Mohon tunggu...
Dian Purnama
Dian Purnama Mohon Tunggu... Freelancer - klaverstory.com

-Job fils your pocket, adventure fils your soul-

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Belajar Jemparingan, Mengolah Raga dan Rasa

17 Maret 2023   20:32 Diperbarui: 17 Maret 2023   20:34 796
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jemparingan, seni panahan tradisional mengolah raga dan rasa (dokpri)

Sudah lama sekali saya berencana menonton jemparingan. Menurut kawan Kompasianer lokasi latihan komunitas jemparingan tidak jauh dari rumahnya. Namun sampai detik ini rencana tersebut hanya berakhir wacana. 

Saat lomba jemparingan diadakan di Alun-alun Kidul Kraton Ngayogyakarta beberapa bulan yang lalu pun saya melewatkannya. Bukan karena lupa tapi perlombaan sudah bubar saat saya tiba di lokasi. Dugaan saya peserta lomba sedikit sehingga perlombaan selesai sebelum waktunya. Ya mungkin belum jodoh waktu itu. 

Asal Mula Jemparingan Olah Raga Panahan Tradisional 

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Sabtu (11/03) yang lalu, saya dan teman-teman KJog belajar jemparingan bersama paseduluran Langenastro, salah satu komunitas jemparingan di kota Yogyakarta Tidak hanya menonton saya benar-benar memegang busur dan melesatkan anak panah. Hehehe.  

Saking semangatnya mau belajar jemparingan, sebelum jam 14.30 saya sudah sampai di Sasana Wisanggeni. Lapangan tempat latihan masih kosong, belum ada siapa-siapa. Untunglah saya berangkat bersama mbak Tinbe jadi tidak sendirian menunggu. 

Sedari tadi menyebut-nyebut jemparingan, apa sih jemparingan itu? Mungkin banyak yang belum tahu ya. kalau kalian ngeh, pada paragraf sebelumnya saya spoiler sedikit menyebut kata busur dan anak panah. 

Yup, pemikiran kalian benar! Berasal dari kata jemparing yang berarti anak panah, jemparingan merupakan permainan/olah raga panahan tradisional. Jemparingan berasal dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, juga dikenal dengan jemparingan gaya Mataraman Ngayogyakarta. 

Permainan ini telah ada sejak berdirinya Kraton Ngayogyakarta yaitu pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono I tahun 1755. Sang raja ingin agar pengikutnya belajar memanah sebagai sarana membentuk watak ksatria. 

Dulunya permainan ini hanya untuk keluarga kerajaan dan dilakukan di lingkungan keraton. Namun sekarang permainan ini dapat dilakukan kalangan rakyat biasa di luar keraton. 

Bahkan sudah ada kejuaraan khusus seni memanah tradisional yang diikuti oleh pemanah jemparing dari berbagai daerah di luar Yogyakarta.

Paseduluran Langenastro Merawat Jemparingan

Banyak sekali komunitas jemparingan yang tumbuh salah satunya paseduluran Langenastro yang didirikan pada tanggal 18 Maret 2012. 

Nama Langenastro sendiri diambil dari nama kampung Langenastran. Sekaligus merupakan toponimi dari salah satu prajurit kraton yaitu prajurit Langenastro yang memiliki tugas khusus mengawal raja/ratu.

Komunitas Jemparingan Paseduluran Langenastro (dokpri)
Komunitas Jemparingan Paseduluran Langenastro (dokpri)

Komunitas yang berkonsep paseduluran ini memiliki sasana latihan jemparingan di kampung Langenastran. Kini komunitas ini bisa berlatih di mana saja, harapannya agar dapat berbagi wawasan, keilmuan dan tentu saja menjalin paseduluran (persaudaraan). Begitulah bapak Agung Sumedi mengawali obrolan Sabtu sore itu.

Makna Filosofis Jemparingan

Berbeda dengan cara memanah pada umumnya, jemparingan dilakukan dengan posisi bersila atau bertimpuh untuk perempuan. Pakaian yang digunakan biasanya surjan lengkap dengan jarik dan ikat kepala sedangkan perempuan biasanya memakai kebaya. 

Ikat kepala atau udeng dikenakan pada kepala pemanah dengan makna mengikat pikiran. Hal ini dimaksudkan untuk melatih fokus pada sesuatu. 

Tidak hanya fokus pada membidik target yang tepat tetapi juga didasarkan perasaan pemanah. Selaras dengan filosofi jemparingan yaitu pamenthanging gendewa pamenthangin cipta yang bermakna setiap manusia harus memiliki fokus penuh untuk mewujudkan tujuan atau cita-citanya.

Peralatan Jemparingan

Selain sarat akan makna filosofis, setiap peralatan jemparingan disebut dalam bahasa Jawa. Meskipun besar di Jogja, tetapi beberapa kata terdengar asing. Bahkan ada yang baru pertama kali saya dengar.

Jemparing atau anak panah terdiri dari empat bagian yaitu deder (batang anak panah), bedor (mata anak panah), wulu (bulu yang terdapat pada pangkal panah) dan nyenyep (bagian pangkal jemparing yang dikaitkan pada tali busur)

Gandewa atau busur terdiri dari cengkolak (pegangan busur, tempat tangan kita memegang busur), lar (bilah busur yang terdapat di sisi kanan dan kiri cengkolak) dan kendheng (tali busur yang masing-masing ujungnya dikaitkan pada ujung kedua sisi lar).

Uniknya gandewa dibuat secara khusus sesuai dengan tinggi badan si pemanah. Ini penting agar mendapatkan ukuran rentang tangan yang pas sehingga pemanah merasa nyaman dan dapat memanah dengan baik.

Karena itu gandewa bersifat pribadi dan tidak bisa dipinjamkan ke sembarangan orang. Untuk harganya pun bervariasi tergantung jenis bahan baku yang digunakan. Kisarannya harga rata-rata sekitar 750 ribu untuk gandewa beserta 6 buah anak panah.   

Sasaran dalam jemparingan disebut bandulan atau wong-wongan. Berbentuk silinder dengan panjang 30 cm berdiameter 3 cm. 

Area sasaran terbagi menjadi empat yaitu molo (berada di 5 cm di bagian paling atas dan diberi tanda warna merah), awak (badan dengan warna putih), jonggo (leher, pertemuan molo dan awak, kira-kira 1 cm dan berwarna kuning), bol (awak paling bawah dan diberi warna hitam).

Skor masing-masing jika terkena anak panah yaitu molo 3 poin, jonggo 2 poin , awak 1 poin dan bol nilainya minus/dikurangi 1. 

Jika tembakan sang pemanah jitu dan mengenai sasaran akan terdengar bunyi "klinting" yang berasal dari lonceng kecil yang digantung pada tali bandulan. 

Cara Bermain Jemparingan

Setelah berkenalan dengan peralatan jemparingan lalu bapak pelatih mengajarkan cara menggunakannya. Untuk memudahkan dan mengingat setiap langkah diberikan lima pedoman memanah jemparingan. 

Teman-teman KJog berlatih jemparingan (dokpri)
Teman-teman KJog berlatih jemparingan (dokpri)

Tahap pertama siyogo (bersiap siaga), pada tahap ini pemanah sudah bersiap sempurna dalam posisi duduk silo/timpuh. Busur sudah berada di depan kita dan anak panah diletakkan pada pangkuan. 

Selanjutnya, siji yaitu mengangkat anak panah, kepala ditolehkan ke samping dan busur diletakkan di tanah. 

Langkah berikutnya, loro yaitu posisi busur dimiringkan dengan sudut kemiringan arah jam 1. Anak panah diletakkan di kendheng (tali busur) dan pemanah menentukan arah bidikan. 

Posisi jari telunjuk berada di atas anak panah sedangkan jari tengah dan jari manis berada di bawah anak panah.

Telu, pada tahap ini posisi pemanah menthang kebak. Artinya, tali busur diregangkan. 

Pada saat meregangkan tali, jari telunjuk, jari tengah dan jari manis akan melewati ujung hidung menyentuh pipi kanan bersamaan dengan itu jempol akan berada di dekat telinga sebagai pengunci. 

Saat pelatih berkata "cul" artinya semua jari dibuka dan anak panah akan melesat mengenai sasaran. 

Nah singkatnya aba-aba tersebut akan seperti ini siyogo, siji, loro, telu, cul. Gampang diingat kan, terutama buat teman-teman yang tidak bisa berbahasa Jawa.

Setelah berkenalan dengan peralatan jemparingan dan teori singkat memanah, kami lantas diajak ke tengah lapangan untuk praktek memanah. Jarak sebenarnya 30 meter, karena kami masih belajar jarak awal hanya 20 meter.

Sepintas terlihat mudah saat pelatih memperagakan cara memanah jemparingan. kenyataannya saya mencoba menarik tali panah dan memposisikan kemiringan gandewa super sulit. 

Dan jika tangan kita ada di posisi yang kurang pas, tidak tanggung-tanggung tali panah bisa menjepret pergelangan tangan kita.

Posisi tangan yang diletakkan di cengkolak yang benar bukan memegang tetapi lebih tepatnya menahan. Saat merentangkan tali busur posisi siku sejajar dengan bahu dan mendorong ke arah belakang. 

Kepala hanya menoleh ke samping, tapi apa daya berulang kali pelatih mengingatkan karena secara otomatis kepala ikut miring. 

Jelas tidak ada satu pun anak panah saya yang kena sasaran. Baru tiga kali mencoba tangan ini sudah pegal minta ampun. Posisi tangan rasanya masih kurang pas karena anak panah melenceng terlalu ke bawah. 

Beberapa dari teman KJog cukup parah terkena jepretan tali busur. Apalagi saat kami mencoba jarak 30 meter. Banyak anak panah yang terlempar masih jauh dari posisi bandulan. 

Belajar Jemparingan Bersama Komunitas Langenastro

Hampir tiga jam rasanya saya masih penasaran dengan permainan jemparingan ini. Memang waktu yang singkat untuk benar-benar ingin melatih fokus dan dapat memanah mengenai sasaran. 

Tempat latihan jemparingan (dokpri)
Tempat latihan jemparingan (dokpri)

Paseduluran Langenastro terbuka kepada siapa saja yang ingin belajar jemparingan. Tidak hanya orang dewasa, anak-anak pun bisa ikut berlatih. 

Sebenarnya tidak ada batasan usia tetapi untuk anak-anak alangkah baiknya jika si anak sudah bisa fokus terhadap sesuatu. Usia 9-10 tahun dianggap ideal untuk mulai belajar memanah.

Penutup

Dari latihan jemparingan saya mulai memahami bahwa seni memanah bukan hanya mengolah badan, bukan sekedar olah raga ketangkasa tetapi juga mengolah rasa. 

Saat busur direntangkan saya harus yakin dan fokus pada sasaran dengan kata lain pada tujuan hidup. Dalam proses mencapai cita-cita yang menjadi musuh utama bukan orang lain melainkan diri sendiri. 

Bagaimana tertarik belajar jemparingan? Informasi lengkap mengenai kegiatan jemparingan di paseduluran Langenastro bisa klik akun Instagam @langenastroyk dan @langenastro.jogja dan langsung follow ya. 

Salam budaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun