Jika kalian memiliki pemikiran yang sama sepertiku, mendaki gunung sama halnya dengan meraih mimpi. Kita ibaratkan bahwa puncak adalah mimpi kita. Kita bisa belajar dari mendaki, bahwa meraih mimpi harus mengeluarkan perjuangan yang besar. Saat berjalan pasti ada hal yang membuat kita ingin menyerah atau kembali pulang, namun dengan tekad yang kuat kita bisa melewati itu semua.
Setelah penantian panjang dari pertama kali berjalan, akhirnya sampai di puncak Gede. Benar-benar tidak pernah terbayangkan sebelumnya jika aku akan berdiri di atas ancala seperti ini.
Sebelum senja datan pun, aku sudah jatuh cinta dengan pemandangan yang penuh dengan awan. Meskipun nantinya harus turun ke Surya Kencana saat larut malam untuk bermalam disana. Tapi rasanya benar-benar seperti sedang berada di dunia dongeng.
Dengan wajah lelah kami segera meletakkan carrier yang berat. Senang bukan main, bisa menyaksikan senja di atas puncak. Inilah waktu yang ditunggu-tunggu. Anehnya, aku dan Saka seperti sengaja diberi waktu untuk berdua menikmati senja. Kak Maya dan Arya memisahkan diri sejauh 5 meter dari kami, Egi dan Yasma temanku juga berjarak 3 meter dari aku dan Saka. Tapi kami tetap menikmati senja yang sama indahnya. Bagiku, ini adalah momen terbaik selama aku hidup delapan belas tahun di bumi.
"Dinara, sudah berapa kali kamu merindukan aku?" kata Saka.
"Tidak terhitung. Rindu itu suka mendadak." kataku sambil menikmati hamparan awan.
"Kenapa bisa rindu, ya?" pertanyaan aneh yang Saka keluarkan membuatku menggelengkan kepala.
"Tidak ada yang bisa membangun ruang rindu jika kita tidak pernah bertemu. Jika kamu bertanya seperti itu, jawabannya karena kita pernah bertemu."
"Dinara, apakah kamu masih kesal ketika aku bilang kita harus berpisah?" Lagi-lagi Saka bertanya seperti itu. Padahal aku sedang menikmati senja kala itu.
"Memangnya kenapa?" kataku.
"Aku ingin tau aja. Tapi kalau gak mau jawab juga enggak apa-apa. Aku udah tau jawabannya. Kamu pasti kesal dan benci aku." kata Saka sambil melempar kerikil sembarang.
"Siapa bilang? Aku tidak pernah membencimu dan aku tidak mau itu. Bagiku, mengenalmu adalah sebuah kesempatan yang menyenangkan. Aku memang sempat kecewa, tapi aku menyadari bahwa itu sudah seharusnya terjadi." Aku berbicara pada Saka, orang yang dulu mengisi hatiku.
"Aku gak pernah ngebayangin kalau akhirnya kita bisa kayak gini. Aku pikir setelah aku pergi, kamu akan menjauh seolah menghilang dari bumi."
"Heh! Sembarangan kalau ngomong. Aku gak mau punya rasa benci ke orang lain. Apalagi ke orang yang pernah aku cinta. Hidup itu buat banyakin temen bukan banyakin musuh. Jadi Kak Saka jangan coba hilang dari sekitarku."
"Tuh kan, udah aku bilang jangan panggil Kak Saka, Din. Kita udah lulus SMA, gak ada batasan."
"Tetep aja Kak Saka itu lebih tua dari aku. Udah deh, aku mau liat senja biar sedih aku terobati. Aku mau berdoa di dalam hati semoga notes aku ada yang nemuin dan dikembaliin hari ini juga. Kalau ada yang nemu notes itu, akan aku buatkan makanan spesial untuk makan malam hari ini. Semoga notes aku kembali." kataku dengan sesekali memejamkan mata dan menatap senja.
"Katanya berdoa dalam hati, kok dengan lantang diucapkan sih?"
"Iya aku keceplosan. Sstt, diem Saka."
"Aku punya sesuatu buat kamu, Dinara. Ini bener-bener spesial banget. Coba kamu ngadep aku, berhenti mandangin senjanya karena aku cemburu." kata Saka dengan sedikit mencolek tanganku.
"Gak usah gombal, gak usah usil!" kataku.
"Ini serius." kali ini Saka menarik tubuhku agar berhadapan dengannya. Sebetulnya jika dikatakan sudah biasa saja, tidak seperti itu juga. Tapi jika dikatakan masih cinta, rasanya sudah berbeda.
"Apa sih? Langitnya sebentar lagi menghitam, Saka. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kepergian senja."
"Justru itu, bersama dengan perginya senja, aku akan memberimu ini." kata Saka dengan memberikan sebuah barang.
"INI KAN NOTES KU!" Kataku sambil berteriak. Aku benar-benar senang bukan main. Notes ini sangat berharga bagi aku. "Kenapa gak bilang dari tadi kalau notes nya ada di kamu. Ih bener-bener gemesin, pengin aku cubit ya pipinya?" kataku gemas.
"Sengaja biar kamu panik, soalnya lucu kalau kamu lagi panik haha."
"Gak tau ah, males."
"Katanya kalau ada orang yang nemuin notes kamu hari ini bakal dimasakin makanan spesial ya? Asik tuh, janji harus ditepati ya Din. Awas kalau bohong, aku gak akan bawa kamu pulang dari sini."
"Kenapa harus Saka yang nemu ini? Kenapa gak Yasma atau Kak Maya aja?"
"Sepertinya sudah ditakdirkan agar aku memakan masakanmu Dinara."
"Baiklah, dengan terpaksa karena janji aku akan lakukan untuk Tuan Saka, haha."
"Dinara"
"Apa lagi? Nemu lagi barangku yang jatuh?" kataku gemas.
"Hari ini mungkin kita bisa pergi bersama, tapi lain waktu kita tidak tahu akan seperti apa. Aku hanya berharap semoga kita tetap baik-baik saja. Semoga suatu saat nanti kita bisa dipertemukan lagi dengan kita yang sudah lebih baik dari saat ini. Entah untuk kembali bersama atau tidak."
Sejujurnya hatiku berbicara, tumben banget Saka puitis kayak gini. Kalau lagi gini, aura manisnya jadi makin bertambah.
"Kita tidak pernah tahu rencana Tuhan dan segala kejutan yang akan dihadirkan. Untuk itu, berusahalah untuk tetap meminta yang terbaik dari Sang Pencipta. Tetaplah menjadi Saka yang Dinara kenal." kataku dengan senyum manis memandang Saka.
"Maaf jika aku sering membuat hatimu terluka. Tolong jangan membenci kepergianku dari hatimu. Toh hari ini aku masih bisa pergi bersamamu. Aku hanya pergi dari hatimu, bukan dari hidupmu. Kamu mau tetap berteman denganku?" kata Saka memandangku. Sejujurnya jantungku sedang tidak bisa terkontrol. Coba kalian bayangkan, jika kalian sedang mengobrol bersama dengan orang yang pernah ada di dalam rasa dan saling memandang mata maka akan ada getaran hati yang terasa. Meskipun sudah berbeda, namun tetap saja jika perasaan itu tidak bisa dibohongi. Mungkin perasaannya memang sudah tidak ada, tapi bekasnya masih tersimpan. Jika kalian tidak merasakan hal yang sama sepertiku, aku pun tidak tahu mengapa.
"Sudah aku bilang, aku tidak mau membencimu. Untuk apa membenci orang yang dulunya kita cintai? Membenci hanya menambah beban pikiran. Biarkan masa lalu berdiri utuh tanpa campur tangan kata benci. Aku yakin, antara aku dan Kak Saka akan baik-baik saja selama tidak ada kata benci. Tetaplah menjadi teman baikku, ya?"
"Pasti, Dinara."
Bersama dengan senja yang perlahan berubah menjadi warna ungu kemudian menghitam, aku dan Saka tertawa bersama atas apa yang telah kita bicarakan. Jika dulu, bersama senja aku sedang terluka karena menangisi kepergian Saka. Tapi hari ini, bersama senja aku tertawa bahagia karena bisa berteman baik dengan Saka. Kita bukan mengulang kisah lama, bukan juga kali kedua. Kita hanya berusaha untuk tetap baik-baik saja seperti kebanyakan orang. Karena sejatinya setiap yang kita cintai tidak bisa selalu kita miliki dan setiap yang kita miliki tetap akan pergi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H