"Kutukan atas dasar janji yang diingkari, dan bukan atas nama takdir!,"
"Diam! mulutmu terlalu kotor bicara takdir!,"
"Menyemai takdir?, ya!,"
Haaaaa (suara gemuruh dari langit)
Saat tak terdengar lagi suara apapun, dari kejauhan terlihat sosok perempuan kecil samar-samar sedang berjalan perlahan sembari menaburkan sesuatu dari kedua tangannya. Batas senja mengaburkan pandangan mata tentang siapakah perempuan itu yang semakin hilang ditelan gelapnya malam. Entah ada dan tiada dalam menciptakan ilusi yang berdiri diantara deretan ribuan delusi pada maha cipta imajinasi yang diciptakan bagi para pemujanya. Mungkinkah biji kedelai yang ia taburkan?
Jika benar,
Sungguh semesta ini telah memancangkan panji-panji bendera hitam dalam isyarat yang mengharuskan aku harus pergi dengan segenap hati yang lapang tanpa palang pintu paku salib dan bergegas mendatangimu untuk mengakhiri derita duka yang kau dekap. Tak peduli cahaya malam itu membutakan mataku, ratapan kutukan mengganggu telingaku dan beratnya beban doa atas dosa yang membebani pikiranku. Aku datang malam ini juga dengan membawakan buah-buahan segar yang telah kupetik secara tangkas dan kupersembahkan untukmu tanpa kesadaran keterbatasan berlepas diri hingga terucap janji ketulusan, "sungguh ternyata aku sangat mencintaimu,".
Keesokan hari saat mata tak lagi terpejam dan kembali bangkit dari tidur malam yang panjang, aku melihat tubuh Dasima tergeletak tanpa daya di altar sudut kota Hitam yang membiru. Ia ditinggalkan begitu saja oleh para jahanam penuai biji kedelai yang haus darah untuk menghabisi kami. Para pemuja hanyalah fatamorgana yang dibalut kemolekan pesona atas isapan jempol memuja dibalik ambiguitasi sang pesolek. Dimanakah tubuhku? aku tak melihatnya walau jarak pandang telah kuikrarkan untuk melihatnya secara jelas namun tak kudapati dimana tubuhku. Yang terlihat hanyalah tubuh kekasihku Dasima terbujur kaku di sana dengan siluetasi beberapa kurcaci lalu lalang menengoknya sesekali yang kemudian berlalu begitu saja meninggalkannya tanpa mempedulikan keberadaan kami.
Rindu yang mengalir
Nuansa jingga yang memerah
Seolah bertanya berapakah
Harga setetes air mata itu,
Mereka tak mampu membelinya
Bagaimana mungkin,
Air mata terbilang oleh deretan angka
Karena dalam duka tak ada air mata.
Tanpa sepatah kata yang terucap, kudatangi dan kudekap erat tubuh kekasihku dalam lantunan mantra yang tersayat untuk kubawa pergi menjauh dari kota yang penuh sesak dengan kemunafikan. Tak ada lagi janji hitam yang bermaterai darah, tak ada lagi bisikan kelam menaungi rasa takut berlebihan yang tersirat di dada Dasima. Mimpi tak selamanya menjadi bunga lelap atas seseorang berjiwa patriarki, karena yang aku tahu hanyalah menafsirkan tentang ayat-ayat kosong dalam ketiadaan akan mampu menidurkan kota Hitam.
Menjauhlah dari kami,
Dan jangan lagi kalian menambah beban duka bagi cinta kami. Sungguh, aku bersumpah demi langit dan bumi, akan kunikmati sajian kehormatan cinta ini bersama dengan kekasihku Dasima sekalipun demi untuk memungut koin pelaminan di atas noktah goresan tinta perjanjian lama yang terhapus.