Pada 19 Agustus 2023 lalu saya sempat melakukan wawancara dengan Amalia Rizkyarini salah seorang konselor psikologis dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) non-pemerintah, yaitu Rifka Annisa.Â
Rifka Annisa memiliki visi ingin menciptakan sebuah masyarakat yang adil gender dan tidak mentolerir adanya kekerasan terhadap perempuan.[1]Â
Dalam wawancara ini saya menemukan bahwa rape culture menjadi salah satu budaya yang tumbuh subur ditengah masyarakat Indonesia.[2] Apalagi melihat kecenderungan budaya masyarakat Indonesia yang bercorak patriarki.
Patriarki merupakan sebuah paham yang mensentralisasikan laki-laki dalam setiap aspek. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika budaya rape culture menjadi semakin subur ditengah masyarakat kita.Â
Rape culture merupakan sebuah tindakan yang menormalisasikan kekerasan seksual.[3] Tindakan penormalisasian tersebut dapat dilihat dengan adanya victim blaming terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.Â
Victim blaming merupakan sebuah tindakan yang dilakukan oleh orang lain dengan menyalahkan korban atas peristiwa kekerasan seksual yang menimpa korban.[4]Â
Victim blaming cenderung dilakukan dengan memberikan label-label tertentu terhadap korban sesuai dengan stigma yang ada di masyarakat, seperti penggoda dan objek.Â
Penormalisasian rape culture dan victim blaming cenderung membuat korban kekerasan seksual sulit untuk membuka diri, bahkan sulit untuk mendapatkan penanganan yang tepat.Â
Apalagi, bila stigma-stigma tersebut dikaitkan dengan nilai-nilai keagamaan. Ada beberapa kasus, perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual terlebih khusus kasus pemerkosaan yang kerap kali dianggap sebagai sebuah aib entah oleh masyarakat sekitar atau bahkan keluarga sendiri.Â
Pelabelan stigma-stigma negatif terhadap setiap korban kekerasan seksual akan semakin membuat korban merasa tidak berharga dan bisa berujung kepada depresi.Â