Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Seni vs Neurosains: Batik Solo Sebagai Replikasi Meme Budaya?

9 Oktober 2024   19:08 Diperbarui: 10 Oktober 2024   04:42 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Batik memiliki keterkaitan yang erat dengan masa kerajaan Majapahit dan juga penyebaran agama Islam di tanah Jawa.

Dalam perjalanan waktu, batik pun mulai berajojing ria. Batik mulai banyak mengalami peningkatan, baik dari segi kuantitas; jumlah pembuatan kain batik untuk kepentingan  bangsawan, maupun dalam hal kualitas motif. 

Begitu banyak ide dan konsep imajinatif pembuat batik tertuang dalam beragam motif. Ya, meskipun tenaga ahli batik pada masa itu belum sebanyak sekarang.

Ini dikarenakan pada masa lalu, membatik merupakan aktivitas wajib bagi para puteri keraton. Batik bikinan para puteri itulah yang di kemudian hari ditujukan dan dipersembahkan sebagai ageman bagi calon suami dari puteri tersebut.

Sebagai contoh mainstream adalah motif batik konvensional: truntum. 

Truntum mencitrakan kuntum bunga tanjung. Ada pula yang memperkirakan bahwa truntum merupakan pencitraan dari bintang-bintang di langit malam. Apa pun itu, karya Kangjeng Ratu Beruk, garwa ampil Sunan Pakoebuwana III (1749-1788 M) senantiasa melekat di hati para pecinta batik konvensional.

"Ini (motif truntum) merefleksikan sebuah harapan. Meskipun langit malam tiada bulan, masih ada bintang sebagai penerang harapan. Selalu ada kemudahan di setiap kesulitan. Sekecil apa pun kesempatan, tetap bernama kesempatan" (K.R.T. Winarsa Kalinggå Hanggapura)

Begitu pun dengan motif-motif batik konvensional yang ada hingga saat ini. Seperti, Kawung, Sidomukti, Parang (dengan beragam variasi motif parang), Sawat, dan masih banyak lagi batik konvensional lainnya.

Filosofi-filosofi yang terkandung dalam setiap batik konvensional memiliki citra yang begitu kuat dalam kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat Solo dan Jogja. 

Tak luput dari sejarah masyarakat di berbagai belahan dunia. Masyarakat Jawa pun memiliki alat komunikasi berupa narasi-narasi yang dikukuhkan sebagai keyakinan. Dalam lorong-lorong pemahaman spiritualitas masyarakat, batik telah mengalir bagai aliran darah yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari mereka.

Trus, Adakah Relevansi Keberadaan Batik dengan Kehidupan Masyarakat Sekarang? 

Sekiranya boleh saya katakan, kecintaan pada batik mulai membungkus saya dalam "bedhong" ketika masih bayi. Kemudian berlanjut pula oleh penuturan serta ketelatenan uti memberikan contoh ngrumat kain batik tulis kepunyaan beliau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun