Mohon tunggu...
Diana PutriArini
Diana PutriArini Mohon Tunggu... Psikolog - Diana Putri Arini

Penyuka filsafat hidup, berusaha mencari makna hidup agar dapat menjalani hidup penuh kebermaknaan

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Sadar Sehat Mental atau Glorifikasi Gangguan Mental?

4 Agustus 2021   07:05 Diperbarui: 4 Agustus 2021   07:29 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Saya sebenarnya ragu menuliskan hal ini karena tidak baik untuk berprasangka pada niat baik seseorang untuk memberikan dorongan terhadap kesadaran kesehatan mental. 

Namun disisi lain saya menemukan keresahan yang saya alami terhadap glorifikasi gangguan mental, ketika gangguan mental menjadi suatu kebanggaan orang-orang tertentu. Tulisan ini bentuk keresahan saya terhadap beberapa kondisi yang ada. 

Stigma gangguan mental di Indonesia terjadi membuat banyak masyarakat memiliki persepsi buruk terhadap orang dengan gangguan mental. 

Praharso (2020) membandingkan sistem pelayanan kesehatan mental masyarakat Indonesia lebih rendah dibandingkan masyarakat di wilayah Asia Tenggara lainnya terlihat adanya pelanggaran hak azasi manusia pasien kesehatan mental sehingga mereka tidak mendapatkan perawatan medis mendukung. 

Seperti halnya praktik pasung untuk pasien dengan gangguan kesehatan mental tingkat sedang atau parah, membuang anggota keluarga yang mengalami gangguan mental ataupun mengurung mereka.

 Indonesia musti berbenah terhadap pelayanan kesehatan mental, kesehatan mental masih hal baru bagi masyarakat Indonesia. Masyarakat kita masih mempercayai penanganan traditional ala spritual untuk menangani kesehatan mental seperti menangani depresi dengan jampi-jampi. 

Seiring perkembangan teknologi ketika film-film banyak membicarakan mengenai isu kesehatan mental yang semulanya adalah hal yang gelap, para publik figur mulai menceritakan perjuangan mereka mengenai gangguan kesehatan mental. Hal ini mendorong kesadaran masyarakat untuk memahami lebih banyak tentang kesehatan mental dan mengakses layanannya. 

Para psikolog dan ilmuwan psikologi mudah mulai gencar meningkatkan literasi kesehatan mental masyarakat dengan cara membuat website berisi informasi kesehatan mental, mengadakan sesi webinar, psikoedukasi masyarakat, membuka layanan psikologi di aplikasi mencari dokter, rumah sakit mulai sadar pentingnya psikolog membuka bangsal psikologi agar masyarakat dapat mengakses layanan psikologi. 

Sebuah tren mucul di kalangan masyarakat terutama dari kalangan milineal dan generasi Z, saya mengetahui ini ketika beberapa kali sesi pertemuan konseling, klien saya mengaku mengindap gangguan kejiwaan karena menonton testimoni dari publik figur kesukaannya. 

Tidak sedikit saya menemukan pengguna IG mencatut gangguan mental di bio mereka. Dari sini saya mulai bertanya apakah penggunaan diagnosis gangguan mental sebagai bagian dari identitas mereka? Pertanyaan saya terjawab ketika menemukan suatu jurnal penelitian mengenai Self and Other Diagnosis in User Led Mental Health Communitues (2010). 

Dari jurnal tersebut peneliti mengungkap bagaimana diagnosis gangguan mental (sebagian besar dilakukan secara mandiri) merupakan bagian dari pengenalan diri agar diterima dalam komunitas. 

Singkatnya jika kita berkenalan dengan orang lain kita akan merujuk pada objek atau sifat ertentu, misal : saya diana, penyuka warna ungu yang ceria. Namun sekarang menjadi trend, saya XXX seorang bipolar. 

Point ini menjadi pertanyaan benarkah mereka sadar kesehatan mental ataukah glorifikasi terhadap gangguan mental? Seseorang yang mengalami obsessive compulsive disorder akan merasa betul kepayahan karena berusaha untuk melakukan kegiatan berulang kali dan isi pikiran mereka begitu penuh. Hanya karena inidvidu punya kecenderungan satu simtom gangguan tertentu misal berulang kali cuci tangan, tidak bisa langsung didiagnosis mengalami gangguan obsesif kompulsif. 

Istilah meromantiskan gangguan mental diungkap oleh Shrestha (2018) merujuk pada kondisi dimana individu menganggap gangguan mental adalah suat hal yang kekinian dan menarik. Dulu stigma gangguan mental dianggap buruk dan berbahaya, sekarang stigma gangguan mental dianggap sesuatu yang dimaklumi dan menjadi tren. 

Banyak artikel mengungkapkan bagaimana media dianggap meromantiskan gangguan kejiwaan. Ryder (2020) menganggap netflix suka sekali meromantiskan gangguan jiwa di film-film mereka seperti film 13 reasons why. Film Korea yang saya anggap meromantiskan gangguan kejiwaan adalah Kill Me, Heal Me. 

Tentang seorang pengusaha sukses yang memiliki 7 identitas dalam tubuhnya. Awalnya saya tertarik menontonnya namun lama kelamaan terganggu alur dan penyampaian salah mengenai Dissosiative Indentity Disorder. 

Tokoh utama katanya sudah lama mendapatkan penanganan dari tenaga profesional, namun mengapa harus menunggu seorang gadis muda kebetulan berprofesi psikiater untuk membuat kepribadiannya utuh? Padahal ia mengetahui ada banyak identitas dalam dirinya dan tahu kapan mereka keluar namun mengapa tidak berusaha mengintegrasikan antar identitas dengan membuat dialog antara host dan alter ? 

Kembali ke meromantiskan gangguan kejiwaan yang dianggap sebagai trend. National Alliance Mental Illness  (2019) mengungkap adanya perubahan antara stigma gangguan kejiwaan menjadi sebuah sensasi karena pemahaman salah di media.  

Nami mengatakan sensasi gangguan kejiwaan membuat kelompok tertentu menganggap masalah kesehatan mental adalah kondisi tragis yang indah. 

Mereka mengekspos kondisi mereka di media sosial dalam rangka mencari simpati, rasa kasihan namun tidak berusaha mencari pertolongan ke tenaga profesional. Romantisasi gangguan mental merupakan tantangan dan masalah baru bagi praktisi agar bisa memberikan penjelasan utuh kepada masyarakat. 

Beberapa waktu lalu saya sempat mendapat pesan dari suatu komunitas dari luar negeri untuk meminta saya menjadi brand ambassador suatu produk sebagai bentuk dukungan terhadap kesehatan mental. Pernah juga mendapatkan email dari perusahaan pakaian renang di Swedia untuk mengajak dukungan self love dengan menggunakan produk baju renang mereka. 

Saya sedikit bingung hubungan self love terhadap pakaian renang? Setelah mendengarkan penjelasannya, ia mengatakan pakaian renang mereka didesain untuk siapapun tanpa harus khawatir lemak yang banyak ataupun kulit tidak sempurna. Saya hanya menjelaskan terdapat perbedaan budaya antara Indonesia dan Swedia, penggunaan pakaian renang sebagai bentuk self love hanya akan menimbulkan protes. 

Dua kejadian ini membuat saya sedikit berpikir nakal, apakah ini bentuk kesadaran kesehatan mental ataukan suatu trend? ataukah menjadi pasar baru bagi masyarakat. Pertanyaan saya terjawab ketika saya menemukan tulisan dari the New York Times mengenai kegelisahannya terhadap marchandise bertema kesehatan mental yang dianggapnya meromantiskan gangguan kejiwaan. 

Penulis sangat terganggu dengan penggambaran media terhadap gangguan kejiwaan. Gadis pengidap gangguan kesehatan mental yang cantik punya kepribadian rapuh ditolong oleh pria dengan kehidupan yang baik begitupula sebaliknya. Tren mengklaim diri mengalami gangguan kesehatan mental atau berpura-pura sangat tidak dianjurkan karena berbeda sekali dengan kenyataannya. 

Jika bertanya apa dampak dari romantisasi gangguan kejiwaan, dampaknya adalah melakukan diagnosis secara mandiri sehingga penangangannya berbeda. 

Beberapa temuan riset melaporkan orang-orang dengan diagnosis mandiri seringkali mengakses obat tanpa resep dokter sehingga mendekatkan mereka pada penyalahgunaan zat. Selain itu karena adanya efek romantisasi ini mengakibatkan mereka tidak membutuhkan mencari pertolongan dengan tenaga ahli karena menganggap mereka cukup mampu untuk berjuang menghadapi kondisi luka tragis yang indah ini. 

Gangguan mental adalah hal serius! 

Tidak bisa didiagnosis dengan sendirinya, seorang ahli untuk bisa mendiagnosis harus memiliki latar belakang pendidikan psikologi/psikiatri, melanjutkan sekolah keprofesian dibidang psikologi klinis/psikiatri dan melakukan praktek dilapangan. Selain itu ada pedoman dan pengalaman untuk mendiagnosis simtom. 

Anggapan untuk dapat dimaklumi atau menarik simpati orang lain karena kamu mengalami gangguan mental akan membuatmu dianggap bermasalah dilingkungan sosialmu. 

Kamu tidak bisa terus-terusan mengklaim kamu melakukan kesalahan atau menyakiti orang lain karena simtommu bermasalah. Oleh karena itu kamu butuh penanganan dari tenaga profesional bukan belas kasihan dari orang lain meski itu membuatmu nyaman. 

Sumber bacaan: 

Giles, D.,& Newbold, J. (2010). Self and Other Diagnosis in User Led Mental Health Communitues. Qualitative Health Research 21 (419),420-428. DOI: 10.1177/1049732310381388.

James, R.P. (2018). Please Stop Merchandising Mental Illness. 

Media, W. (2021).Romantisasi Gangguan Mental: Ketika Gangguan Mental Menjadi Trend Kekinian 

Ryder, G. (2020). Netflix Loves to Romaticize Mental Health 

Sharesta, A. (2018). Echo: the Romanticization of Mental Illness on Tumblr. The Undergraduate Research Journal of Psychology at UCLA. 

Yu, J. (2019). From Stignatized to Sensationalized. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun