Done!
Tepat tanggal 10 November yang lalu satu regulasi dalam bidang edukasi di Surabaya resmi diberlakukan. Bagi siswa SD dan SMP PR ditiadakan!Â
Well done, Pak Walkot. Anda sudah mengurangi beban tak terkatakan dari anak-anak.
Apakah saya termasuk mereka yang menginginkan PR ditiadakan? Mungkin.
Tapi, tunggu sebentar. Kalau memang saya sepakat PR ditiadakan, lalu apa yang salah? Apakah PR yang katanya melatih rasa tanggung jawab anak selama ini telah berhasil melaksanakan tupoksinya?Â
Kesan bahwa tugas dan PR sebagai beban telah menempel pada anak. Bagi sebagian anak, PR sekolah bagaikan momok yang menghantui mereka siang dan malam.Â
Kompetisi demi kompetisi seakan dibiasakan dengan alasan untuk meraih prestasi. Prestasi yang terkadang belum tentu menjadi kebutuhan yang tepat pada masa tumbuh kembang anak.
Tahukah Saudara, apa yang teraktifasi pada otak anak saat harus menghafalkan sederet wacana pembelajaran? Anak-anak berpotensi memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menyimpan informasi.Â
Sayangnya, kemampuan tersebutlah yang kemudian membuat beberapa orang tua di luar sana menjadi "terlalu genit" terhadap kemajuan kemampuan anak. Dengan alasan mengeksplorasi potensi akademis anak, tanpa sadar anak-anak diajar semenjak dini untuk berkompetisi.
Bukan berarti bahwa kompetisi tidak penting. Tapi, bilamana kita paham kapan kompetisi kita ajarkan untuk anak-anak adalah hal yang berbeda.