"Dan kamu tau ga kenapa pembungkus kain kafan wanita bisa berlapis lapis beda sma laki-laki yang cuma 1 lapis" ungkap pengguna akun yang namanya ditutupi Bobba.
"Cewe lemah" ungkap pengguna akun yang namanya ditutupi Bobba.
"Ini kenapa lebih baik perempuan di rumah, dan hindari kontak dengan laki-laki" ungkap pengguna akun yang namanya ditutupi Bobba.
Dari beberapa contoh komentar yang dilontarkan ke akun Bobba dapat dilihat bahwa korban kekerasan seksual secara verbal mengalami victim blaming oleh beberapa akun.Â
Kecenderungan untuk melabeli korban dengan segala stigma negatif yang ada di masyarakat masih berlanjut hingga sekarang. Kecenderungan untuk menganggap perempuan sebagai objek untuk pemuas nafsu masih tumbuh subur ditengah masyarakat.
Laki-laki masih cenderung menganggap dirinya sebagai subjek yang berhak untuk melakukan apapun terhadap perempuan, karena perempuan merupakan objek bagi mereka. Perempuan tidak benar-benar dipandang sebagai sebagai seorang subjek yang utuh.
Perempuan-perempuan yang mengalami kekerasan seksual di ruang publik akan cenderung untuk diminta kembali ke ranah privat (rumah), karena dinilai lebih aman, seperti kasus yang dialami oleh Bobba.Â
Padahal angka pelaku kekerasan seksual berdasarkan hubungan dengan korban yang paling banyak terjadi adalah dari orang-orang terdekat.Â
Hal ini dapat dilihat dari data yang ada di Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), dimana pelaku paling banyak ditemui adalah pacar/ teman, suami/ istri dan orang tua.[5]
Tidak ada tempat yang benar-benar aman dan menjamin perempuan untuk terlepas dari kekerasan seksual. Karena, setiap orang memiliki potensi yang besar untuk menjadi korban dan pelaku kekerasan seksual tanpa terkecuali.Â
Untuk itu perlu sikap untuk ekstra hati-hati dari kita semua untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual dan sebuah pola pikir yang tidak menormalisasi segala bentuk tindak kekerasan.Â