Bagian 2
Tidak ada alasan mengapa aku harus membencimu. Karena kamu diciptakan bukan untuk dibenci, tapi untuk dicintai.
Dan tidak ada alasan mengapa aku bisa mencintaimu karena cinta datang dari ruang semu.
Aku masih mencintaimu, dan aku tahu kamu masih memiliki perasaan yang sama sepertiku. Tapi aku tidak ingin memaksa keadaan untuk kembali seperti dulu. Biarkan perasaan tumbuh dengan semestinya, tidak harus menjadi dua orang yang berada dalam ruang yang sama.
Ketika kamu memutuskan untuk pergi, aku benar-benar seperti abu yang sudah terhempas angin lalu. Aku merasa seperti tidak berarti bagi kisah cintamu. Mungkin fatamorgana yang pantas menggambarkan kisah aku dan kamu.
Sebelum akhirnya kamu mengucapkan kata perpisahan, ada banyak rasa yang sedang tumbuh dalam jiwaku. Tetapi, itu semua berhamburan menjadi angan semu. Aku tidak bisa berkutik dalam setiap keputusanmu. Jika itu maumu, aku tidak bisa egois memaksamu bertahan denganku. Aku tidak ingin menjadi luka dalam ruang hatimu dan hatiku. Akan aku lakukan demi kebaikan kita bersama, meskipun hati ini belum rela sepenuhnya.
Sudahi, cerita kita usai disini. Aku tidak berharap banyak agar kita bisa bersama lagi. Biarkan Tuhan yang akan memberikan kejutan untuk kita nikmati.
Saka, tolong jangan berubah. Tetaplah menjadi Saka yang Dinara kenal.
Hari ini, saat kamu memutuskan pergi.
Bersama dengan senja, Dinara.
               ***
Setelah melewati hari terpuruk itu, aku menyadari bahwa semuanya memang harus terjadi. Tidak ada yang bisa menyalahkan kepergian Saka dari ruang hatiku. Ceritaku dengan dia sudah dirancang sedemikian rumitnya. Harus merasakan jatuh cinta sejauh itu dan merasakan kecewa sedalam itu.
Jika teringat hari di mana Saka memutuskan pergi, ada tawa sekaligus luka dalam diri. Aku tidak tahu mengapa begitu.
Bagiku, kisah antara aku dan Saka tidak sama sekali membuat hidupku jatuh dalam keterpurukan. Aku beruntung pernah mengenal Saka yang penuh dengan teka-teki. Saka orang yang selalu membuat pikiran dan hati aku bertanya-tanya dengan sikap anehnya. Dan aku juga beruntung bisa mengakhiri hubungan itu secara baik-baik saja.
Apa kalian tahu? Sejak kita memutuskan untuk saling menjauh, tidak ada sedikit pun rasa tidak saling mengenal setelahnya. Rasa bersalah pasti ada, bahkan Saka sendiri pernah bilang kepadaku, "Aku merasa bersalah."
Tapi aku mengerti bahwa memang itu yang terbaik. Bahkan ketika kita sudah lama berpisah, kita selalu menjaga komunikasi. Menjadi teman curhat ternyata lebih menyenangkan daripada harus saling membenci apa yang sudah terjadi. Dan kalian tahu tidak?
Hari ini, aku dan Saka sudah bisa muncak bersama. Puncak pertama yang aku kunjungi tidak lain dan tidak bukan, puncak Gunung Gede.
Aku, temanku Yasma, Saka, Egi, Arya, dan Kak Maya yang sempat ditolak oleh Arya ternyata ikut dalam pendakian kali ini. Benar-benar tidak menyangka karena aku sendiri jadi dekat dengan teman-teman Saka. Oh iya aku lupa, aku sudah lulus SMA dan tinggal menunggu hasil tes perguruan tinggi. Semoga saja hasilnya yang terbaik dan sesuai dengan harapanku.
Sebenarnya kampus impianku adalah kampus tempat Saka menimba ilmu juga. Tetapi, sama sekali tidak ada niat untuk mengikuti jejak Saka. Aku benar-benar menginginkan kampus itu sejak SMP. Lagi pula, fakultas yang aku pilih tempatnya tidak berdekatan dengan fakultas Saka.
Jika memang niatku mengejar Saka, sangat tidak lucu sepertinya. Bagiku kuliah itu untuk mengejar cita-cita, bukan untuk mengejar cinta. Nanti jika sudah ditakdirkan untuk memiliki cinta, pasti akan datang dengan sendirinya. Ah sudah, kita lanjutkan perjalanan aku dan teman-teman mendaki gunung.
Sebenarnya aku tidak begitu berani, tapi karena ada temanku Yasma, ya sudah aku mencoba untuk melangkah menuju puncak Gede. Kami berangkat sekitar pukul 9 pagi dari basecamp. Kami memilih Surya Kencana sebagai tempat memasang tenda. Karena itu kami memilih berangkat pukul 9 pagi agar ketika sampai di puncak bisa menyaksikan senja, meskipun belum sempat memasang tenda. Untuk memasang tenda kami harus turun kembali ke Surya Kencana. Kami menggunakan jalur Cibodas, Saka bilang kami akan melihat keindahan alam yang sebenarnya. Namun tidak menantang ceritanya jika dalam mendaki tidak terjadi sesuatu.
Saat menuju pos tiga, Kak Maya terlihat kelelahan karena dia jarang sekali untuk minum. Meskipun memiliki tubuh sedikit berisi, tapi tidak dapat dipungkiri bahwa seseorang yang terlihat kuat ternyata mempunyai kekuatan fisik yang lemah. Kami berhenti sejenak untuk menenangkan Kak Maya agar nanti bisa selamat sampai puncak. Arya yang tadinya tidak cinta, sekarang sudah terlihat khawatir pada Kak Maya. Ya begitulah, Tuhan bisa membolak-balikkan hati seseorang.
Setelah sekitar 15 menit istirahat, kami melanjutkan perjalanan. Aku begitu semangat mencapai puncak karena inilah kali pertamaku mendaki. Rasanya ingin segera menikmati senja di atas sana.
Tanpa disadari, notes milikku yang akan digunakan untuk menulis di atas puncak hilang. Aku panik luar biasa karena notes itu paling berkesan untukku. Aku tidak tahu harus bagaimana. Jika aku turun kembali ke bawah mencari notes itu, rasanya tidak mungkin karena aku sendiri sejujurnya sudah lelah. Tapi jika aku tidak mencarinya, aku akan sangat menyesal karena itu notes kesayanganku.
Di pos tiga, aku sedikit merengek pada Yasma.
"Yasma, ini gimana notes aku kok bisa ilang sih Yas. Itu tuh berharga banget buat aku. Aduh aku teledor banget deh." kataku sedikit menyesal.
"Lagian kalau bawa yang kayak gitu tuh disimpen di tempat yang aman.
Taro di dalem kek, jangan di pinggir tas begitu. Siapa tau pas kamu ambil minum, notes nya kebawa jatoh." kata Yasma. "Ya udah gak usah dipikirin, bentar lagi nyampe puncak. Gue yakin lo bakal seneng Din."
"Iya ayo." kataku. Dengan sedikit perasaan yang campur aduk, akhirnya aku melanjutkan perjalanan. Karena sebentar lagi, aku akan sampai di puncak Gede.
Banyak hal yang tidak terduga saat pendakian pertamaku. Tiba-tiba saja aku terjatuh karena tersangkut akar. Sepertinya aku sedang melamun karena notes itu. Padahal sebentar lagi menuju puncak, ada saja hal yang harus dilewati. Dengan susah payah aku berdiri dan tetap melanjutkan pendakian. Aku ingin segera mencapai puncak.
Jika kalian memiliki pemikiran yang sama sepertiku, mendaki gunung sama halnya dengan meraih mimpi. Kita ibaratkan bahwa puncak adalah mimpi kita. Kita bisa belajar dari mendaki, bahwa meraih mimpi harus mengeluarkan perjuangan yang besar. Saat berjalan pasti ada hal yang membuat kita ingin menyerah atau kembali pulang, namun dengan tekad yang kuat kita bisa melewati itu semua.
Setelah penantian panjang dari pertama kali berjalan, akhirnya sampai di puncak Gede. Benar-benar tidak pernah terbayangkan sebelumnya jika aku akan berdiri di atas ancala seperti ini.
Sebelum senja datan pun, aku sudah jatuh cinta dengan pemandangan yang penuh dengan awan. Meskipun nantinya harus turun ke Surya Kencana saat larut malam untuk bermalam disana. Tapi rasanya benar-benar seperti sedang berada di dunia dongeng.
Dengan wajah lelah kami segera meletakkan carrier yang berat. Senang bukan main, bisa menyaksikan senja di atas puncak. Inilah waktu yang ditunggu-tunggu. Anehnya, aku dan Saka seperti sengaja diberi waktu untuk berdua menikmati senja. Kak Maya dan Arya memisahkan diri sejauh 5 meter dari kami, Egi dan Yasma temanku juga berjarak 3 meter dari aku dan Saka. Tapi kami tetap menikmati senja yang sama indahnya. Bagiku, ini adalah momen terbaik selama aku hidup delapan belas tahun di bumi.
"Dinara, sudah berapa kali kamu merindukan aku?" kata Saka.
"Tidak terhitung. Rindu itu suka mendadak." kataku sambil menikmati hamparan awan.
"Kenapa bisa rindu, ya?" pertanyaan aneh yang Saka keluarkan membuatku menggelengkan kepala.
"Tidak ada yang bisa membangun ruang rindu jika kita tidak pernah bertemu. Jika kamu bertanya seperti itu, jawabannya karena kita pernah bertemu."
"Dinara, apakah kamu masih kesal ketika aku bilang kita harus berpisah?" Lagi-lagi Saka bertanya seperti itu. Padahal aku sedang menikmati senja kala itu.
"Memangnya kenapa?" kataku.
"Aku ingin tau aja. Tapi kalau gak mau jawab juga enggak apa-apa. Aku udah tau jawabannya. Kamu pasti kesal dan benci aku." kata Saka sambil melempar kerikil sembarang.
"Siapa bilang? Aku tidak pernah membencimu dan aku tidak mau itu. Bagiku, mengenalmu adalah sebuah kesempatan yang menyenangkan. Aku memang sempat kecewa, tapi aku menyadari bahwa itu sudah seharusnya terjadi." Aku berbicara pada Saka, orang yang dulu mengisi hatiku.
"Aku gak pernah ngebayangin kalau akhirnya kita bisa kayak gini. Aku pikir setelah aku pergi, kamu akan menjauh seolah menghilang dari bumi."
"Heh! Sembarangan kalau ngomong. Aku gak mau punya rasa benci ke orang lain. Apalagi ke orang yang pernah aku cinta. Hidup itu buat banyakin temen bukan banyakin musuh. Jadi Kak Saka jangan coba hilang dari sekitarku."
"Tuh kan, udah aku bilang jangan panggil Kak Saka, Din. Kita udah lulus SMA, gak ada batasan."
"Tetep aja Kak Saka itu lebih tua dari aku. Udah deh, aku mau liat senja biar sedih aku terobati. Aku mau berdoa di dalam hati semoga notes aku ada yang nemuin dan dikembaliin hari ini juga. Kalau ada yang nemu notes itu, akan aku buatkan makanan spesial untuk makan malam hari ini. Semoga notes aku kembali." kataku dengan sesekali memejamkan mata dan menatap senja.
"Katanya berdoa dalam hati, kok dengan lantang diucapkan sih?"
"Iya aku keceplosan. Sstt, diem Saka."
"Aku punya sesuatu buat kamu, Dinara. Ini bener-bener spesial banget. Coba kamu ngadep aku, berhenti mandangin senjanya karena aku cemburu." kata Saka dengan sedikit mencolek tanganku.
"Gak usah gombal, gak usah usil!" kataku.
"Ini serius." kali ini Saka menarik tubuhku agar berhadapan dengannya. Sebetulnya jika dikatakan sudah biasa saja, tidak seperti itu juga. Tapi jika dikatakan masih cinta, rasanya sudah berbeda.
"Apa sih? Langitnya sebentar lagi menghitam, Saka. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kepergian senja."
"Justru itu, bersama dengan perginya senja, aku akan memberimu ini." kata Saka dengan memberikan sebuah barang.
"INI KAN NOTES KU!" Kataku sambil berteriak. Aku benar-benar senang bukan main. Notes ini sangat berharga bagi aku. "Kenapa gak bilang dari tadi kalau notes nya ada di kamu. Ih bener-bener gemesin, pengin aku cubit ya pipinya?" kataku gemas.
"Sengaja biar kamu panik, soalnya lucu kalau kamu lagi panik haha."
"Gak tau ah, males."
"Katanya kalau ada orang yang nemuin notes kamu hari ini bakal dimasakin makanan spesial ya? Asik tuh, janji harus ditepati ya Din. Awas kalau bohong, aku gak akan bawa kamu pulang dari sini."
"Kenapa harus Saka yang nemu ini? Kenapa gak Yasma atau Kak Maya aja?"
"Sepertinya sudah ditakdirkan agar aku memakan masakanmu Dinara."
"Baiklah, dengan terpaksa karena janji aku akan lakukan untuk Tuan Saka, haha."
"Dinara"
"Apa lagi? Nemu lagi barangku yang jatuh?" kataku gemas.
"Hari ini mungkin kita bisa pergi bersama, tapi lain waktu kita tidak tahu akan seperti apa. Aku hanya berharap semoga kita tetap baik-baik saja. Semoga suatu saat nanti kita bisa dipertemukan lagi dengan kita yang sudah lebih baik dari saat ini. Entah untuk kembali bersama atau tidak."
Sejujurnya hatiku berbicara, tumben banget Saka puitis kayak gini. Kalau lagi gini, aura manisnya jadi makin bertambah.
"Kita tidak pernah tahu rencana Tuhan dan segala kejutan yang akan dihadirkan. Untuk itu, berusahalah untuk tetap meminta yang terbaik dari Sang Pencipta. Tetaplah menjadi Saka yang Dinara kenal." kataku dengan senyum manis memandang Saka.
"Maaf jika aku sering membuat hatimu terluka. Tolong jangan membenci kepergianku dari hatimu. Toh hari ini aku masih bisa pergi bersamamu. Aku hanya pergi dari hatimu, bukan dari hidupmu. Kamu mau tetap berteman denganku?" kata Saka memandangku. Sejujurnya jantungku sedang tidak bisa terkontrol. Coba kalian bayangkan, jika kalian sedang mengobrol bersama dengan orang yang pernah ada di dalam rasa dan saling memandang mata maka akan ada getaran hati yang terasa. Meskipun sudah berbeda, namun tetap saja jika perasaan itu tidak bisa dibohongi. Mungkin perasaannya memang sudah tidak ada, tapi bekasnya masih tersimpan. Jika kalian tidak merasakan hal yang sama sepertiku, aku pun tidak tahu mengapa.
"Sudah aku bilang, aku tidak mau membencimu. Untuk apa membenci orang yang dulunya kita cintai? Membenci hanya menambah beban pikiran. Biarkan masa lalu berdiri utuh tanpa campur tangan kata benci. Aku yakin, antara aku dan Kak Saka akan baik-baik saja selama tidak ada kata benci. Tetaplah menjadi teman baikku, ya?"
"Pasti, Dinara."
Bersama dengan senja yang perlahan berubah menjadi warna ungu kemudian menghitam, aku dan Saka tertawa bersama atas apa yang telah kita bicarakan. Jika dulu, bersama senja aku sedang terluka karena menangisi kepergian Saka. Tapi hari ini, bersama senja aku tertawa bahagia karena bisa berteman baik dengan Saka. Kita bukan mengulang kisah lama, bukan juga kali kedua. Kita hanya berusaha untuk tetap baik-baik saja seperti kebanyakan orang. Karena sejatinya setiap yang kita cintai tidak bisa selalu kita miliki dan setiap yang kita miliki tetap akan pergi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H