Dunia Ini Didesain Hanya Untuk Orang Kuat
Aku duduk di gazebo depan rumahku. Tengah hari terik, sekitar pukul 13.00, namun angin dingin musim kemarau mengalir kencang. Aku menikmati kopi panasku di cangkirku, merenung.
Aku sendiri masih mengenakan pakaian seragam guru lengkap, rok merah hati, baju batik putih-kemerahan, dan jilbab yang juga berwarna merah hati tetapi lebih muda. Aku luruskan kaki di gazebo di depan rumahku itu.
Aku baru saja menemui seseorang tadi, salah seorang pejabat sekolah.
"Mba, punya materi Olahan Tumbuhan?" tanya Nisa via WhatsApp.Â
Aku tersenyum melihat pesan singkat itu. Lalu kubuka data-data di google drive-ku, kukopikan link-nya, dan kukurimkan pada Nisa.
"Mau jadi guru lagi atau dimintai teman, Nisa?" balik tanyaku.
"Mau jadi guru lagi ini Mba, tapi di swasta..hehe.." jawabnya
Meskipun berkomunikasi lewat WhatsApp, aku bisa membayangkan ekspresinya, pasti dia tersenyum atau tertawa renyah seperti biasanya.
Mataku cukup berbinar, seolah punya sedikit harapan, "Jadi guru? Masih ada lowongan? Apa aku boleh ikut daftar? Mau resign aku ini Nisa, akhirnya.." kataku.
"Hah..resign? Mba, nggak salah..?"
"Yah begitulah.." kataku singkat.
"Yah, aku bisa membayangkan kondisi di sana sih Mba." balas Nisa lagi.
Aku tidak membalas pesan Nisa, tapi malah merenung.
Enam bulan sudah aku mengundurkan diri jadi seorang pejabat sekolah. Mengundurkan dari berbagai tugas yang diberikan sekolah kepadaku. Dari jadi koordinator UP sekolah, pembimbing lomba, dan koordinator UP tim.Â
Tetapi selama enam bulan itu pula aku terus mengalami peneroran, diteror oleh bos timku.
Difitnah, diadukan, difitnah, diadukan, dan diambil hak-hak yang seharusnya jadi milikku.
Kamu bertanya kenapa aku terus diteror dan difitnah?Â
Kujawab, karena di timku banyak sekali pekerjaan, seperti yang telah kucerita-ceritakan dahulu. Dan dulu yang mengerjakan adalah aku dan teman-temanku yang sekarang sudah pada pindah sekolah dan ada yang resign. Mereka, para bos tim, hanya menunggu kami menyelesaikannya. Lalu setelah selesai, mereka akan membawa hasil pekerjaan kami  ke pemimpin sekolah. Lalu mereka yang akan dapat ucapan terima kasih, apresiasi, dan pujian, karena dianggap telah berjasa bagi perkembangan sekolah.
Dan sekarang, kami pergi meninggalkan pekerjaan itu semua. Aku sendiri belum pindah tugas, tapi juga tidak resign. Tapi aku juga pergi meninggalkan semua pekerjaan tersebut. Yang ini membuat mereka sendirilah yang mengerjakan pekerjaan yang bertumpuk-tumpuk tersebut.Â
Mereka lelah, mereka capai, mereka tidak mau melakukan itu, dan mereka sangat mengharapkanku kembali ke ruangan tim itu. Sehingga mereka memburuku, memfitnahku, dan menerorku.
Aku merasa di-bully. Aku juga sudah tidak betah bekerja di sekolah ini. Dan parahnya, aku juga mengalami anxiety disorder, yaitu rasa cemas berlebihan dan terus-menerus, mimpi buruk, sulit tidur, nafsu makan menurun, dan sebagainya.
Tapi ketika aku melaporkan hal ini kepada beberapa pihak di sekolah, tidak ada seorangpun yang peduli terhadapku. Semua orang yang kumintai tolong dan kulapori, bahwa aku diperlakukan kurang adil, pasti akan mengatakan, bahwa aku ini harus sabar, aku ini harus berjiwa besar, aku ini harus lebih mudah mengelola kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual daripada sekedar pamer kecerdasan intelektual, aku ini harus bekerja sama dengan orang lain daripada bekerja sendiri, karena suatu organisasi tidak akan maju kalau orang-orangnya egois (seperti aku), dan seterusnya..
Jadi, alih-alih mencari akar masalah dan mengadili kejahatan dengan sebaik-baiknya. Yang jahat dibiarkan terus melakukan aksinya, karena dianggap memang seharusnyalah dia bersikap seperti itu, demi kebaikan ini dan itu. Sedangkan aku yang menjadi korban, justru dihakimi agar orang itu harus sabar, ini dan itu.
Aku ingin mengundurkan diri dari sekolah ini, dan menjauh dari orang-orang yang menakutkan itu, dari sekolah yang orang-orangnya hanya mementingkan diri-sendiri.Â
Aku ingin mengikuti jejak para pegawai di sekolah ini yang telah resign. Nisa, Mas Andri bagian keuangan, Pak Coki salah satu rekan timku dulu, dan lain-lain.Â
Tapi tentu saja, sama seperti kasus pembulian yang kulaporkan, keinginanku untuk mengundurkan diri inipun ditentang oleh banyak orang. Ada orang yang mengatakan dengan terus terang bahwa aku ini bodoh, sudah bergaji tapi mau resign. Bagi yang punya kepentingan ingin menggunakan tenaga dan pikiranku akan berkata, sayang jika harus resign. Dan bagi keluargaku yang butuh uangku dari hasil tenaga dan penganiayaanku, akan mengatakan sayang gajianku.Â
Aku menyadari satu hal, dunia ini hanya diperuntukkan untuk orang-orang yang kuat, tidak diperuntukkan untuk orang-orang yang lemah sepertiku.
Maka dalam situasi ini, aku mulai menyalahkan semua keadaan. Kenapa suamiku tidak kaya raya, sehingga ketika aku mau resign, semua orang tidak menertawakanku. Kenapa ibu mertuaku seorang seperti itu, yang tidak segera memberikan harta warisan milik suamiku agar bisa dikelola, tetapi justru masih menyita dan menahannya karena dia masih membutuhkannya. Kenapa ayahku yang kaya raya tidak memberikan sedikitpun hartanya kepadaku, agar aku bisa belajar jadi pengusaha dan tidak dihina orang. Kenapa ibu kandungku yang sudah berpisah dengan ayahku, yang saat ini dengan suami barunya juga sudah kaya raya, hanya memamerkan saja hartanya, tidak membaginya kepadaku, sedikitpun.
Ah, aku menyadari satu hal. Aku harus menjadi orang kuat, dan itulah jalan satu-satunya.
Aku sendiri lelah. Kenapa aku hidup tidak untuk diriku sendiri, tapi untuk mendengarkan orang lain?Â
"Kupikir, setelah aku memasang strategi sebelum aku mengundurkan diri dulu, aku sudah lepas dari penjara besi. Tapi ternyata, lepas dari penjara besi, aku masuk ke kandang binatang buas.." kataku dalam WhatsApp, kepada Nisa.
"Emang dulu memasang strategi apa Mba Alia?" tanya Nisa.
"Aku? Aku dulu sebelum resign sudah mempersiapkan dua buah jawaban jika ada dua pertanyaan yang mungkin muncul di kemudian hari.Â
'Pertama, siapa yang akan menggantikanmu ketika kamu mengundurkan diri jadi pejabat? Kedua, kenapa kamu mengundurkan diri, padahal di timmu banyak orang yang bisa membantumu?'" jawabku.
"Terus gimana Mba?" tanya Nisa lagi.
Aku ingin menjawab pertanyaan Nisa, tapi malas, terlalu panjang.Â
Jadi, alih-alih menjawab pertanyaan Nisa via WhatsApp aku bicara sendiri di hatiku.
Maka akhirnya aku menjebak bos dan para guru baru itu untuk bekerja. Dan begitulah kenyataannya, mereka bisa bekerja dan menyelesaikan pekerjaannya. Meskipun banyak cacat disana-sini, yang salah satu cacatnya itu, justru bisa menjawab pertanyaanku yang kedua dengan sempurna.Â
Maka, jika aku ditanya kedua pertanyaan di atas, aku bisa menjawab. Pertama, mereka yang akan menggantikan, karena kenyataannya mereka bisa mengerjakan, ini buktinya.
Kedua, saya tidak bisa bekerja sama dengan mereka, karena kenyataannya mereka diberi pekerjaan bosnya saja, sering izin, apalagi diberi pekerjaan oleh saya, yang statusnya lebih rendah dari mereka, ini buktinya.
Aku lalu merenung lagi.Â
Aku tersenyum, tapi juga sedih. Aku sedih, tapi juga tidak ingin terlihat begitu menyedihkan di dunia ini.
Aku memegangi lagi cangkir kopiku. Hari panas ini, alih-alih aku membuat es kopi yang menyegarkan, aku membuat kopi panas, agar saat aku memegang cangkir kopi tersebut, rasa panas atau hangat yang kupegang itu, dapat menjalar dan menghangatkan hatiku yang dingin sedingin es batu.
Aku menunduk, menatap, dan merenungi cangkir kopiku, mulai terlintas pikiran-pikiran aneh di otakku.
Ah, seandainya aku ini seperti Nisa. Nisa punya suami yang bekerja, dan ayah-ibu yang kaya raya. Ayahnya seorang penjual kain yang sudah haji. Aku membayangkan, dia seperti Haji Samanhudi, tokoh sejarah yang kaya raya dan baik hati karena menjual kain. Dia pasti sangat menyayangi anaknya. Jangankan untuk anaknya, untuk kemerdekaan dan kemajuan bangsa Indonesia pun ia berikan hartanya untuk itu. Jadi, Nisa itu, kalau resign ya tidak masalah. Kalau mau bekerja jadi guru ya hanya sampingan, untuk mengisi waktu luangnya saja.Â
Tapi di sisi lain, Nisa bisa mengembangkan bisnis yang menjadi keinginannya, waktu ada, modal pun ada. Orang seperti itulah yang nantinya justru bisa mengembangkan bisnisnya dengan baik dan lancar.
Aku menegakkan kepalaku lagi, menatap jauh-jauh, menembus dedaunan dan udara yang ada di depanku.Â
Aku juga teringat mantan-mantanku. Aku teringat salah satu mantanku yang bekerja di pertambangan. Aku membayangkan pasti yang jadi istrinya enak, tinggal di rumah, tinggal mendidik anak dan menunggui suaminya pulang. Tidak menderita dan konflik di tempat kerja, seperti diriku. Ah.. seandainya dulu aku menikah dengannya.
Aku menunduk lagi, memainkan cangkir kopiku, menjentik-jentik gagang cangkir itu, lalu memutar-mutarkan cangkir itu sesaat.
Ah, dunia ini, memang tidak didesain untuk orang lemah sepertiku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H