Sejarah perjalanan Kota Jakarta telah banyak mengalami perubahan yang dinamis dan dramatis yang membuat para peneliti semakin bingung dalam mencari kesinambungan dan  keterkaitan antara peristiwa satu dengan yang lainnya. Dalam perjalanannya Kota Jakarta  juga mengalami berbagai masalah, mulai dari kepadatan penduduk, penenganan banjir, dan  masalah kepadatan kendaraan. Semua masalah ini harus dihadapi oleh para pemimpin Kota  Jakarta, mulai dari masa pra-kolonial, kolonial, hingga nasional. Tetapi pada kesempatan kali ini saya hanya memfokuskan kepada kajian perjalanan problematika pada masa kolonial dan nasional saja.Â
Asal mula Kota Jakarta sebagai kota pelabuhan dapat ditelusuri pada abad ke-12. Ketika itu, disebutkan adanya sebuah kota yang bernama Sunda Kelapa yang merupakan pelabuhan dari Kerajaan Hindu-Jawa bernama Padjajaran. Pada masanya Pelabuhan Sunda Kelapa menjadi kawasan yang strategis bagi perdagangan rempah-rempah yang dilalaui berbagai kapal, mulai pedagang Eropa, Afrika, Gujarat, dan Cina berkumpul disatu titik untuk berdagang antar komoditas import berharga seperti, rempah-rempah dari Nusantara, Porselin dan lilin dari Cina, budak dari Afrika, dan koin perak dari Eropa.
Dengan tumbuhnya perdagangan di kawasan Sunda Kelapa dan sekitarnya, wilayah ini menjadi sangat sejahtera dan makmur, karena setiap kapal yang melintasi pelabuhan Sunda Kelapa dan yang membongkar muat di pelabuhan tersebut dikenakan pajak dan cukai perdagangan. Hal inilah yang dikemudian hari menjadi perebutan beberapa penguasa yang ingin menguasai perdagangan di kawasan Sunda Kelapa itu sendiri.Â
Pada masa selanjutnya kota ini sering mendapatkan berbagai ancaman. Pada saat yang sama Kesultanan Banten mengutus panglimanya yang bernama Fatahillah untuk menaklukan kota ini dan mengubahnya menjadi wilayah kedaulatan dari Kesultanan Banten, lalu mengganti nama Pelabuhan Sunda Kelapa menjadi Jayakarta yang bermakna "kemenangan atau kejayaan". Peristiwa tersebut dipilih oleh pemerintah Jakarta sebagai hari ulang tahun Kota Jakarta pada 22 Juni, yang selalu dirayakan setiap tahunnya.Â
Jakarta Pada Masa KolonialKetertarikan bangsa Eropa terhadap Nusantara tidak dapat dipisahkan dari perdagangan komersial Nusantara, pada abad ke-16 dan ke-17 difokuskan pada rempahrempah yang merupakan komoditas jarak jauh yang sangat menguntungkan bagi pihak Eropa. Jayakarta menjadi tempat yang strategis dalam menyediakan fasilitas dan komoditas, di sebelah barat terdapat lada dan tebu, sedangkan di sebelah timur menghasilkan berbagai macam rempah, mulai dari pala, cengkeh, dan kapulaga. Hal inilah yang menjadikan Jayakarta sebagai eilayah yang sangat kompleks dari segi keterjangkauan terhadap sumber-sumber komoditas import.Â
Masuknya bangsa Eropa telah merusak sistem perdagangan dikarenakan saling bersaing dan memonopoli perdagangan di wilayah tersebut. Sehingga Jayakarta menjadi medan pertempuran antara berbagai pihak yang saling berebut kepentingan. Pada awal abad ke-17 baik Belanda maupun Inggris membentuk sebuah perserikatan perusahaan besar yang beroperasi dikawasan Hindia Timur. VOC dan EIC saling bersaing dalam mencari sumber kekayaan di kawasan ini.Pada tahun 1602 berdiri sebuah perusahaan multinasional Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang dijalankan oleh sebuah dewan direktur yang disebut sebagai Hereen XVII, yakni 17 orang perwakilan para pemengang saham.
Terdapat berbagai motif Belanda dengan VOC-nya dalam menaklukan Kota Jayakarta, yang pertama Kota Jayakarta memiliki sebuah pelabuhan yang sangat strategis dalam perlayaran samudra. Dan yang kedua Belanda merasa bahwa markas perdagangan di kawasan Ambon kurang strategis dan memiliki perairan laut dalam yang menyulitkan kapal dalam berlayar, hal ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan pelabuhan Kota Jayakarta yang perairannya merupakan perairan Laut Jawa yang memiliki kedalaman yang dangkal dan arus yang tidak terlalu berbahaya, sehingga sangat cocok untuk dijadikan tempat berlabuh.Â
Pada tahun 1610, sebuah kontrak perjanjian ditandatangani antara Belanda dan Kesultanan Banten, yang memperbolehkan Belanda untuk membangun sebuah markas dagang di tepi timur Kali Ciliwung. Pada tahun 1619, Belanda dibawah pimpinan seorang ambisius, Jan Pieterszoon Coen menaklukan Kota Jayakarta dengan membumihanguskan kota dan membantai pasukan Kesultanan Banten yang kalah perang. Pada saat yang sama juga nama kota berganti dari Jayakarta menjadi Batavia (kemungkinan diambil dari sebuah nama suku awal Belanda yang bernama Bataav).
Segera setelah itu, Belanda membangun Kota Batavia dengan segala kemewahannya, mulai dari membangun jalan dan kanal-kanal yang memanjang menembus hutan yang sangat rimbun. Tidak gentar meskipun nyamuk dan buaya seringkali menyerang para pekerja proyek ambisius tersebut. Sebagai pelengkap Kota Batavia yang sedang mengalami perkembangan, Belanda segera membangun sebuah benteng di dekat muara Kali Ciliwung yang berhadapan langsung dengan pelabuhan kota. Didalam tembok tersebut dibangun berbagai sarana penunjang seperti, kantor dagang, kediaman Gubernur Jendral, bengkel, perbendaharaan, gudang senjata, penjara, dan gereja pertama (oud kerk).
Pada awalnya kawasan Batavia menjadi sebuah kawasan yang dinamis, hal ini turut mengundang berbagai etnis untuk mencari keuntungan di Kota Batavia tersebut, mulai dari orang Cina, Eurasia, dan penduduk Nusantara yang sebagian besar bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan pekerja kasar bagi memenuhi kebutuhan penguasa Kolonial Hindia Belanda.Â
Pemerintah Kolonial Belanda juga membangun kanal-kanal yang menghubungkan antara Kali Ciliwung dan Kali Krukut. Kanal-kanal ini berfungsi sebagai pengendali banjir dan sebagai sarana transportasi air bagi perahu-perahu kecil yang saling melintasi kanal tersebut. Selain itu, disekitaran kanal ini berkembang menjadi sebuah kawasan yang mewah dan dinamis, karena seperti di Belanda, orang Eropa sangat nyaman jika tinggal di tepi kanal dengan bagunan rumah tembok yang berlantai satu atau dua, serta ciri bangunan yang saling berhimpit menjadikan kawasan ini seperti kawasan yang ada di Belanda.Â