dalam mencari kehidupan bagi orang-orang pinggiran yang ingin mengais rezeki di kota ini. Dimana populasi orang pribumi yang tinggal di Batava meningkat dua kali lipat pada abad ini, dari sekitar 33.000 orang pada 1815, menjadi hampir 78.000 orang pada tahun 1900-an.

Sementara itu jumlah populasi orang Cina juga bertambah hampir seperempat populasi penduduk. Selama abad ke-19 mereka terus bertambah, hingga hampir dua kali lipat yaitu sekitar 24.000 orang. Sama dengan orang pribumi yang tinggal di Batavia, orang Cina juga memiliki sejumlah kepentingan mendasar sebagai pedagang dan pengusaha besar yang sukses. Tidak heran jika nantinya timbul rasa iri hati dikalangan orang Eropa dan Pribumi dalam hal mencari penghasilan. Bahkan pada tahun 1930, populasi Kota Batavia (termasuk Weltevraden) tumbuh menjadi 435.000, atau tiga kali lipat dari populasi pada tahun 1900.9 

Tidak seperti orang Belanda dan Cina, orang pribumi bekerja sebagai pegawai rumah tangga, penjual hasil kebun, peternak, dan pembantu bagi orang-orang kaya. Sehingga,karena keterbatasan dana dan ekonomi banyak diantara mereka yang membangun permukiman di daerah pinggiran, khususnya di pinggir Kali Ciliwung. Hal ini lantas mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan dikawasan pinggiran yang tidak sesuai dengan tata kota pemerintah pada saat itu. Sehingga bencana banjir pun sering melanda perkampungan masyarakat sekitar. Selain masalah kependudukan, masalah yang sangat membuat repot pemerintah Kolonial adalah masalah kesehatan, dimana masalah kesehatan ini timbul karena gaya hidup yang jorok dan kotor yang sering dilakukan oleh masyarakat pinggiran, dan akhirnya meluas ke wilayah pertengahan Kota Batavia. Berbagai penelitian kesehatan dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda yang memperkirakan tingkat kematian dikalangan orang Eropa pada abad ke-19, yaitu dari 228 kematian per 1000 penduduk pada 1819 menjadi 29 kematian pada tahun 1903-1911. 10Walaupun angka ini terlihat menurun tetapi tinggkat kematian ini sangat tinggi jika dibandingkan dengan di Negara Belanda tempat mereka berasal.Penyakit kolera merupakan penyakit yang sangat mematikan pada abad ke-19, dimana sebagian besar penduduk Belanda, Cina, dan Pribumi meninggal dunia akibat penyakit ini. Pada tahun 1864, terdapat sekitar 240 orang Eropa meninggal dunia.11 Sedangkan kematian orang pribumi pada tahun 1903-1908 adalah 48 kematian per 1000 penduduk, anggka ini hampir dua kalilipat jika dibandingkan kematian pada orang Eropa.

Tidak hanya masalah populasi dan beragamnya masalah kesehatan, Kota Batavia juga mengalami permasalahan baru sebagai akibat dari modernisasi transportasi yang sangat pesat perkembangannya di kota ini. Hal ini juga sebagai akibat dari bertambahnya populasi yang turut memaksa agar transportasi memiliki keberagamannya dalam menyediakan kebutuhan penduduk kota tersebut. Pada masanya terdapat berbagai sarana transportasi publik seperti, ratusan mobil, ribuan sepeda (berdasarkan sensus tahun 1937, satu di antara delapan penduduk menggunakan sepeda), 12dan becak pertama dapat ditemui di Kota Batavia tersebut. Hal ini mengakibatkan dibangunnya sejumlah infrastruktur pelengkap seperti, jalan beraspal, jembatan, dan pertokoan yang berakibat pada permasalahan pembebasan lahan yang kadang berujung konflik dengan masyarakat perkampungan di Kota Batavia. Bahkan hingga pada saat ini menjadi salah satu masalah pelik kota ini yan harus diselesaikan oleh para pemempin kota.

Jakarta Pada Masa Nasional

Pada masa ini perubahan dan perkembangan Kota Jakarta mengalami kondisi yang tidak jauh berbeda dari masa sebelumnya. Yang unik dari kota ini barangkali sejarah perjalanannya yang menjadi pusat pemerintahan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Tatapi hal ini tidak menutup kemungkinan kota ini untuk terus berkembang menjadi sebuah kota nasional kebanggaan Indonesia yang dinamis dan dramatis. 

Pada awal-awal kemerdekaan, Soekarno memiliki peran yang sangat penting bagi pembangunan di jakarta. Pada saat itu jakarta ingin memiliki suatu ciri khas yang menunjukan kepada dunia bahwa indonesia bisa untuk memerintah negaranya dengan baik. Beberapa landmark dibangun seperti, Monumen Nasional, Jembatan Simpang Semanggi, Kompleks Istora Senayan, dan masih banyak lagi peninggalan era Soekarno yang masih bertahan hingga kini. Tetapi ironisnya permasalahn jakarta tidak pernah kunjung usai, mulai dari bencana banjir yang melanda setiap tahun, kepadatan penduduk yang besar, dan kepadatan transportasi yang membuat kemacetan tidak dapat dihindarkan. 

Angka resmi memperlihatkan berlipatgandanya populasi dari 823.000jiwa pada 1948 menjadi 1.782.000 jiwa pada tahun 1965, lalu pada pertengahan 1950-an bertambah lagi menjadi 3.813.000 jiwa. 13Akibat dari permasalahan ini pemerintah menambah luas Kota Jakarta menjadi tiga kali lipat dari batas kota yang lama pada tahun itu. Perluasan wilayah ini merupakan tanggapan dari bertambahnya jumlah penduduk, mengingat bahwa daerah sekitaran kota masih jarang penduduknya. Sebagian besar masyarakat Jakarta adalah para pendatang, berdasarkan survei pada tahun 1953, bahwa 75% penduduk disana kelahiran luar Jakarta, dari jumlah ini setengahnya bermigrasi sejak tahun 1949.14 

Lantas, mengapa mereka ingin datang ke Jakarta?, mereka datang dalam jumlah besar dikarenakan faktor ekonomi yang enganggap bahwa dengan hidup di Jakarta mereka akanmudah dalam mencari penghasilan sehari-hari. Tetapi mayoritas yang datang ke Jakarta tidak memiliki kemampuan skill dalam bekerja, sehingga banyak diantaranya yang menjadi masayarakat tunawisma, dan malah menjadi permasalahan baru di Kota Jakarta itu sendiri. 

Selain banyaknya penduduk juga berakibat pada masalah banjir, hal ini dikarenakan banyak masyarakat yang tinggal di sekitaran kali yang membuat kali tersebut kehilangan daya tampungnya, selain itu kebiasaan buruk masyarakat yang menganggap bahwa sungai adalah tempat sampah juga memengaruhi kualitas dan daya tampung sungai itu sendiri. Sehingga bencana banjir sering melanda Kota Jakarta. 

Selain permasalahan itu Jakarta juga mengalami permasalahan kesehatan yang buruk, hal ini terjadi lantaran kurangnya penanganan dari pihak pemerintah dan masyarakat terhadapkebersihan kota Jakarta. Penyakit kolera dan malaria masih menghantui kehidupan di Kota Jakarta pada tahun 1970-an. Tetapi pada masa ini telah ada program perbaikan kampung yang bernama Proyek Muhammad Husni Thamrin. Proyek ini dirancang oleh Gubernur Ali Sadikin pada pada periode 1969-1976, dimana sebanyak 166 kampung yang berpenduduk hampir dua juta orang diperbaiki dengan menelan biaya Rp. 22.439.000.000 atau sekitar 11.000 rupiah per individu. Dengan cara inilah penduduk kampung merasakan manfaatnya.

Tetapi, dalam skala yang lebih luas, Proyek M.H. Thamrin telihat sangat kecil anggarannya jika dibandingkan pengeluaran lainnya untuk Jakarta. Menurut catatan Bank Dunia dipertanyakan kecilnya dana yang hanya disisihkan sebanyak 15-20 persen dari anggaran kota untuk memperbaiki kampung yang merupakan tempat tinggal sekitar 60 persen populasi kota.16 Sebagian besar anggaran kota dihabiskan untuk keperluan fasilitas seperti, jalan, listrik, dan air ledeng yang digunakan oleh kalangan berduit. Pada akhir masa Ali Sadikin, hanya 15 persen masyarakat yang mampu untuk menggunakan fasilitas air ledeng.

Permasalahan transportasi juga mengalami hal yang rumit, diman pada masa Ali Sadikin dirancang sebuah program yakni, penghapusan becak sebagai angkutan umum di kawasan Jakarta yang dinilai mengganggu aktivitas perkotaan. Ada dua alasan mengapa becak ini harus dihapus dari Jakarta. Yang pertama, sebagian besar pengemudi becak adalah masyarakat migran yang tentu sangat memenuhi kepadatan penduduk di Jakarta. Dan yang kedua, gambaran ini tidak sesuai dengan Kota Metropolitan Jakarta.18 Hal ini wajar karena pada 1970, terdapat 92.650 becak yang terdaftar secara resmi di Jakarta, namun secara tidak resmi jumlahnya diperkirakan mencapai 150.000 becak.19Penghapusan becak pun mendapatkan respon yang beragam dari masyarakat dikarenakan becak merupakan sumber penghasilan bagi sekitar 1.200.000 orang. Namun, sampai saat ini becak tidak serta merta menghilang dikarenakan terdapat kecintaan masyarakat yang mendalam kepada becak yang sudah ada dari tahun 1940-an.

Selain itu juga terjadi masalah yang sangat rumit, yaitu permasalahan dalam pembebasan lahan untuk keperluan pembangunan kota yang dilakukan oleh pemerintah Propinsi Jakarta. Salah satu yang terburuk terjadi pada November 1975 di kawasan Bendungan Hilir. Menurut tata kota daerah ini akan digunakan sebagai kawasan hijau, sebanyak 250 unit rumah dibongkar tanpa dana kompensasi yang jelas. Akibatnya rakyat pun menolak pembangunan kawasan hijau tersebut dan melaporkan pemerintah kepada pihak Lembaga Bantuan Hukum (LBH), sebuah organisasi yang didirikan oleh Adnan Buyung Nasution pada 1970-an. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun