Aku menunduk, menatap, dan merenungi cangkir kopiku, mulai terlintas pikiran-pikiran aneh di otakku.
Ah, seandainya aku ini seperti Nisa. Nisa punya suami yang bekerja, dan ayah-ibu yang kaya raya. Ayahnya seorang penjual kain yang sudah haji. Aku membayangkan, dia seperti Haji Samanhudi, tokoh sejarah yang kaya raya dan baik hati karena menjual kain. Dia pasti sangat menyayangi anaknya. Jangankan untuk anaknya, untuk kemerdekaan dan kemajuan bangsa Indonesia pun ia berikan hartanya untuk itu. Jadi, Nisa itu, kalau resign ya tidak masalah. Kalau mau bekerja jadi guru ya hanya sampingan, untuk mengisi waktu luangnya saja.Â
Tapi di sisi lain, Nisa bisa mengembangkan bisnis yang menjadi keinginannya, waktu ada, modal pun ada. Orang seperti itulah yang nantinya justru bisa mengembangkan bisnisnya dengan baik dan lancar.
Aku menegakkan kepalaku lagi, menatap jauh-jauh, menembus dedaunan dan udara yang ada di depanku.Â
Aku juga teringat mantan-mantanku. Aku teringat salah satu mantanku yang bekerja di pertambangan. Aku membayangkan pasti yang jadi istrinya enak, tinggal di rumah, tinggal mendidik anak dan menunggui suaminya pulang. Tidak menderita dan konflik di tempat kerja, seperti diriku. Ah.. seandainya dulu aku menikah dengannya.
Aku menunduk lagi, memainkan cangkir kopiku, menjentik-jentik gagang cangkir itu, lalu memutar-mutarkan cangkir itu sesaat.
Ah, dunia ini, memang tidak didesain untuk orang lemah sepertiku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H