a. Kemensos yang menyediakan DTKS (Data Integrasi Kesejahteraan Sosial)Â
b. Perguruan Tinggi
c. Kemdikbud Ristek
Kemdikbudtistek perlu memperketat pengawasan terkait penyaluran dan penerima KIP-K.Â
d. Puslapdik
Terkait hal ini, pakar Kebijakan Publik Unair, Gitadi Tegas Supramudyo Drs MSi dalam laman Unair, menyatakan bahwa sebagai lembaga yang mengatur KIP-K, Puslapdik dianggap kurang belajar dari pengalaman universitas lain. Hal ini karena banyak perguruan tinggi yang sebenarnya secara mekanisme sudah baik dalam menentukan SPP. Namun, diperlukan lembaga khusus untuk mengawasi jalannya kebijakan atau program.Â
Upaya mendesak pihak-pihak yang langsung berkaitan dengan program KIP-K dilakukan supaya tata kelola dan sistem penyeleksian dapat dibenahi menjadi lebih baik. Â Survei kecocokan data dan desentralisasi juga perlu dilakukan demi berlangsungnya program KIP-K yang tepat sasaran.
2. Membiasakan Pola Pikir Kritis dan LogisÂ
Selain perbaikan secara struktural, masyarakat perlu membiasakan diri untuk berpikir lebih logis dan kritis dalam menanggapi suatu isu yang beredar di dunia maya. Terjadinya labeling, generalisasi, doxxing, dan witch hunting akibat isu KIP-K salah sasaran dapat diminimalisasi apabila masyarakat berpikir kritis. Dengan berpikir kritis, masyarakat tidak akan semerta-merta menyebarkan identitas ataupun menghujat individu yang dianggap tidak pantas mendapatkan KIP-K hanya karena individu tersebut dianggap 'tidak hidup seperti orang miskin'.Â
3. Kesadaran DiriÂ
Kesadaran diri perlu dimiliki oleh setiap orang bahwa KIP-K dikhususkan untuk membantu segelintir orang yang mengalami kesulitan ekonomi, namun memiliki potensi untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi lagi. Perlu dipahami bahwa dengan kesadaran diri akan hak orang lain, tentu fenomena pengguna KIP-K dengan kebutuhan sangat tercukupi tidak akan menjadi sebuah masalah yang merugikan kesejahteraan orang lain.Â