Mohon tunggu...
DIALOG JALANAN
DIALOG JALANAN Mohon Tunggu... Editor - Penulis dan Dramawan

Acara Talk Show dan Berita Sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kedelai Bukan Keledai

28 Juli 2023   12:53 Diperbarui: 28 Juli 2023   12:55 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok-Sanggar Naomi
Dok-Sanggar Naomi

Oleh : Arief Akbar, Bsa

Sore ini terlihat mendung begitu tebal mencekam dengan sedikit butiran angin basah menerpa di wajah yang tak lagi ada kewibawaan sedikitpun yang terpancar. Tiada rasa keinginan untuk hentikan niatku memetik buah-buahan di batas pertemuan senja agar malam nanti kami semua dapat bersuka ria.

Aku tahu kau menungguku dalam kondisi apapun juga untuk singgah di sana sekalipun badai besar mengguncang keberadaan lampion syahdu menjadi hancur dan padam.

Akupun tahu dalam hitungan detik jari lentikmu memunguti biji-biji kedelai untuk dipisahkan yang terbaik pada tempatnya sesuai takaran disetiap satu jam pengeratan waktu tetaplah menjadi bagianmu yang tersendiri. Tugasmu sebagai penjaga atas ketetapan waktu yang berjalan adalah simbol kekuatan bagi seluruh penghuni kota Hitam yang tak pernah terlelap. Hari-hari diselimuti oleh penantian walau hanya sebatas asa yang terkecil sekalipun, kau tak pernah berpaling darinya.

Seperti malam
Rintihan kecil itu
Memekakkan telinga
Mengalir begitu saja tanpa doa,
Doa yang terpenggal
Tersekat,
Dan tergantung
Pada cermin agung yang retak disebagian kisinya
Hingga wajahku
Kini tak berbinar seperti pasi

Biarkan saja
Malam ini gaduh
Penghuni langit saling bertanya,
Siapakah kau,
Gadis penjaga kota Hitam?

Adalah keniscayaan bagi sebutan sebagai kota Hitam terlalu melekat disetiap sanubari jiwa-jiwa yang resah. Jiwa-jiwa yang tak lagi berharap pada pengharapan semu di sejengkal langkah mati yang tak bersimpul dan berpola. Hingga tanpa syarat menuangkan cawan pada darah abadi disetiap jejak yang tertinggal walau tanpa saling menyapa diantara sesamanya. Kota itu seolah sunyi, sepi dan begitu hening tanpa ada pengecualian apapun sebagaimana riaknya sebuah kota.

"Anggaplah anjing liar, atau sejenis binatang berkelamin dua yang pangkalnya saling beradu untuk masturbasi dan melahirkan anak hitam legam yang tak berparas," celoteh batu ratapan.

"Tidak! jangan kau katakan lagi! dan biarkan kami saling membunuh karena itu adalah kutukan!,"

"Kutukan atas dasar janji yang diingkari, dan bukan atas nama takdir!,"

"Diam! mulutmu terlalu kotor bicara takdir!,"

"Menyemai takdir?, ya!,"

Haaaaa (suara gemuruh dari langit)

Saat tak terdengar lagi suara apapun, dari kejauhan terlihat sosok perempuan kecil samar-samar sedang berjalan perlahan sembari menaburkan sesuatu dari kedua tangannya. Batas senja mengaburkan pandangan mata tentang siapakah perempuan itu yang semakin hilang ditelan gelapnya malam. Entah ada dan tiada dalam menciptakan ilusi yang berdiri diantara deretan ribuan delusi pada maha cipta imajinasi yang diciptakan bagi para pemujanya. Mungkinkah biji kedelai yang ia taburkan?

Jika benar,
Sungguh semesta ini telah memancangkan panji-panji bendera hitam dalam isyarat yang mengharuskan aku harus pergi dengan segenap hati yang lapang tanpa palang pintu paku salib dan bergegas mendatangimu untuk mengakhiri derita duka yang kau dekap. Tak peduli cahaya malam itu membutakan mataku, ratapan kutukan mengganggu telingaku dan beratnya beban doa atas dosa yang membebani pikiranku. Aku datang malam ini juga dengan membawakan buah-buahan segar yang telah kupetik secara tangkas dan kupersembahkan untukmu tanpa kesadaran keterbatasan berlepas diri hingga terucap janji ketulusan, "sungguh ternyata aku sangat mencintaimu,".

Keesokan hari saat mata tak lagi terpejam dan kembali bangkit dari tidur malam yang panjang, aku melihat tubuh Dasima tergeletak tanpa daya di altar sudut kota Hitam yang membiru. Ia ditinggalkan begitu saja oleh para jahanam penuai biji kedelai yang haus darah untuk menghabisi kami. Para pemuja hanyalah fatamorgana yang dibalut kemolekan pesona atas isapan jempol memuja dibalik ambiguitasi sang pesolek. Dimanakah tubuhku? aku tak melihatnya walau jarak pandang telah kuikrarkan untuk melihatnya secara jelas namun tak kudapati dimana tubuhku. Yang terlihat hanyalah tubuh kekasihku Dasima terbujur kaku di sana dengan siluetasi beberapa kurcaci lalu lalang menengoknya sesekali yang kemudian berlalu begitu saja meninggalkannya tanpa mempedulikan keberadaan kami.

Rindu yang mengalir
Nuansa jingga yang memerah
Seolah bertanya berapakah
Harga setetes air mata itu,

Mereka tak mampu membelinya
Bagaimana mungkin,
Air mata terbilang oleh deretan angka
Karena dalam duka tak ada air mata.

Tanpa sepatah kata yang terucap, kudatangi dan kudekap erat tubuh kekasihku dalam lantunan mantra yang tersayat untuk kubawa pergi menjauh dari kota yang penuh sesak dengan kemunafikan. Tak ada lagi janji hitam yang bermaterai darah, tak ada lagi bisikan kelam menaungi rasa takut berlebihan yang tersirat di dada Dasima. Mimpi tak selamanya menjadi bunga lelap atas seseorang berjiwa patriarki, karena yang aku tahu hanyalah menafsirkan tentang ayat-ayat kosong dalam ketiadaan akan mampu menidurkan kota Hitam.

Menjauhlah dari kami,
Dan jangan lagi kalian menambah beban duka bagi cinta kami. Sungguh, aku bersumpah demi langit dan bumi, akan kunikmati sajian kehormatan cinta ini bersama dengan kekasihku Dasima sekalipun demi untuk memungut koin pelaminan di atas noktah goresan tinta perjanjian lama yang terhapus.

"Dasima, aku tak akan pernah meninggalkanmu walau satu biji kedelai yang kau tanam telah tumbuh menjadi mahkota yang terlantar. Tetaplah bersamaku untuk mengubah semua ketetapan langit menjadi altar yang berpihak pada keagungan dan kehormatan cinta kita yang abadi." ucapku mengakhiri perjalanan tentang cerita suram dari kota Hitam.
*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun