"Seperti musik dan seni, cinta terhadap alam adalah bahasa umum yang dapat melampaui batas-batas politik atau sosial." -- Jimmy Carter
Perkembangan riset dasar dan aplikasi terkait eksplorasi pupuk hayati khususnya pupuk mikroba telah banyak dilakukan di Indonesia. Kesempatan ini didukung oleh banyaknya hibah riset unggulan di bidang ini.
Selain itu telah sering juga dilakukan hilirisasi pengetahuan yang diperoleh melalui kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat (PKM) berbasis produk kepada desa binaan.Â
Namun, setiap evaluasi program dilaksanakan terdapat butir tantangan keberlanjutan penggunaan pupuk jenis ini oleh para petani.
Penulis mengembangkan ulasan dengan sumber sebuah diskusi pakar dalam acara Dewan Profesor Universitas Padjajaran melalui kanal Youtube Sajabi, dengan narasumber Prof. Reginawanti Hindersah. Seorang pakar Mikrobiologi tanah dari Universitas Padjajaran.
Dalam sesinya Prof. Reginawanti juga menjawab pertanyaan yang disampaikan peserta setelah pemaparan materi.Â
Diskusi menarik saat seorang peserta bertanya mengenai hambatan penggunaan pupuk hayati di kalangan masyarakat dan kecenderungan komersialisasi pupuk hayati berjalan lambat.
Hambatan-hambatan di lapangan telah diidentifikasi narasumber yang akan penulis rangkum seperti di bawah ini.
1. Â Gempuran komersialisasi pupuk kimia
Prof. Reginawanti menyoroti alasan kurangnya anemo masyarakat terhadap keberlanjutan penggunaan pupuk mikroba. Hal ini disebabkan oleh gempuran pupuk kimia dan persaingan pasar yang sudah terlebih dahulu ada.
Dengan sangat mudah akses pupuk kimia di gerai fisik bahan-bahan pertanian di sekitar tempat tinggal petani. Bermacam-macam merk dan cenderung harganya murah. Dari sisi cara pemakain, petani sangat familiar dengan penggunaan pupuk kimia.
Situasi tersebut merupakan tantangan bahwa petani sangat menerima masuknya pupuk hayati ketika ada sosialisasi dalam kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat (PKM) namun terkadang sulit untuk konsisten menngunakan produk yang ditawarkan.Â
Beberapa produk pupuk hayati yang sudah dikomersialisasi sekalipun ketersediaannya tidak sebanyak pupuk kimia sementara kebutuhan petani melebihi yang tersedia.
2. Â Kebiasaan yang sukar berubah terhadap penggunaan pupuk kimia
Masih berkaitan dengan penjelasan sebelumnya, lebih lanjut Prof. Reginawanti menambahkan bahwa telah ada sejak lama sebuah pandangan bahwa pupuk kimia lebih praktis, mudah diperoleh, mudah aplikasinya dan murah.Â
Sehingga pola pemikiran seperti ini seharusnya memerlukan pendekatan-pendekatan persuasif dan pendampingan multibidang seperti pendampingan perilaku keberlanjutan penggunaan pupuk hayati terhadap kepatuhan pola pakai pupuk hayati.
Pada kenyataan di lapangan para petani tidak menolak ketika diajak untuk belajar menggunakan pupuk hayati dan dipaparkan dampak jangka panjang penggunaan pupuk kimia.Â
Meskipun demikian setelah berakhir program pendampingan dapat saja petani kembali menggunakan pupuk kimia dengan pertimbangan akses mendapatkan pupuk kimia lebih mudah, murah dan sebagainya.
3. Â Pabrikasi pupuk hayati (kebijakan penggunaan pupuk hayati)
Pabrikasi pupuk hayati diperkuat dengan langkah awal melakukan sertifikasi terhadap semua pupuk hayati nasional.Â
Dengan ini terdapat tantangan baru untuk melakukan pengujian mendalam kualitas dan sertifikasi produk sehingga lebih banyak lagi pupuk hayati yang beredar dan dengan mudah diakses masyarakat.
Menurut beliau, kondisi ini terkait dengan pembatasan impor logistik P dan K Â serta tidak lagi ada asupan bahan fosfat oleh Ukraina.Â
Hal tersebut mengisyaratkan kepada pemangku kepentingan untuk menggalakkan pabrikasi oleh perusahaan induk untuk badan usaha milik negara dalam bidang pupuk di Indonesia.
4. Â Minim kolaborasi multidisiplin ilmu dalam tim lapangan
Terakhir beliau menjabarkan pentingnya kolaborasi dari berbagai disiplin ilmu seperti sosial dan ekonomi. Berbagai pendekatan untuk menjangkau ketertarikan dan keberlanjutan penggunaan pupuk hayati. Tidak hanya selama program pendampingan berlangsung saja.
Prof. Reginawanti menyebutkan perlu juga ada perhatian intensif tidak cukup dengan hanya 6 bulan sekali dalam program PKM.Â
Beliau juga menyarankan perlu pendampingan 1-2 tahun atau lebih dalam menilai anemo masyarakat jangka panjang, diharapkan dapat mengubah pola kebiasaan pemaikaian pupuk kimia.
Demikian uraian yang disampaikan dalam sesi tersebut. Penulis setuju dengan pandangan Prof. Reginawanti. Menurut pandangan penulis, riset dasar dan aplikasi penggunaan pupuk saja belum cukup untuk merebut hati petani.Â
Penting untuk ada kebijakan, kolaborasi riset berbagai disiplin ilmu dan pendampingan intensif dalam jangka waktu yang lebih panjang untuk membersamai petani. Perlu adanya komitmen dalam jejaring untuk solusi permasalahan ini.
Dalam kesempatan forum ini beliau mengajak para peneliti untuk memperkuat barisan terutama peneliti multidisiplin ilmu sains dan teknologi, sosial dan ekonomi.
Masalah pupuk hayati ini adalah masalah kita bersama karena sangat berdampak luas pada rantai pangan, kesehatan masyarakat dan keseimbangan lingkungan. Akankah kita semua masih menutup mata dan berujar "ah.. itu kan urusan petani, urusan peneliti itu".
Lebih lengkapnya diskusi dapat disimak pada menit ke-32 dalam kanal Youtube yang terlampir pada referensi. Terima kasih sudah membaca.
Referensi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H