Mohon tunggu...
Dianita Sahentendi
Dianita Sahentendi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Ingin meningkatkan kemampuan menulis saya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Stop Normalisasi

3 Maret 2024   13:44 Diperbarui: 11 Maret 2024   09:32 864
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Setop Normalisasi "Rape Culture". (Sumber: Thinkstockphotos via kompas.com)

Pada 19 Agustus 2023 lalu saya sempat melakukan wawancara dengan Amalia Rizkyarini salah seorang konselor psikologis dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) non-pemerintah, yaitu Rifka Annisa. 

Rifka Annisa memiliki visi ingin menciptakan sebuah masyarakat yang adil gender dan tidak mentolerir adanya kekerasan terhadap perempuan.[1] 

Dalam wawancara ini saya menemukan bahwa rape culture menjadi salah satu budaya yang tumbuh subur ditengah masyarakat Indonesia.[2] Apalagi melihat kecenderungan budaya masyarakat Indonesia yang bercorak patriarki.

Patriarki merupakan sebuah paham yang mensentralisasikan laki-laki dalam setiap aspek. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika budaya rape culture menjadi semakin subur ditengah masyarakat kita. 

Rape culture merupakan sebuah tindakan yang menormalisasikan kekerasan seksual.[3] Tindakan penormalisasian tersebut dapat dilihat dengan adanya victim blaming terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. 

Victim blaming merupakan sebuah tindakan yang dilakukan oleh orang lain dengan menyalahkan korban atas peristiwa kekerasan seksual yang menimpa korban.[4] 

Victim blaming cenderung dilakukan dengan memberikan label-label tertentu terhadap korban sesuai dengan stigma yang ada di masyarakat, seperti penggoda dan objek. 

Penormalisasian rape culture dan victim blaming cenderung membuat korban kekerasan seksual sulit untuk membuka diri, bahkan sulit untuk mendapatkan penanganan yang tepat. 

Apalagi, bila stigma-stigma tersebut dikaitkan dengan nilai-nilai keagamaan. Ada beberapa kasus, perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual terlebih khusus kasus pemerkosaan yang kerap kali dianggap sebagai sebuah aib entah oleh masyarakat sekitar atau bahkan keluarga sendiri. 

Pelabelan stigma-stigma negatif terhadap setiap korban kekerasan seksual akan semakin membuat korban merasa tidak berharga dan bisa berujung kepada depresi. 

Oleh karena itu support dari lingkungan sekitar terhadap korban kekerasan seksual sangat diperlukan, untuk mempercepat proses penyembuhan korban kekerasan seksual dari trauma yang dialami pasca kasus tersebut.

Hal-hal seperti ini sangat menyedihkan bagi saya pribadi, karena saya selalu berfikir bahwa tidak ada orang yang pantas dijadikan sebagai korban kekerasan seksual dengan alasan apapun. 

Setiap orang yang menjadi korban kekerasan seksual berhak mendapat perlindungan dari pihak berwajib dan sangat membutuhkan dukungan dan rangkulan dari orang-orang yang ada disekitarnya. 

Hal tersebutlah yang kemudian mendorong saya untuk menulis artikel tentang kekerasan seksual secara verbal yang terjadi terhadap orang yang menjadi maskot Bobba (yang kemudian akan penulis sebut sebagai Bobba) di akun Bobba si Maskot Capsen.

Berawal dari konten "tinju" di tiktok yang secara tidak sengaja mengekspos sedikit bagian tubuh dari Bobba pada saat sedang membacakan komentar, membuat Bobba mendapatkan banyak komentar yang melecehkan secara verbal. 

Seperti salah satu komentar yang dilontarkan oleh akun B*t Wh***A**, "mik e gemoy" dimana kalimat ini memberikan gambaran bahwa si pengguna akun yang memberikan komentar merasa gemas terhadap area dada dari Bobba. 

Melihat banyaknya komentar yang melecehkan, membuat konten "tinju" tersebut dihapus oleh Bobba. Penghapusan konten tersebut mendorong Bobba untuk membuat konten yang menjelaskan alasannya mengapa konten "tinju" tersebut dihapus.

