Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Seni vs Neurosains: Batik Solo Sebagai Replikasi Meme Budaya?

9 Oktober 2024   19:08 Diperbarui: 10 Oktober 2024   04:42 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Batik bermotif a la replikator genetika? Ada-ada aja penulis satu ini. Hadew. 

Eits, jangan terburu tepuk jidat, atau netting, mas bro, mba sist...

Dalam laku sejarahnya, batik telah lama menempatkan dirinya sendiri sebagai salah satu produk budaya yang berkembang dari waktu ke waktu. Menjalani evolusi, bertahan dari gempuran desain baru, dan ragam corak baju-baju kontemporer fesyen dunia.

Namun, hingga kini batik masih terus bertahan. Bahkan telah mendapatkan pengakuan khusus dari UNESCO bahwa batik merupakan Intangible Cultural Heritage (ICH) atau Warisan Budaya Takbenda tepat pada tanggal 2 Oktober 2009.

Lima belas tahun sudah batik telah dikenal dunia dalam beragam corak dan motif.

Gimana Sih Batik dalam Tinjauan Bahasa? 

Sebagai masyarakat Jawa yang mengaku diam di ranah yang pernah dikenal sebagai Vorstenlanden, maka izinkan saya bercerita bagaimana batik yang menjadi senjata ampuh sebagai perekat relasi sosial masyarakat terutama bagi masyarakat Solo.

K.R.T Winarsa Kalingga Hanggapura, salah seorang budayawan yang menggeluti segala macam batik gagrak Surakartan pernah berujar bahwasanya BATHIK bila ditilik dari terminologi bahasa, memiliki makna tersendiri. 

Kata BATHIK dalam aksara Jawa carakan ditulis menggunakan aksara ꦛ (baca: tha), bukan aksara ꦠ (baca: ta).  BATHIK, merujuk pada jarwådhosok, di mana dua kata bergabung menjadi satu kata sehingga memiliki makna yang baru. 

Bathik kemudian dimaknai sebagai ngrambat titik atau rambataning titik-titik. Oleh karena itulah kemudian bathik mendapatkan makna baru yaitu sebgaai suatu rangkaian titik-titik.

Meskipun demikian, hingga kini rupa-rupanya batik belum juga menemukan konsep akurat yang cukup mumpuni untuk mendefinisikan dengan tepat makna dari bathik itu sendiri.

Lalu Sejak Kapan Batik Mulai Digunakan Oleh Masyarakat?

Batik memiliki keterkaitan yang erat dengan masa kerajaan Majapahit dan juga penyebaran agama Islam di tanah Jawa.

Dalam perjalanan waktu, batik pun mulai berajojing ria. Batik mulai banyak mengalami peningkatan, baik dari segi kuantitas; jumlah pembuatan kain batik untuk kepentingan  bangsawan, maupun dalam hal kualitas motif. 

Begitu banyak ide dan konsep imajinatif pembuat batik tertuang dalam beragam motif. Ya, meskipun tenaga ahli batik pada masa itu belum sebanyak sekarang.

Ini dikarenakan pada masa lalu, membatik merupakan aktivitas wajib bagi para puteri keraton. Batik bikinan para puteri itulah yang di kemudian hari ditujukan dan dipersembahkan sebagai ageman bagi calon suami dari puteri tersebut.

Sebagai contoh mainstream adalah motif batik konvensional: truntum. 

Truntum mencitrakan kuntum bunga tanjung. Ada pula yang memperkirakan bahwa truntum merupakan pencitraan dari bintang-bintang di langit malam. Apa pun itu, karya Kangjeng Ratu Beruk, garwa ampil Sunan Pakoebuwana III (1749-1788 M) senantiasa melekat di hati para pecinta batik konvensional.

"Ini (motif truntum) merefleksikan sebuah harapan. Meskipun langit malam tiada bulan, masih ada bintang sebagai penerang harapan. Selalu ada kemudahan di setiap kesulitan. Sekecil apa pun kesempatan, tetap bernama kesempatan" (K.R.T. Winarsa Kalinggå Hanggapura)

Begitu pun dengan motif-motif batik konvensional yang ada hingga saat ini. Seperti, Kawung, Sidomukti, Parang (dengan beragam variasi motif parang), Sawat, dan masih banyak lagi batik konvensional lainnya.

Filosofi-filosofi yang terkandung dalam setiap batik konvensional memiliki citra yang begitu kuat dalam kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat Solo dan Jogja. 

Tak luput dari sejarah masyarakat di berbagai belahan dunia. Masyarakat Jawa pun memiliki alat komunikasi berupa narasi-narasi yang dikukuhkan sebagai keyakinan. Dalam lorong-lorong pemahaman spiritualitas masyarakat, batik telah mengalir bagai aliran darah yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari mereka.

Trus, Adakah Relevansi Keberadaan Batik dengan Kehidupan Masyarakat Sekarang? 

Sekiranya boleh saya katakan, kecintaan pada batik mulai membungkus saya dalam "bedhong" ketika masih bayi. Kemudian berlanjut pula oleh penuturan serta ketelatenan uti memberikan contoh ngrumat kain batik tulis kepunyaan beliau.

Bagaimana merawat batik, bagaimana melipat kain batik (sinjang: bahasa Jawa), bagaimana menggunakan lerak untuk mencuci batik, kemudian menjemurnya dengan hati-hati, hingga melipat dan menyimpannya dalam almari.

