Suara adzan Isya' terdengar berkumandang. Abi, Ahmad, Adam dan Fatih bergegas menuju mushola. Keempat anak itu terlihat sangat ceria. Hari itu ada pengajian rutin anak-anak sehabis sholat Isya. Kata Pak Ustadz Basyori, nanti juga ada kakak-kakak mahasiswa yang akan memberikan kuis. Bagi pemenangnya akan diberi hadiah. Tentu saja anak-anak sangat senang.
"Ayo lekas teman-teman, keburu iqomah. Nanti kita tak kebagian tempat di barisan depan," Abi berseru pada teman-temannya.
"Iya, nanti keburu barisan depan ditempati sama Andi dan Vano," lanjut Fatih.
"Eh, maksudku bukan begitu. Andi sama Vano boleh saja menempati barisan depan, tetapi maksudku jika kita berada di barisan depan pahalanya akan semakin banyak, begitu lho," kata Abi sambil tertawa.
"Betul, Abi. Aku tahu. Tetapi jangan sampai kedua anak itu ada di barisan depan. Bisa bahaya. Suka usil dan mengganggu orang sholat seperti kejadian dua hari yang lalu. Waktu itu kamu tidak ikut sholat berjamaah. Mereka berdua kentut dengan sengaja sehingga mengacaukan konsentrasi seisi mushola," Fatih berusaha menjelaskan.
"Oh begitu, ya nanti biar aku yang beritahu agar mereka jangan seperti itu lagi. Yuk, masuk ke dalam," Abi dan ketiga temannya segera masuk ke dalam mushola.
Beberapa saat kemudian, iqomah pun berkumandang, dan sholat Isya' pun segera dimulai. Seperti hari-hari biasanya jamaah yang datang selalu banyak. Tidak ada pembatasan ruang antara orang dewasa dan anak-anak. Semuanya berbaur menjadi satu. Meskipun demikian, suasana terlihat tenang karena anak-anak telah terbiasa melakukan sholat berjamaah sehingga mudah diatur.
Tetapi suasana tenang itu sepertinya tidak berlangsung lama. Ketika tiba rakaat kedua terdengarlah suara dua orang anak yang tertawa cekikikan di barisan paling belakang. Lama-kelamaan suara itu semakin keras. Ketika sholat telah usai, Ustadz Basyori mendekati kedua anak tersebut.
"Andi, Vano, mengapa kalian tertawa saat sholat?" tegur Pak Ustadz, meskipun lembut tetapi tegas.
"Ampun Pak Ustadz, kami tidak sengaja. Tadi ada semut menggigit pantat saya. Saya merasa geli," kata Andi.
"Betul Pak Ustadz. Gara-gara Andi digigit semut, saya jadi ikut tertawa," lanjut Vano.
"Meskipun digigit semut, kalian tidak boleh tertawa, nanti bisa mengganggu yang lain. Ya sudah, lain kali jangan diluang lagi ya," pesan Pak Ustadz.
"Iya, Pak Ustadz," Andi dan Vano menganggukkan kepalanya.
Saat itu Abi, Ahmad, Adam, dan Fatih tengah melihat ke arah Andi. Andi yang merasa diperhatikan menyenggol lengan Vano.
"Ssst, lihat Abi melihat ke arahku, kamu tahu sendiri kan Ustadz Basyori, selalu memarahi kita. Kita selalu saja salah di mata Pak Ustadz, tetapi kalau sama Abi, Pak Ustadz tidak pernah marah," bisik Andi ke telinga Vano.
"Betul, aku rasa juga begitu. Besok kita kasih pelajaran sama si Abi," jawab Vano.
"Ayo adik-adik duduk di sini. Kakak akan bacakan kuis dan bagi yang bisa menjawab Kakak akan beri hadiah menarik." Seorang pemuda tampak memberi aba-aba pada anak-anak agar duduk melingkar.
"Horee, apa hadiahnya Kak Iqbal?" teriak anak-anak.
"Wah hadiahnya banyak lho. Ada buku tulis, pensil, tempat pensil, tas, sepatu, dan uang. Yang nilainya paling banyak akan dapat hadiah sepatu dan uang dua ratus ribu," lanjut pemuda itu. Kemudian pemuda yang dipanggil Kak Iqbal itu membacakan beberapa pertanyaan kuis. Beberapa anak tampak menjawab silih-berganti. Tepuk tangan dan sorak-sorai bergema memenuhi mushola.
"Sekarang saatnya menentukan para pemenang. Nah, dengar baik-baik ya, pemenang pertama adalah Abi, pemenang kedua adalah Adam, dan pemenang ketiga adalah Fatih. Ayo para pemenang silakan maju ke depan. Ada hadiah buat kalian," Kak Iqbal pun menyerahkan bingkisan kepada Abi, Adam, dan Fatih.
"Bagi yang belum menang, jangan sedih. Karena kami juga memberikan hadiah. Ini hadiah buat kalian semua, horeee!" Beberapa teman Kak Iqbal menyerahkan beberapa bingkisan kecil yang berisi makanan dan permen.
"Terima kasih Kak, terima kasih," ucap anak-anak gembira. Kini tak ada lagi yang merasa sedih karena tidak mendapat hadiah, karena yang tidak menang pun mendapat hadiah.
"Ya sudah adik-adik, sekarang acaranya ditutup ya, kalian semua langsung pulang, dan jangan mampir kemana pun. Nah, Assalamu'alaikum adik-adik!" kata Kak Iqbal dan teman-temannya.
"Iya Kak, Wassalamu'alaikum." Anak-anak pun berhamburan keluar.
Kak Iqbal dan teman-temannya menuju tempat sandal. Alangkah terkejutnya mereka karena sandal milik Kak Iqbal tidak ada di tempatnya alias hilang.
"Waduh, sandalku tidak ada," kata Kak Iqbal kebingungan.
"Coba, dicari di sebelah sana," usul salah seorang Kak Iqbal. Beberapa saat lamanya mereka sibuk mencari, tetapi karena tidak juga ketemu, Kak Iqbal memutuskan untuk pulang.
"Yuk, kita pulang saja. Besok kita cari lagi. Siapa tahu terbawa sama jamaah yang lain.
Berita tentang hilangnya sandal milik Kak Iqbal tersebut terdengar oleh Ustadz Basyori. Mendengar berita itu, Pak Ustadz hanya geleng-geleng kepala.
"Saya tahu siapa pencurinya, dan saya punya cara jitu untuk menangkapnya," kata Ustadz Basyori pada Kak Iqbal.
Petang itu sehabis sholat magribh, atas perintah Ustadz Basyori, Kak Iqbal memberikan pengumuman.
"Assalamu 'alaikum. Adik-adik semua berkumpul di sini. Kalian tentu tahu kalau saya baru saja kehilangan sandal. Pak Ustadz ingin agar kalian semua minum air putih yang sudah dido'akan oleh Pak Ustadz. Setelah itu kalian boleh pulang. Nanti saat sholat Isya' kalian bisa datang ke mushola lagi. Ingat setelah berwudhu telapak tangan kanan kalian harus ditutup dengan kain, dan tidak boleh dibuka oleh siapa pun kecuali oleh Pak Ustadz. Bagi yang bukan pencuri di telapak tangan kanannya akan muncul tulisan "saya bukan pencuri". Kata Kak Iqbal.
Anak-anak tampak berbondong-bondong mengantri air putih dari Pak Ustadz. Kemudian mereka pun pulang ke rumah masing-masing. Ketika waktu sholat Isya' tiba anak-anak pun kembali datang ke mushola. Setelah sholat Isya' selesai dilakukan anak-anak duduk dengan tertib menunggu pemeriksaan yang dilakukan oleh Ustadz Basyori.
Ustadz Basyori terlihat sangat serius. Beliau memandangi wajah anak-anak satu-persatu. Abi, Adam, Fatih, Andi, Vano, dan wajah anak-anak lainnya. Kak Iqbal terdiam. Sepertinya ia belum tahu bagaimana cara Pak Ustadz menangkap pencurinya. Selanjutnya Pak Ustadz pun mulai memeriksa tangan anak-anak. Ketika tiba giliran Andi dan Vano, dahi Pak Ustadz terihat berkerut. Ternyata pada telapak tangan mereka terdapat tulisan "saya bukan pencuri".
"Mengapa telapak tangan kalian ada tulisan seperti ini?" tanya Pak Ustadz sedikit berbisik.
"Iya, karena saya bukan pencurinya Pak Ustadz," jawab Andi dan Vano gemetaran.
"Betul kalian bukan pencurinya?" tanya Pak Ustadz.
Andi dan Vano tidak menjawab, mereka justru menangis dan meminta maaf pada Pak Ustadz.
"Kami minta maaf Pak Ustadz, kami yang mencuri sandal Kak Iqbal," kata Andi dan Vano bersamaan. Pak Ustadz mengeryitkan keningnya.
"Sebenarnya setelah kami sembunyikan sandal Kak Iqbal, kami mau membawanya ke rumah Abi, supaya Abi yang dikira pencurinya, tetapi kami belum sempat melakukannya," lanjut Andi.
"Mengapa kalian melakukan perbuatan itu?" tanya Pak Ustadz.
"Kami merasa iri pada Abi, karena Abi selalu disayang sama Pak Ustadz, sedangkan kami selalu dimarahi," imbuh Vano.
"Dengar Andi, Vano, juga anak-anak yang lain. Pak Ustadz sayang sama kalian semua. Pak Ustadz memarahi Andi dan Vano bukan karena benci, tetapi karena Pak Ustadz sayang dan ingin meluruskan," kata Ustadz Basyori.
"Iya, Pak Ustadz." Andi dan Vano manggut-manggut.
"Andi, Vano, jangan ulangi perbuatan seperti itu tadi ya? Mencuri, berbuat usil, iri hati, dan ingin memfitnah teman itu perbuatan dosa, singkirkan jauh-jauh dari diri kalian. Sekarang kalian minta maaf pada Kak Iqbal," nasehat Pak Ustadz sambil mengelus kepala Andi dan Vano.
Andi dan Vano beringsut mendekati Kak Iqbal.
"Kak Iqbal maafkan kesalahan kami ya." Andi dan Vano bersalaman dengan Kak Iqbal," Abi, Adam, Fatih, dan juga teman-teman yang pernah kami sakiti, kami minta maaf ya..." lanjut mereka. Pak Ustadz merasa gembira dan lega karena Andi dan Vano telah menyadari perbuatan mereka.
Sementara itu Kak Iqbal yang masih penasaran terlihat mendekati Ustadz Basyori.
"Pak Ustadz kok bisa tahu sih kalau pencurinya Andi dan Vano?" tanya Kak Iqbal.
"Gampang saja, saya hanya menjalankan strategi untuk menakut-nakuti anak-anak saja. Tidak mungkin ada tulisan yang muncul di telapak tangan pada anak yang tidak mencuri. Nah, Andi dan Vano yang merasa bersalah tentu mempercayai hal ini, ia takut ketahuan. Maka ia menulisi telapak tangan mereka sendiri, berarti merekalah pencurinya," kata Pak Ustadz sambil tersentum.
"Wah, Pak Ustadz ini rupanya berbakat jadi detektif ya." Kak Iqbal merasa kagum.
"Ya, untuk membuat jera anak-anak nakal ha ha ha." Pak Ustadz tertawa berderai.
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H