Waktu pun melewati batas 21.15 WIB. Namun dengung musik kaum urban membawa naluri saya terus berjalan di koridor Gatsu. Ini memang sebuah realita yang menyatukan kami menyusuri malam jelang libur hari Minggu. Semakin malam saya melihat semakin banyak pengunjung, Bahkan sempat saya memindai beberapa wisatawan asing ikut larut dalam kemeriahan Solo Menari.
Pada dasarnya street dance bukanlah aliran hip-hop, namun malam itu kodifikasi jalanan New York terurai di sepanjang koridor Gatsu. Saya lebay? Wkwkwk well, I wish you were there with me.Â
Beragam olah tubuh seperti gerakan kaki, freeze, hingga headspin dari kru b-boying menjadi pembuka Urban Street Dance di sepanjang malam Gatsu.
Kota Solo masih memanjakan masyarakat dengan tarian. Pementasan tarian di arena Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) mengalun mesra. Hingga waktu menutup genap 06.00 WIB gema gerak tari usai meluruh kota Surakarta.
Seni tari menjelma dalam tugasnya memenuhi kebutuhan spiritualitas manusia. Sebagai representasi kecerdasan emosi para pelaku seni tari telah meleburkan pengalaman-pengalaman abstrak ke dalam pengalaman-pengalaman berbasis tubuh.
Lantas, bagaimana pengalaman pribadi para penari dapat dipahamkan kepada para penikmat tari? Bagaimana mekanisme saraf sensorik dalam otak dapat menangkap tarian, bahkan melebur di dalam tarian tersebut? Ahay. Sampai jumpa di artikel saya selanjutnya.Â
Selamat Hari Tari Sedunia!
Salam dari Solo, The Spirit of Java
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H