Mekanisme yang kurang transparan menjadi salah satu faktor yang dominan dalam isu KIP-K salah sasaran. Sistem yang tertutup dan kurang akuntabel antara Perguruan Tinggi dengan Pemerintah, membuat integrasi KIP-K semakin tak bersinergi. Dalam prosesnya, mekanisme monitoring dan evaluasi yang kurang efektif dalam meninjau kondisi ekonomi penerima KIP-K secara berkala. Padahal, masa penerimaan yang cukup panjang (maksimal 8 semester) memerlukan monitoring hasil belajar dan kondisi ekonomi penerimanya.Â
Melalui fenomena  KIP-K salah sasaran, istilah witch hunt mencuat di media sosial. Witch hunt dalam bahasa Indonesia diartikan menjadi 'perburuan penyihir'. Namun, mengutip dari Collins Dictionary, istilah witch hunt sebenarnya mengacu pada upaya untuk menemukan dan menghukum sekelompok orang tertentu yang dipersalahkan atas sesuatu, seringkali hanya karena pendapat mereka dan bukan karena mereka benar-benar melakukan kesalahan. Dalam konteks ini, masyarakat dunia maya berbondong-bondong menuduh suatu individu tidak layak atau menyalahgunakan KIP-K hanya berdasarkan opini pribadi mereka.Â
Perburuan yang berlandaskan pada isu KIP-K salah sasaran berimplikasi pada berbagai masalah lainnya yang kemudian menyebar di media sosial, di antaranya yaitu:Â
1. Labeling dan Stigma terhadap Pengguna KIP-KÂ
Labeling adalah proses melabel atau mengecap seseorang yang diberikan tergantung pada penilaian masyarakat sesuai apa yang dilihat dan diterimanya dalam kehidupan sehari-hari (sitasi). Merebaknya isu KIP-K salah sasaran membuat sebagian masyarakat dengan mudahnya melabeli bahwa penerima KIP-K menyalahgunakan dana KIP-K hanya berdasarkan selintas foto atau video. Hal ini kemudian dapat menjadi stigma apabila terus terjadi.Â
Stigma merujuk pada "tanda" atau "label" yang digunakan sebagai sebutan sosial, penautan label ke stereotip negatif, atau kecenderungan untuk mengecualikan atau sebaliknya melakukan diskriminasi terhadap orang yang ditunjuk (Scheid & Brown, 2010 dalam Destrianti & Syafiq, 2019). Labeling dan stigma membuat penerima KIP-K yang sebenarnya tepat menerima perlakuan yang kurang menyenangkan. Hal ini membatasi ruang gerak para penerima KIP-K dalam memposting suatu hal yang sebenarnya masih pada taraf wajar.Â
2. DoxingÂ
Doxing merupakan bentuk cyberbullying ketika informasi pribadi orang lain dicari dan disebarkan, sehingga melanggar privasi dan memfasilitasi perundungan lebih lanjut (Chen, Cheung, dan Chan, 2019). Doxing diatur dalam pasal 27 Ayat 3 UU ITE yang melarang penyebaran informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Pada UU No 19 Tahun 2016 Pasal 26 Ayat (1) menyatakan bahwa "penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan dengan persetujuan orang yang bersangkutan". Maka, dapat dipahami bahwa perilaku doxing tidak dibenarkan, khususnya apabila dilakukan untuk membongkar identitas penerima KIP-K salah sasaran berdasarkan asumsi semata.Â
 Lantas, apa yang dapat dilakukan?
1. Mendorong Penyelesaian Masalah Secara StrukturalÂ
Masyarakat perlu mendesak penyelesaian masalah secara struktural. Cara yang dapat dilakukan yaitu mendesak pihak-pihak di antaranya, yaitu :Â