Kamis ke sembilan bulan ketiga semester pertama dalam kalender pendidikan, artinya masih ada enam belas Kamis lagi untuk menyelesaikan agenda pendidikan semester ini.Â
Di ruang kepala sekolah. Sebuah meja persegi panjang dari kayu, yang halus, mengkilat, dan berwarna coklat muda permukaannya berada di tengah agak ke depan dekat pintu masuk ruang. Meja itu dikelilingi kursi-kursi besi berjumlah sekitar sepuluh atau dua belas, dengan bantalan dan sandaran busa dilapisi kulit sintesis berwarna hitam. Cahaya ruangan temaram, berasal dari jendela kaca di ujung utara, pintu kaca yang hampir selalu tertutup di ujung selatan, dan sebuah lampu kuning di tengah ruangan. Udara ruangan dingin, berasal dari paparan AC yang hampir terus-menerus dinyalakan.
Beberapa air mineral gelas, disajikan di keranjang air mineral, di atas meja, terlihat berdebu dan dingin karena terpapar AC. Beberapa makanan kering yang berupa pastel kering dan biskuit kecil, yang disajikan di dalam toples gelas jernih bergambar sulur-sulur tanaman, daun, dan bunga berwarna kuning, dengan tutup toples yang juga berwarna kuning, juga terlihat tidak menyelerakan dan dingin.
Ruangan kepala sekolah inilah yang menjadi saksi bisu, yang menyaksikan sebagian orang yang duduk di situ merasakan suasana yang tidak menyenangkan. Saksi bisu rapat mengadili seorang pegawai sekolah yang berbuat atau dianggap berbuat salah. Saksi bisu rapat mengakhiri pertikaian sesama pegawai sekolah yang seringnya diselesaikan secara kurang adil. Saksi bisu rapat para pejabat sekolah untuk mengerjakan suatu hal yang penting, yang hal tersebut mau atau tidak mau, bagaimanapun caranya, harus diselesaikan, oleh pejabat sekolah, yang pejabat sekolah akan menekan anak buahnya, anak buahnya akan menekan anak buahnya lagi atau rekannnya, dan seterusnya.Â
Pun saat ini, di ruang kepala sekolah ini, saat semua pejabat sekolah mengenakan pakaian adat, sedang diadakan rapat oleh para pejabat sekolah untuk mencari guru kimia sementara, menggantikan guru kimia yang baru saja dipindahkan, bagaimanapun caranya.
Sementara itu di ruang guru, satu atau dua guru sedang duduk sendiri, mengerjakan berbagai tugas guru dengan serius. Lima guru sedang berkumpul bersama dalam suatu kelompok. Sedangkan sisanya mungkin sedang masuk kelas untuk mendidik siswa.
Lima guru yang berkumpul itu terdiri atas dua guru lelaki, dan dua guru wanita, membahas sesuatu yang mungkin kurang penting untuk dibicarakan di sekolah namun sebenarnya juga penting dan menyenangkan bagi kehidupan pribadi untuk dibicarakan.Â
"Triyan, makanya nikah, jangan njomblo terus!"Â
Lelaki yang dipanggil Triyan itu, yang mengenakan beskap hitam, alih-alih mengamati lelaki yang menyinggungnya, dia justru tidak tersinggung dan terus mengamati wanita yang ada di depannya. "Ah..Aji, Aji, kamu juga nikah, sampai sekarang pinjamanmu di koperasi belum lunas, kan? Mending kita cari modal dulu ya, Kenanga?".Â
Wanita berjilbab di depannya, yang dipanggil Kenanga, yang mengenakan kebaya brokat warna hijau muda dipadu kain satin warna coklat itu, tertawa memperlihatkan gigi-giginya, "Apa iya, gitu? Aku tidak tahu malah!" katanya.Â
Aji yang mengenakan beskap dari bahan seragam bermotif bunga-bunga kuno warna merah muda dan biru, wajahnya merah padam, tapi kemudian dia berusaha menormalkan kembali warna wajahnya, sambil berkata, "Nggak melulu soal materi juga sih, ya, Meiga, Dwi? Tapi menikah itu tentang kenyamanan, tentang ketenangan. Jadi kalau sudah menikah itu.." kata Aji lagi.
"Ssah! Lagi pada ngobrol apa sih? Penting, ya, gitu?" potong Meiga akhirnya, wanita cantik yang sudah menikah, yang mengenakan jilbab dan baju lurik coklat, sambil mengerjakan tugas di laptopnya.
Sedangkan Dwi, wanita yang mengenakan kebaya dari bahan seragam yang sama dengan Aji, hanya tersenyum memperlihatkan gigi-giginya.
"..Eh," kata seorang guru lelaki lain yang berjalan masuk terburu-buru dari pintu masuk, sambil membawa kertas, Â "Kenanga, kamu dapat tugas dari sekolah untuk menjadi guru pengganti, mengajar mata pelajaran kimia di jurusan teknik." kata orang tersebut, setelah dekat dengan mereka.
"Hah..? Kok Aku, Rud?" tanya Kenanga bengong.
"Ya, ini udah keputusan! Nama-nama yang tertulis di sini adalah calon guru pengganti kimia sementara, sebelum kedatangan guru kimia baru yang sebenarnya, karena kepindahan salah satu guru kimia kita kemarin."
Kenanga mengambil kertas yang dibawa oleh Rudi, "Kok diantara gerombolan ini, cuma aku sama kamu Rud, yang lain mana?" tanya Kenanga lagi.
"Sorry..aku sudah menolak dengan halus. Aku bilang aku bersedia, tapi aku tidak ahli.. jadi ya.. aku tidak jadi guru pengganti." kata Meiga sambil mengedikkan bahunya, acuh tak acuh.
"Aku juga iya..." kata Dwi
"Nah, jamku sudah full ..jadi aku juga nggak!" kata Triyan.
"Aku lebih nggak mungkin lagi, aku guru bahasa, masa ngajar Kimia..?" kata Aji.
"Nah, berhubung yang lain sudah menolak, mau minta guru senior juga tidak mungkin, ngapain, karena ada guru junior yang bisa dimanfaatkan, dan kandidat pengajar guru yang ahli kimia juga terbatas, jadi kamu wajib menerima!" kata Rudi lagi sambil menatap Kenanga sambil tertawa, yang tawanya seolah tawa mengejek karena ada seorang guru yang diberi tugas yang membuatnya menderita, namun juga tawa bangga karena tidak semua guru mampu melaksanakan tugas tersebut.
"Kalau yang lain bisa menolak, tentu saja aku bisa menolak, kenapa tidak? Lagipula, mereka sempat ditanyai, kenapa aku tidak?" protes Kenanga.
"Sayangnya kamu tidak bisa menolak. Kamu dapat perintah langsung dari atasan. Kenapa? Karena kata atasan, dulu waktu kamu sekolah, kamu adalah bintangnya IPA, orang eksak, sering juara lomba, ahli sains, pokoknya begitulah! Ya kan? Jadi kamu termasuk kandidat pasti, yang tidak perlu ditanyai dulu." kata Rudi lagi, sambil masih tersenyum menatap Kenanga.
"Tidak, itu hoax." kata Kenanga datar.
"Bagaimana mungkin senior yang serius, pendiam, dan selalu mengatakan sesuatu yang benar itu bilang hoax?" sanggah Rudi segera.
"Ya, gitu ya?! Aku harus segera membagikan surat perintah ini ke beberapa guru yang lain." kata Rudi tergesa-gesa.Â
"Perintah macam apa ini?" kata Kenanga lirih, sambil memalingkan wajahnya.
"Apa?" tanya Rudi.Â
"Tidak apa-apa." kata Kenanga sambil menengokkan wajahnya lagi.
"Aku dapat berapa jam?"
"Dapat dua kelas, teknik 1 dan teknik 2, totalnya delapan jam."Â
"Aku sudah ngajar 32 jam ditambah delapan jam jadi 40 jam dong?!"
Semua guru meringis sambil memalingkan wajah. Hanya orang-orang yang mengalami, yang tahu beratnya mengajar selama 40 jam seminggu. Sangat menguras tenaga dan pikiran.
"Mulai kapan aku ngajar?"Â
"Mulai saat ini, sebentar lagi!" kata Rudi tertawa lagi.
"Saat ini?!" tanya Kenanga lagi kaget.
Semua orang tersenyum masam lagi.
"Okelah, aku pergi ya? Menyelesaikan tugas ini." kata Rudi sambil beranjak pergi, tanpa mempedulikan Kenanga lagi.
Triyan terus mengamati Kenanga, sambil terus tersenyum mengejek seolah-olah senang dengan penderitaan Kenanga, "Mereka anak teknik, hati-hati dengan mereka!" kata Triyan.
"Eh, Engkau salah satu wali kelasnya mereka ya?" tanya Kenanga sambil menatap tajam Triyan.Â
Triyan mengangguk-anggukan kepalanya penuh makna.
"Buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya."
"Artinya?"
Kenanga tidak mau menjawabnya hanya melirik tajam Triyan.
Tak lama kemudian bel pergantian jam pelajaran terdengar berbunyi.
"Ganti jam, ayo, masuk kelas!" Ajak Meiga.
"Ayok, jalan bareng!" kata DwiÂ
"Aku ikut!" kata Aji.
"Sudah sana, masuk kelas!" perintah Triyan, masih sambil terus mengamati dan tersenyum mengejek ke arah wanita yang mengenakan kain jarik warna coklat tua, yang nampak manis itu.
Kenanga melirik Triyan lagi, "Minta kontak ketua kelasnya!" pinta Kenanga, lalu ia segera menundukkan pandangannya dari lelaki yang memiliki badan tinggi, tegap, dan berwajah tampan layaknya seorang pangeran Jawa itu.
Triyan mengambil ponselnya, membuka layarnya, dan memberikannya kepada Kenanga.
Kenanga segera menghubungi kontak ketua kelas tersebut.
Beberapa menit setelah menghubungi, ketua kelas meresponnya.
Ketua kelas nampaknya anak baik dan ramah. Pun dia tanpa disuruh langsung berinisiatif untuk memasukan kontak Kenanga ke dalam grup kelas.Â
Namun tanpa dinyana, karena kelas tersebut sebagian besar adalah cowok, maka memang itulah mereka yang sebenarnya, atau seolah mereka dengan sengaja menguji dan mem-bully guru baru, kata-kata mereka di grup langsung mengarah ke kata-kata jorok, seperti kata-kata cowok pada umumnya. Yang ini membuat Kenanga tersenyum-senyum sendiri karenanya.Â
"Kenapa kamu tersenyam-senyum sendiri? Seperti orang aneh!" kata Triyan.
Ketua kelas, akhirnya, sepertinya dengan terpaksa, segera mengeluarkan lagi Kenanga dari grup kelas tersebut.
"Memang, mereka itu seperti wali kelasnya!" kata Kenanga sambil melirik Triyan.
Triyan mau protes, namun kemudian terhenti karena Kenanga tiba-tiba berdiri sambil menelepon seseorang, "Di ruang mana Mas? Oke, saya kesitu.." kata Kenanga sambil melirik tajam Triyan, lalu menutup teleponnya, lalu beranjak dari tempat tersebut.
Triyan menunduk, menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyumÂ
...
"Haloo..." sapa Kenanga begitu masuk kelas, sambil tersenyum.
Tidak ada yang menjawab, hanya ketua kelas yang menjawab, namun nampaknya dia sulit memposisikan diri. Di satu sisi dia tidak enak terhadap guru baru dan teman-temannya memperlakukan guru baru seperti itu, tapi di sisi lain seolah ia menanggung beban sepenanggungan, tidak bisa menyalahkan teman-temannya yang bersikap seperti itu terhadap guru baru, apalagi guru kimia.
Kenanga duduk di kursinya dengan nyaman dan mengamati siswa-siswanya dengan santai.
Siswa-siswanya tegang, wajahnya hitam kelam bagai langit tak berbintang, tatapan mata penuh kebencian, tatapan mata menolak, ada yang main game dan gawai, bahkan ada siswa yang satu kakinya diangkat ke kursinya.Â
"Oke, nama saya Kenanga, saya pengganti Pak Ilham, sementara." kata Kenanga.
"Karena sementara, jangan khawatir, kita hanya akan berjumpa sebentar." kata Kenanga lagi.
Satu demi satu siswa mulai mengangkat kepalanya, mengamati Kenanga, dan mendapati Kenanga adalah guru yang unik sekaligus.. cantik, yang murah senyum dan seolah cuek, seolah guru yang tidak peduli muridnya paham kimia atau tidak, yang penting dia mengajar.
"Oke, jadi saya akan mengajar kimia, dan jangan khawatir saya tidak akan menyulitkan kalian. Kalian boleh menggunakan google, AI, YouTube, Quora, atau aplikasi apapun lainnya, selama belajar dan untuk menjawab soal kimia kalian. Pun setelah materinya selesai, kalian boleh main TikTok."
Mata siswa-siswa itu seolah mulai cerah, berbinar. Beban berat seolah mulai menguap dari punggung dan pundak mereka. Kata-kata 'wuoh' mulai terdengar dari mulut mereka, meskipun tidak secara terang-terangan dan tidak terlalu keras, semua mulai ceria dan bernafas lega.
"Oke, kita akan mulai pelajaran pertama, setelah saya absen untuk kenalan dulu, dan saya lihat dulu materinya sampai mana!" kata Kenanga lagi, sambil tersenyum penuh bangga, seolah menenangkan pertempuran pertamanya.
...
Sambil mengamai siswanya mengerjakan tugas, Kenanga melihat ada empat siswa berjilbab di antara siswa lelaki itu. Dan dua dari empat siswa berjilbab itu nampak ramah, nampak serius menjalani sekolahnya, dan nampak cerdas. Kenanga tersenyum melihat dua siswa tersebut, lalu teringat dengan kehidupannya sendiri. "Aku sarankan sekolah itu biasa-biasa saja, jangan terlalu badung parah, namun juga jangan terlalu serius parah..." kata Kenanga sambil terus melihat siswa-siswanya.
Tidak ada yang memperhatikan kata-kata Kenanga, siswa cowok masih berada pada pada tingkat ketidakpedulian tertingginya, sedangkan dua siswa cewek merasa sangat yakin kalau Kenanga berkata kepada mereka, namun juga seolah tidak yakin kata-kata itu untuk mereka.
Kenanga tersenyum lagi sambil melemparkan pandangannya ke luar jendela. Kenanga teringat tentang kehidupannya dirinya sendiri,,waktu itu ia masih SD, SMP, SMA. Ia ingat, ia memang menjadi siswa yang sangat pandai, ranking, juara, ranking, dan juara.
Namun kemudian sekarang, ia menyayangkan hal tersebut. Ia merasa hidupnya tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk menyenangkan orang lain. Orang lain akan memujinya, mengelu-elukannnya, ketika ia juara dan ranking. Namun setelah itu, bebannya semakin berat dan berat. Ia mulai takut gagal, ia takut mencoba ini dan itu, ia takut dicemooh orang. Dan hingga sekarang, meskipun sebenarnya dia sudah mulai cuek pada kehidupannya, tapi ia kadang masih merasa terjebak di zona itu, tidak bebas, dan takut pada kegagalan.
"Sudah selesai? Silakan maju!" kata Kenanga kemudian.
"Lihat google tidak apa-apa Bu?"
"Ya.."
"Pakai aplikasi?"
"Boleh.. "
Akhirnya siswa-siswanya pun antusias untuk maju. Sepuluh soal itu pun laris manis dikerjakan oleh siswanya.Â
Kenanga tersenyum dengan puas. Merasa memenangkan pertarungan keduanya.Â
Kenanga lalu maju untuk melihat jawaban siswa-siswanya, "Nomor satu benar, dua benar, tiga...sepuluh benar. Benar semua! Keren! Mari kita bahas sedikit penjelasannya!" kata kenanga.
Semua siswa tersenyum dengan girang.
Kenanga lalu maju untuk menjelaskan soal-soal kimia tersebut.
Semua siswa teknik itu, yang sebagian besar putra dan sebagian kecil putri, akhirnya terbengong mengamati Kenanga. Mereka terbius olehnya. Wanita yang di depan mereka itu, kecerdasannya dalam menguasai ilmu kimia luar biasa, matanya cerah bagai kejora yang penuh semangat, suaranya ceria, tawanya mempesona dan ceria, wajahnya juga cantik khas Jawa, yang waktu itu memang kebetulan berpadu dengan kebaya dan jarik, tinggi dan berat badannya sedang, sedangkan gerak-geriknya lincah dan menarik seperti burung pipit, kesana-kemari menjelaskan ilmu kimia di papan tulis.
"Sudah selesai materi kita. Silakan lanjut TikTok-an!" Perintah Kenanga membuyarkan lamunan siswa-siswanya.
"Yes..!" jawab mereka akhirnya, sambil mengepalkan tangannya.
Kenanga akhirnya dapat duduk dengan lagi dengan santai.
"Mendidik kalian ini, harus diambil dan dibesarkan hatinya. Jangan sampai aku stress dan putus asa, sama stressnya dengan kalian saat belajar kimia.Â
Lagipula nanti saat kalian lulus ada beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama kamu tidak akan menggunakan ilmu kimia yang rumit ini. Kemungkinan kedua kamu tidak mau repot mengerjakan soal seperti ini selain tanya ke aplikasi. Kemungkinan ketiga yang penting kamu bisa memanfaatkan teknologi untuk mengerjakan kimia dan soal-soal kehidupanmu yang lain, itu sudah cukup bagus!" kata Kenanga seolah-olah bicara kepada dirinya sendiri, tapi juga seolah-olah agar siswanya mendengarnya.
"Haha..benar itu, benar Bu!"
"Ibu, Ibu, emang hari ini hari Kartini? Selamat hari Kartini ya Bu."
"Bukan, hari Kamis."
"Kok pakai kebaya?"
"Ya, setiap hari Kamis, para guru, pakai pakaian adat!"
"Oh gitu, kok nggak pakai pakaian adat Irian, Sumatera, atau Bali, Bu?"
"Mahal!"
"Bu.."
"Kalau disuruh belajar, malah TikTok-an, tapi kalau disuruh TikTok-an malah tidak TikTok-an..dasar siswa!" potong Kenanga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H