Selain karya-karya indah tersebut lahir dari imajinasi luhur para pengrajin sebagai buah intelektual mereka, batik telah menjelma menjadi kekuatan realita intersubjektif yang menyatukan komunitas sosial.

Keberadaan batik mulai dari masa kerajaan Majapahit hingga kerajaan Mataram Islam menempa batik konvensional menjadi busana adiluhung yasandalem.  

Meskipun banyak literasi yang mengetengahkan konsep perbedaan antara gagrak Surakartan dan Jogjakarta, namun pada akhirnya masing-masing pemrosesan kain batik pulalah yang membentuk batik dengan segala ciri khas setiap motifnya. 

Sudah barang tentu, batik dengan berjuta pesonanya telah memberikan sumbangsih tersendiri dalam perkembangan kecerdasan kolektif hingga memenuhi kebutuhan publik sampai hari ini. 

Meskipun pada masa monarki terdahulu batik sempat memiliki kedudukan istimewanya sebagai busana milik "bangsawan only". 

Memilah hirarki sosial? Tentu saja. Pada masa lalu, batik hanya digunakan oleh para bangsawan. Sedangkan rakyat biasa pada umumnya hanya menggunakan kain-kain lurik. 

Batik kontemporer yang seringkali kita jumpai di berbagai marketplace maupun gerai-gerai batik kekinian merupakan bukti bahwa batik menjadi simbol kecerdasan intelektual kolektif. 

Apa Kata Neurosains Soal Kreativitas?

Kepekaan para kreator batik konvensional telah menggabungkan warisan leluhur yang sebelumnya tersimpan di dalam ingatan mereka terwujud pada batik.

Sehingga dengan menggunakan bahan maupun perlengkapan membatik tersebut seperti mori, malam, canting, maupun alat lain yang telah ada di masa terdahulu mereka menggulawentah batik hingga menghadirkan karya seni mempesona.

Belum lagi dalam proses pembuatan batik. Mulai dari ngemplong (mempersiapkan kain mori yang akan dibatik), memola, mbathik, nembok, medel (mencelupkan kain yang sudah dibathik ke dalam cairan warna secara berulang hingga mendapatkan warna yang diinginkan.), mbironi, nyoga, sampai penjemuran kain batik.

Owh, semua melibatkan kerjasama dari begitu banyak orang. Pada proses tersebut, batik menjembatani kepentingan narasi yang semakin hari membuat keterhubungan antara satu individu dengan individu lain dalam kelompok sosial.

Keterhubungan antar individu akan memberi peluang untuk saling bertukar informasi, sehingga memberi input pengalaman baru. Apabila kemudian terjadi recalling memori atas pengalaman- pengalaman tersebut, maka terjadilah proses kreativitas.

Dengan semakin tingginya kecerdasan sosial, semakin tinggi pula kemampuan intelektual tiap-tiap individu yang bergabung menjadi satu; saling berkolaborasi. 

Dari kacamata neurosains, mekanisme kreativitas individu terkonstruksi dari sistem otak yang bekerja secara simultan. Bukan hanya melibatkan sistem limbik, yaitu bagian otak yang teraktivasi tinggi intensitasnya saat kita menggunakan emosi. 

Ada mekanisme otak yang tidak kalah penting dalam pengambilan keputusan seseorang. Yaitu: recalling memory. Pengalaman-pengalaman yang didapat oleh individu disimpan dalam memori implisit maupun episodik.

Memori yang tersebar di berbagai area otak inilah yang kemudian bekerja sama dengan otak emosi mengelola ingatan kita. 

Mengapa Batik Disebut Sebagai Replikator Budaya?

Bergeraknya kebudayaan menghasilkan "meme" (istilah Yunani: mimema) yang merupakan unit dasar transmisi budaya. Sama seperti gen telah menjadi unit dasar transmisi dalam sistem biologis, begitu pulalah meme menjelma menjadi sebuah bentukan dari abstraksi budaya.

Layaknya gedung, konsep, gagasan, bahasa, bahkan moralitas, maka batik pun telah merupa meme budaya.

Serupa gen pada tataran biologis. Meme dalam kajian budaya, dalam hal ini batik telah bermutasi dalam ekologi budaya. Batik konvensional merupa konsep dan gagasan telah bertahan, berkembang, bahkan berkompetisi kemudian ditiru oleh orang lain sebagai batik kontemporer.

Begitulah sebuah meme menjadi replikator dalam ruang lingkup komunitas sosial.

Kemampuan si pembatik menarasikan makna dari batik buatannya menjadikan batik memiliki nilai lebih dari sekadar merangkai titik-titik menjadi corak tertentu. Di mana setiap individu saling bertukar konsep, berbagi informasi baru, mengetengahkan narasi baik dalam bentuk verbal maupun non verbal.

Kemampuan kognisi mulai berkembang lewat: BAHASA dan AKSARA.

Okay, sekian perjalanan pejalan kaki...salam budaya.

Penulis

===

*PS. Matur Tengkyu buat Pak Bagas and  some other friends dari Komunitas Solo Tempoe Doeloe yang memberikan bantuan literasi soal batik Solo. Sembah nuwun.

*Sumber :

1. Richard Dawkins. 2017. The Selfish Gene. Jakarta: KPG

2. The Creative Brain

3. Pelestarian Batik di Surakarta 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun