Tapi ketika aku melaporkan hal ini kepada beberapa pihak di sekolah, tidak ada seorangpun yang peduli terhadapku. Semua orang yang kumintai tolong dan kulapori, bahwa aku diperlakukan kurang adil, pasti akan mengatakan, bahwa aku ini harus sabar, aku ini harus berjiwa besar, aku ini harus lebih mudah mengelola kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual daripada sekedar pamer kecerdasan intelektual, aku ini harus bekerja sama dengan orang lain daripada bekerja sendiri, karena suatu organisasi tidak akan maju kalau orang-orangnya egois (seperti aku), dan seterusnya..
Jadi, alih-alih mencari akar masalah dan mengadili kejahatan dengan sebaik-baiknya. Yang jahat dibiarkan terus melakukan aksinya, karena dianggap memang seharusnyalah dia bersikap seperti itu, demi kebaikan ini dan itu. Sedangkan aku yang menjadi korban, justru dihakimi agar orang itu harus sabar, ini dan itu.
Aku ingin mengundurkan diri dari sekolah ini, dan menjauh dari orang-orang yang menakutkan itu, dari sekolah yang orang-orangnya hanya mementingkan diri-sendiri.Â
Aku ingin mengikuti jejak para pegawai di sekolah ini yang telah resign. Nisa, Mas Andri bagian keuangan, Pak Coki salah satu rekan timku dulu, dan lain-lain.Â
Tapi tentu saja, sama seperti kasus pembulian yang kulaporkan, keinginanku untuk mengundurkan diri inipun ditentang oleh banyak orang. Ada orang yang mengatakan dengan terus terang bahwa aku ini bodoh, sudah bergaji tapi mau resign. Bagi yang punya kepentingan ingin menggunakan tenaga dan pikiranku akan berkata, sayang jika harus resign. Dan bagi keluargaku yang butuh uangku dari hasil tenaga dan penganiayaanku, akan mengatakan sayang gajianku.Â
Aku menyadari satu hal, dunia ini hanya diperuntukkan untuk orang-orang yang kuat, tidak diperuntukkan untuk orang-orang yang lemah sepertiku.
Maka dalam situasi ini, aku mulai menyalahkan semua keadaan. Kenapa suamiku tidak kaya raya, sehingga ketika aku mau resign, semua orang tidak menertawakanku. Kenapa ibu mertuaku seorang seperti itu, yang tidak segera memberikan harta warisan milik suamiku agar bisa dikelola, tetapi justru masih menyita dan menahannya karena dia masih membutuhkannya. Kenapa ayahku yang kaya raya tidak memberikan sedikitpun hartanya kepadaku, agar aku bisa belajar jadi pengusaha dan tidak dihina orang. Kenapa ibu kandungku yang sudah berpisah dengan ayahku, yang saat ini dengan suami barunya juga sudah kaya raya, hanya memamerkan saja hartanya, tidak membaginya kepadaku, sedikitpun.
Ah, aku menyadari satu hal. Aku harus menjadi orang kuat, dan itulah jalan satu-satunya.
Aku sendiri lelah. Kenapa aku hidup tidak untuk diriku sendiri, tapi untuk mendengarkan orang lain?Â
"Kupikir, setelah aku memasang strategi sebelum aku mengundurkan diri dulu, aku sudah lepas dari penjara besi. Tapi ternyata, lepas dari penjara besi, aku masuk ke kandang binatang buas.." kataku dalam WhatsApp, kepada Nisa.
"Emang dulu memasang strategi apa Mba Alia?" tanya Nisa.