Mohon tunggu...
Dian Nurhaeni
Dian Nurhaeni Mohon Tunggu... Penulis - @diiannur_

Tulislah apa yang kamu rasakan dan kamu pikirkan jika dengan menulis membuat perasaanmu senang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Petang di Taman: Konflik Sederhana yang Dilebih-lebihkan (Apresiasi Naskah Drama "Petang di Taman" Karya Iwan Simatupang)

15 Juli 2022   15:47 Diperbarui: 15 Juli 2022   15:59 4009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Drama merupakan salah satu karya sastra yang dipentaskan, artinya drama merupakan contoh dari teater. Drama semakin berkembang seiring dengan perkembangan zaman. 

Pada zaman Belanda disebut dengan tonil, zaman Jepang disebut sandiwara, dan setelah kemerdekaan disebut dengan teater. Tentunya banyak sastrawan yang turut serta berkarya dari masa ke masa. Salah satunya adalah Iwan Simatupang yang merupakan seorang novelis, penyair, dan esais Indonesia. 

Iwan Simatupang adalah sastrawan di periode 1953-1961 berbarengan dengan A.A. Navis, Motinggo Boesje, Toha Mohtar, dan sastrawan yang lain.

 Iwan Simatupang dikenal sebagai penulis drama yang tidak terikat oleh logika, plot, dan watak yang biasa. Drama karya Iwan Simatupang mengingatkan pada drama absurd Eugene Ionesco dan drama lain setelah Perang Dunia Kedua (Rosidi, 2013). 

Drama yang ditulisnya kemudian dimuat dalam majalah, salah satunya drama yang berjudul “Taman” yang kemudian diterbitkan sebagai buku kecil berjudul Petang di Taman. 

Naskah drama yang berjudul “Taman” yang lebih sering disebut “Petang di Taman” karya Iwan Simatupang ini dikemas dengan apik dan mengandung konflik yang sebetulnya sederhana. Akan tetapi, konflik itu dibuat menjadi sesuatu yang kompleks. 

Pemilihan judul “Petang di Taman” pun kiranya memberikan makna tersendiri bagi Iwan Simatupang. Pemilihan latar tempat yang hanya di taman, penokohan dengan simbol, dan konflik sederhana yang dilebih-lebihkan menjadi perhatian untuk diapresiasi.

Seperti yang telah dikemukakan bahwa drama karya Iwan Simatupang ini merupakan drama absurd, termasuk “Petang di Taman”. 

Pertama kali membaca naskah drama ini akan dibuat bingung dengan sedikit keributan di awal cerita yang sebenarnya tidak perlu diributkan. 

Perihal cuaca, tokoh OT dan LSB berdebat untuk menemukan jawaban apakah saat itu musim kemarau atau hujan. Sampai pada kedatangan tokoh PB dan W, di mana PB dituduh sebagai pasangan W yang tidak bertanggung jawab. Cukup sulit menemukan makna apa yang sebenarnya ingin disampaikan penulis kepada pembaca. 

Butuh waktu untuk membaca dengan fokus dan penuh pemahaman. Akan tetapi, hal itulah yang membuat drama ini menarik perhatian. 

Terdapat makna tersirat dalam ceritanya, bahkan judulnya saja mempunyai makna tersendiri. Jika ditelaah lebih dalam, pemilihan judul “Petang di Taman” pastinya mempunyai arti yang perlu dipahami oleh pembaca. Pemilihan kata “petang” bisa jadi bermakna usia yang sudah tua, renta, senja, yang menggambarkan sosok OT. 

Kemudian pemilihan kata “taman” yang dijadikan sebagai latar umumnya adalah tempat berkumpul semua orang untuk melepaskan penat. Namun, dalam drama ini taman dijadikan sebagai tempat keributan dari masalah-masalah yang dibawa oleh keempat tokohnya.

Alur yang digunakan dalam naskah adalah maju karena semua terjadi secara beruntutan. Di mulai dari OT dan LSB yang bertemu di taman ketika cuaca sedang tidak bersahabat. 

Mereka berbicara tentang hari yang hujan atau kemarau. Terjadi sedikit perdebatan antara mereka tentang cuaca yang seharusnya tidak dibuat rumit. Sampai akhirnya tokoh PB datang membawa banyak balon di tangannya. 

Saat itu, LSB tidak mengizinkan PB untuk duduk di taman, padahal taman adalah tempat umum. Lalu LSB menerkam semua balon yang dipegang PB sehingga terbang begitu saja. 

Melihat balon terbang, PB terisak menangis karena dia kehilangan balonnya. Hanya tersisa satu balon, itu pun dimainkan oleh OT dan terjadilah keributan kembali tentang balon. Sampai kedatangan W membawa kereta bayi seorang diri. 

Saat itu OT dan LSB mencurigai bahwa PB-lah bapak dari anak yang dibawa oleh W. Keributan pun terjadi kembali, meskipun pada akhirnya terbukti PB bukan bapak dari anak itu. 

Akhirnya PB pergi setelah beberapa waktu W pergi. Di taman itu hanya tersisa OT dan LSB yang menceritakan masalah masing-masing. 

OT yang kehilangan istri pertama dan kucingnya, serta istri kedua yang terpincut laki-laki lain. Kemudian LSB yang merasa gagal dan hidup seorang diri. 

Pada akhirnya mereka menerima jalan hidup masing-masing, OT tetap pulang tanpa menemukan kucing bernama Minah, sama seperti nama istri pertamanya. 

Lalu LSB yang akhirnya memilih tetap tinggal di kolong jembatan sebagai seseorang yang merasa gagal menjadi seorang penyair.

Dalam drama tersebut, tokoh OT merupakan laki-laki tua yang kehilangan istri dan kucingnya. OT mempunyai sikap berwibawa, mau mengalah, dan mampu menghormati orang lain. 

LSB merupakan laki-laki setengah baya, seorang pengarang gagal, pemarah, dan mempunyai pengalaman pahit tentang air mata. 

LSB akan marah ketika dia melihat air mata yang jatuh dari orang lain. Namun, entah pengalaman pahit apa yang LSB alami saat itu. Tokoh PB merupakan penjual balon yang sebenarnya dia pun sangat menyukai balon, mempunyai sikap tidak enakan, polos, cengeng, dan penolong. 

Meskipun PB pernah dituduh sebagai laki-laki biadab dan tidak bertanggung jawab oleh W, tetapi dia menolong W dari keributan yang terjadi saat itu. 

Selanjutnya tokoh W yang mempunyai anak tanpa bapak, wanita muda, cantik, dan mempunyai sifat berprasangka buruk kepada orang. 

Keempat tokoh itu bertemu dalam satu tempat, yaitu taman. Mereka bertemu ketika hari hampir petang. Di taman itulah muncul keributan-keributan yang berasal dari hal sepele. 

Oleh karena itu, suasana yang terjadi dalam drama ini cukup menegang. Terlebih saat konflik memuncak, ketika W menuduh PB adalah laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Namun, beberapa lama kemudian masalah bisa teratasi dengan kejelian W terhadap PB, bahwa PB bukanlah bapak dari anak itu.

Meskipun drama “Petang di Taman” karya Iwan Simatupang ini termasuk ke dalam drama absurd, tetapi ceritanya masih menggunakan bahasa yang dimengerti. Tidak seperti drama “Lelakon Raden Bei Surio Retno” yang diterbitkan pada tahun 1901 masih menggunakan bahasa Melayu lama. Karena Iwan Simatupang pun merupakan sastrawan periode setelah kemerdekaan, jadi penggunaan bahasanya sudah tidak lagi menggunakan bahasa lama. 

Namun, dengan penggunaan bahasa sehari-hari nyatanya tetap membuat drama ini mengandung pesan tersirat di dalamnya. Iwan Simatupang memang pandai membuat karya dengan gaya yang padat. Oleh karena itu, drama “Petang di Taman” pun sama seperti drama-drama karya Iwan Simatupang yang lain dengan mempunyai pesan tersirat di dalam ceritanya.

Drama “Petang di Taman” karya Iwan Simatupang memang belum banyak dipentaskan. Akan tetapi, melihat dari beberapa pementasan drama “Petang di Taman” ini memang mempunyai visualisasi yang menarik. Perlengkapan yang digunakan dalam pementasan dramanya pun tampaknya dipersiapkan dengan baik. 

Seperti perlengkapan yang hanya melengkapi tokoh, yaitu balon untuk tokoh PB, kereta bayi untuk tokoh W, dan barang lain seperti tas atau topi untuk melengkapi tokoh OT dan LSB. 

Selain itu, ada juga perlengkapan yang bersifat referensial. Seperti bangku taman, kipas, tanaman, suara petir saat adegan hari sedang hujan, dan suara lonceng gereja saat menandakan hari sudah petang. Semua itu akan melengkapi pementasan dan membuat drama semakin tergambar bagaimana ceritanya.

Melihat dari alur ceritanya, drama ini memiliki kaitan dengan kehidupan sosial saat ini. Manusia seringkali membesar-besarkan masalah yang dimilikinya. Padahal sebenarnya masalah itu sepele dan bisa diselesaikan baik-baik. Kita bisa lihat dari latarnya, yaitu taman. 

Di mana taman merupakan tempat berkomunikasi banyak orang dan di sana pula penulis menceritakan bahwa taman tempat terjadinya permasalahan. Jika melihat dunia saat ini, taman bisa kita simbolkan sebagai media sosial. Banyak orang yang menggunakan media sosial sebagai tempat berkomunikasi, berbagi cerita, bahkan ada yang menggunakan media sosial sebagai tempat keributan. 

Banyak orang yang seolah-olah ingin terlihat peduli kepada orang lain, misalnya dengan cara menggali informasi tentang seseorang di media sosial, mencari tahu apa masalahnya, kemudian akhirnya dia akan ikut campur dalam urusan orang itu, seperti memberikan komentar. 

Pada akhirnya, mereka akan semakin ramai membawa masalah sepele itu menjadi suatu masalah yang besar. Bahkan tak sedikit orang yang memberikan gunjingan. Orang seperti itu disebut dengan netizen atau warganet, orang yang senang ikut campur urusan orang lain. Kiranya hal ini erat berkaitan dengan kondisi sosial dewasa ini.

Dari dulu hingga saat ini, drama memang mengalami perkembangan yang panjang. Ada yang dulunya berfungsi sebagai media penyampaian dakwah, sekarang fungsi drama lebih daripada itu. 

Banyak pementasan drama di sekolah, gedung teater, atau dalam media sosial yang dikemas secara menarik. 

Salah satu drama yang membuat tertarik adalah drama “Petang di Taman”. Melihat pengarangnya adalah Iwan Simatupang yang sering menghadirkan drama absurd dan gaya yang padat. Selain itu, drama ini memang dimuat dalam majalah dan dijadikan buku kecil sehingga sangat menarik. 

Pesan yang terkandung dalam drama ini pun terasa adanya. Sebagai manusia, kita tidak boleh membesarkan suatu permasalahan yang sedang terjadi. 

Dengan cara membesarkan masalah itu tidak akan membuat masalah menjadi selesai. Bahkan hanya akan membuat semakin rumit saja. 

Masalah yang ada harus segera diselesaikan jangan sampai merembet kepada hal yang lain. Kegiatan apresiasi ini juga dilakukan agar drama “Petang di Taman” dikenal oleh banyak orang, setidaknya yang membaca tulisan ini. Karena sayang sekali, jika drama yang berasal dari luar negeri lebih disukai daripada drama karya sastrawan bangsa sendiri. Maka dari itu, sudah seharusnya kegiatan apresiasi karya sastra ditingkatkan – terutama drama. 

Melalui kegiatan apresiasi kita akan semakin mengenal karya sastra, terutama karya terdahulu yang tidak banyak diketahui orang. Selain itu, rasa cinta terhadap karya sastra akan terus tumbuh sejalan dengan kegiatan apresiasi yang kita lakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun