Terbentang luas semakin menampaki sepertengah dua di ujung perbatasan, diantaranya langit dan laut yang terpisah garis tipis menyatu menjadi warna kebiruan. Ombaknya telah melebur bersama pasir, serpihan cangkang, koral dan batu karang. Terbawa arus mampir sebentar dipinggirkan dan terpental. Lalu, kembali dalam hitungan menit datang dan membasahi lagi.
Pada sedayu biru. Jika sang bayu telah mengkoyakan, dimanakah  arah berlabuh pasti perahu kehilangan arah bertepi. Bukan? sama seperti Siti Zulaikah, kata orang dia sering berjalan sendiri menampaki  bibir pantai di sini. Hingga, aku mendengar  kabar "Siti Zukalaikah hilang lagi!"
Ku jajaki setiap persinggahan yang sering ia kunjungi. Pada akhirnya, di tempat ini  aku berdiri. Riuh fikiran mencoba melepaskan dari kebuntuan dari kekosongan.
"Cepatlah kembali!" Â suara hati merintih. Memohon
"Sudah berapa sering kau kesini Siti? Pasti kau bosan  hanya menatap puluhan kapal terapung, berserakan dan bau ikan asin terjemur hingga kering" batinku.
" Mungkinkah dia tinggal disana?"  pandanganku  kacau  kearah timur pulau merah  tak berpenghuni. Terbelesit sesaat menjemputnya dengan perahu dayung.
"Ah..mana mungkin dia pergi di pulau itu" pikirku lelah. Ngelantur
"Setiap persimpangan jalan  orang-orang berpapasan bercerita, berbagai isu menyebar luas di penjuru desa sampai penjuru desa tetangga. Kabarnya ada yang mengatakan :
"Siti Zulaikah terbawa gelombang laut di malam hari"
"Siti Zulaikah minggat bersama selingkuhanya"
" Siti Zulaikah bla...bla...bla..." ku tutup telinga rapat-rapat. Â Aku tak percaya omongan mereka.