Apa yang dirasakan oleh Bobba saat mengalami kekerasan seksual secara verbal. Tapi, ternyata mirisnya masih ada sebagian orang yang menyalahkan Bobba sebagai korban.

Fenomena penormalisasian terhadap rape culture dan victim blaming terhadap korban kekerasan seksual dapat dilihat melalui komentar yang dilontarkan oleh beberapa akun setelah Bobba berani untuk menyuarakan kekerasan seksual yang dialaminya. Berikut adalah beberapa komentar yang dilontarkan terhadap akun tersebut:

"Lah emng wanita itu objek mknnya dijaga bajunya (emot patung batu) aneh" ungkap pengguna akun Gasm***r

"Cuman perempuan yg dibungkus kain kafan baru laki-laki kagak mesum otaknya" ungkap pengguna akun yang namanya ditutupi Bobba.

"Dan kamu tau ga kenapa pembungkus kain kafan wanita bisa berlapis lapis beda sma laki-laki yang cuma 1 lapis" ungkap pengguna akun yang namanya ditutupi Bobba.

"Cewe lemah" ungkap pengguna akun yang namanya ditutupi Bobba.

"Ini kenapa lebih baik perempuan di rumah, dan hindari kontak dengan laki-laki" ungkap pengguna akun yang namanya ditutupi Bobba.

Dari beberapa contoh komentar yang dilontarkan ke akun Bobba dapat dilihat bahwa korban kekerasan seksual secara verbal mengalami victim blaming oleh beberapa akun. 

Kecenderungan untuk melabeli korban dengan segala stigma negatif yang ada di masyarakat masih berlanjut hingga sekarang. Kecenderungan untuk menganggap perempuan sebagai objek untuk pemuas nafsu masih tumbuh subur ditengah masyarakat.

Laki-laki masih cenderung menganggap dirinya sebagai subjek yang berhak untuk melakukan apapun terhadap perempuan, karena perempuan merupakan objek bagi mereka. Perempuan tidak benar-benar dipandang sebagai sebagai seorang subjek yang utuh.

Perempuan-perempuan yang mengalami kekerasan seksual di ruang publik akan cenderung untuk diminta kembali ke ranah privat (rumah), karena dinilai lebih aman, seperti kasus yang dialami oleh Bobba. 

Padahal angka pelaku kekerasan seksual berdasarkan hubungan dengan korban yang paling banyak terjadi adalah dari orang-orang terdekat. 

Hal ini dapat dilihat dari data yang ada di Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), dimana pelaku paling banyak ditemui adalah pacar/ teman, suami/ istri dan orang tua.[5]

Tidak ada tempat yang benar-benar aman dan menjamin perempuan untuk terlepas dari kekerasan seksual. Karena, setiap orang memiliki potensi yang besar untuk menjadi korban dan pelaku kekerasan seksual tanpa terkecuali. 

Untuk itu perlu sikap untuk ekstra hati-hati dari kita semua untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual dan sebuah pola pikir yang tidak menormalisasi segala bentuk tindak kekerasan. 

Diperlukan keberanian dari setiap korban untuk menyuarakan ketidakadilan dan ketertindasan yang dialaminya sebagai korban kekerasan seksual.

Catatan Kaki

[1] Rifka Annisa Women's Crisis Center, "Visi Misi" diakses dari Rifka Annisa - Visi dan Misi (rifka-annisa.org) pada 27-02-2024 pukul 22:17 WIB.

[2] Amalia Rizkyarini sebagai konselor psikologis dari Rifka Annisa wawancara pada 19 Agustus 2023

[3] Salsabila Putri Pertiwi, "Apa itu Rape Culture? Kenali Bentuknya, Jangan Sampai Berlanjut!" diakses dari https://cewekbanget.grid.id/read/062796102/apa-itu-rape-culture-kenali-bentuknya-jangan-sampai-berlanjut pada 27-02-2024 pukul 18:22 WIB.

[4] Aulya Enggarining Restikawasti dan Warsono, "Alasan Perempuan Melakukan Victim Blaming pada Korban Pelecehan Seksual" JCMS Vol. 4, No. 1 Tahun 2019, 11.

[5] Simfoni PPA diakses dari SIMFONI-PPA (kemenpppa.go.id) pada 22-02-2024 pukul 19:49 WIB.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun