Coba kita bandingkan dengan kisah saya. Apa pendapat kita bila melihat kecelakaan di jalan? Atau ketika kita mendengar berita duka atas meninggalnya orang terdekat kita? Sedih, bukan? Nah, setelah sedih barulah kita mencari alasan logis mengapa kita bersedih. Bagaimana? Iya, atau iya?Â
Proses yang sama terjadi ketika kita mencoba mencari pembenaran atas emosi marah kita kepada anak, sebagai cara mendidik mereka di dunia yang "keras".
Satu hal yang ingin saya bagikan bahwa apa pun bentuk pola asuh kita, baik dengan perilaku keras maupun dengan belajar empati bersama anak-anak, semua akan terduplikasi dengan baik dalam memori anak.Â
Dalam usia dini, kognisi anak masih berada pada fase berpikir konkret dan akan beranjak pada fase abstrak pada akhir usia dini (sekitar umur 12 tahun).Â
Makdarit, maka dari itu, Saudaraku semua. Pada anak usia dini, anak tidak dapat mengembangkan empati sesuai dengan perspektif mereka hingga mereka mencapai masa akhir usia dini (sekitar usia 12 tahun).Â
So, bukan hal yang mengherankan bila anak-anak sangat mudah menduplikasi pemikiran dan tingkah laku, termasuk empati dari orang-orang di sekitarnya.Â
Empati memungkinkan individu untuk memiliki kecerdasan interpersonal. Yaitu, kemampuan seseorang memahami perasaan dan pikiran orang lain dalam bersosialisasi.Â
Seperti studi yang dilakukan oleh Leanne C. Findlay pada tahun 2006 yang lalu atas 136 responden anak-anak. Mulai dari anak-anak usia TK hingga kelas 1 SD di Kanada.Â
Riset tersebut saya sajikan dari meja dapur psycnet.apa.org. Studi Findlay tersebut mengungkapkan bahwa anak dengan empati tinggi akan mempunyai kemampuan prososial tinggi dan mempunyai kepekaan terhadap pikiran dan perasaan orang lain.Â
Sudahkah kita belajar membiasakan diri berempati hari ini?Â
Salam sehat, salam sadar