"Pada mulanya adalah kata. Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata pada mantera." (Sutardji Calzoum Bachri)
Selamat datang kembali untuk diri saya. Wkwkwk...salam yang cukup narsis? Bukan. Ini karena saya terlalu lama pergi dan ndak tahu kepada siapa kangen ini saya sampaikan. Halah! Makin tak tertib pula narasi saya ini.
Well, bagaimana? Judul saya sudah cukup menarik, bukan? Kalo ndak menarik perhatian, yaudala. Ga pa pa juga. Yang penting Anda bersama saya saat ini. #gubrak.
Hmm, bacaan dan anak-anak. Masalah klasik. Njelehi, topik yang membosankan. Mending ngomongin yang lain.
Begitulah pendapat beberapa orang tua di luar sana saat saya gelar tema ini. Mungkin memang membosankan. Tapi nyatanya masih banyak anak-anak di sekitar kita yang tidak suka membaca. Atau ya, mereka mau membaca hanya pada saat dibutuhkan saja.Â
Lantas haruskah anak-anak doyan membaca? Adakah rentang waktu yang tepat bagi anak-anak belajar membaca secara efektif? Terus...bagaimana faset neurosains mengenai minat baca anak-anak?Â
Anda tertarik? Lesgo lanjut, Parents yang saya muliakan.
Naluri Membantu Anak Memahami Bahasa
Pertama, silakan menjawab pertanyaan saya dalam hati saja. Gimana, apakah anak -anak di sekitar Anda masih mager bila diminta membaca? Bila tidak, lalu apakah mereka mampu menyerap isi dari bacaan tersebut dan menarasikannya kembali dengan baik?Â
Bila saya boleh membagikan sedikit wacana, bahwa di luar sana masih banyak orang tua yang mengeluhkan keengganan anak-anak bila diminta untuk membaca. Meskipun semua ide sepertinya sudah dicoba.Â
Tahukah Anda bahwa pada akhir dekade ini, para ahli kognisi dan pemerhati tumbuh kembang anak telah melakukan penelitian mengenai korelasi antara kemampuan mendengar, melihat, dan pembentukan minat baca pada masa anak-anak. Apakah benar-benar ada korelasinya? Lantas apa hubungannya?