Peperangan antara orang tua dengan pornografi masih terus berkelanjutan. Terlebih saat dilema digitalisasi mendera anak untuk terus mengikuti perkembangan alat canggih semacam gadget.
Sejurus maraknya informasi via dunia yang rentan tanpa ruang privasi, konten beraroma "miring" pun menelusup masuk. Merasuki dunia anak-anak di tengah aktifnya jemari kecil generasi Alfa. Apakah lebay jika saya menyatakan bahwa perang antara orang tua versus pornografi semakin memuncak?
Larangan, ancaman, hukuman, beragam aturan, bahkan segala macam cara menjadi upaya orang tua melindungi si buah hati dari pornografi. Tak ayal, tudingan penyebab beragam tindak asusila di kalangan remaja mengarah pada toksisitas konten berbau pornografi.
Okay, markitalk tentang pornografi dan anak.
Studi yang dilakukan oleh Kemenkes RI pada tahun 2017, misalnya. Dalam studi tersebut, didapati ada 94% remaja menikmati konten pornografi dari media. Apakah hanya dari telepon seluler saja?Â
Dinyatakan pula dalam studi tersebut, bahwa akses pornografi anak remaja melalui : internet (57%), komik (43%), medsos (34%), buku (26%), majalah (19%), film/tv (17%), game (4%), lain-lain (4%). Itu data dari tahun 2017 lho yha.
Dua tahun yang lalu, baik dari BPS, Kemenkes RI, PPPA, maupun Kominfo masing-masing menyajikan data yang hampir sama. Bahwa terjadi peningkatan penggunaan media berbasis internet untuk keperluan belajar maupun bersosialisasi anak-anak.Â
Yang mana, aktivitas tersebut ditengarai memberikan dampak negatif lebih banyak dibandingkan dengan dampak positif terhadap tumbuh kembang anak. Saya tidak akan menyebut berderet gangguan mental sebagai dampak akut, ya.
Namun seiring meningkatnya disrupsi digitalisasi, banyak kita jumpai fenomena pada anak-anak seperti stres, mager, burnout syndrom, cyber bullying, hingga maraknya konten vulgar yang diunggah oleh anak-anak remaja.Â
Sempat saya jumpai pula banyak orangtua mulai mengeluh tentang anak-anak mereka yang too much mager bila belajar. Namun, bila berhadapan dengan lappy atau ponsel saat bermain game online mereka selalu betah mantengin.Â
"Biasanya, kalau sudah seperti ini saya yang harus gerak. Ponsel dia (anaknya) saya sita. Dan saya bilang supaya dia brenti main game online. Nanti nek ndak brenti ndak dapet uang saku, ndak boleh tidur pakai AC," nada jengkel terdengar dari cerita seorang ibu di sebuah antrian panjang supermarket.
"Apa dia berhenti menggunakan ponselnya dan lebih giat belajar?" tanya saya.Â
"Ndak. Malah tambah bikin jengkel saya, " begitulah ibu ini melanjutkan cerita kejengkelannya.Â
Keprihatinan orang tua tidak berhenti pada mandegnya motivasi belajar anak. Lebih jauh lagi banyak yang berpendapat bahwa dalam konten kekerasan dan vulgarnya gambar-gambar pada setiap karakter akan memberikan efek negatif terhadap anak.Â
Hmm, sebelum kita berjibaku dengan anak-anak dan pornografi, yuk kita sama-sama belajar bagaimana seluk-beluk pornografi secara neuroanatomi.
Okay, now. Pada masa dahulu aktivitas seksual bahkan divisualisasikan dalam bentuk seni dan keyakinan. Coba kita lihat pada relief candi Sukuh.
Baca juga: Museum Seks di Beberapa Negara dan Candi Sukuh
Katakan saja memang pornografi telah hadir semenjak masa lampau. So, mengapa sampai sekarang orang tua masih aware, masih mengkhawatirkan anak-anak mereka terkontaminasi oleh konten-konten yang menampilkan visualisasi gambar-gambar porno?Â
Pornografi ditilik dari lensa nurturing bukan lagi menjadi persoalan baru. Yang membuat kita cemas adalah dampak negatif yang ditimbulkan konten "miring" media sosial pada anak-anak yaitu menyoal: kecanduan.Â
Manusia lebih cenderung menyukai pleasure, keseruan dan /atau kenyamanan. Aktivitas menikmati pornografi pada era kekinian telah mengalami evolusi menjadi aktivitas seks yang diterima sebagai informasi yang membuat senang.Â
Ini mengapa individu mulai dari usia anak remaja hingga usia dewasa  menyukai aktivitas seks yang dicitrakan dalam beragam rupa. Baik dalam wujud visual maupun audiovisual.
Yang menjadi kegelisahan orang tua adalah apabila paparan konten yang memuat tentang kekerasan maupun pornografi dinikmati lalu berlanjut menjadi sebuah kebiasaan. Kebiasaan inilah yang kemudian akan membangun perilaku kompulsif. Â
Kita semua pasti sepakat bilamana pornografi bukan pilihan tepat bagi sarana belajar tentang seks dalam tumbuh kembang anak. Meski demikian, selalu menyelip satu pertanyaan abadi dalam benak kita. Mengapa anak-anak bahkan kita sebagai orang dewasa masih saja menyukai pornografi?Â
Andai saja kita mau mengakui, beberapa dari kita pun masih menikmati suguhan konten-konten miring berdurasi beberapa detik tersebut. Hayo...iya apa iya?Â
Apakah menikmati pornografi merupakan perilaku yang normal atau tidak?
Sampai saat ini, perkara tersebut masih debatable. Artinya, memang perlu kajian khusus. Apakah benar perilaku tersebut akan merusak bagian otak tertentu? Bagian otak mana sajakah yang akan terganggu dengan aktivitas tersebut?
Para ahli kesehatan pun hingga saat ini masih melakukan uji penelitian mengenai hal tersebut. Akan tetapi, perilaku mengulang saat mengkonsumsi tontonan pornografi jelas dapat berpotensi menimbulkan kecanduan.
Perilaku kompulsif dalam rentang waktu, intensitas, dan frekuensi tertentu akan menimbulkan dampak negatif lain. Misalnya, relasi dengan sesama yang terganggu, individu lebih menarik diri dari lingkungan, bahkan timbul rasa cemas apabila tidak menikmati konten pornografi.
"Saya sudah berupaya supaya berhenti, tapi tetap saja saya mengulanginya"
"Kenapa susah banget berhenti dari kebiasaan ini?"Â
Bukankah kita sering mendengar pertanyaan tersebut dari mereka yang secara tidak sadar terbiasa mengkonsumsi pornografi?Â
Dalam artikel-artikel yang lalu tidak jarang saya menengarai bagaimana sistem limbik, bagian otak emosi kita seringkali mengambil alih otak rasional kita. Bagaimana otak emosi yang lebih sering berperan besar pada keputusan kita ketimbang otak rasional kita.Â
Pada dasarnya, kerja "pembajakan" otak emosi ini memberikan manfaat bagi kita untuk bertahan hidup. Seperti halnya saat kita menyetir mobil, makan, minum, berjalan, naik sepeda, semua kita lakukan bukan melalui gerak refleks.Â
Aktivitas tersebut di atas seakan kita lakukan tanpa sadar. Ah, yang benar? Bagaimana mungkin? Bukankah saat kita melakukan aktivitas tersebut kita pun secara sadar melakukannya?Â
Di sinilah peran aktif memori implisit. Yaitu memori yang terhimpun dari aktivitas otak menyimpan informasi dari pengalaman dalam keseharian secara kontinyu. Sehingga kita merasa seakan melakukan aktivitas tersebut secara tidak sadar.Â
Semua yang kita lakukan secara berulang akan tersimpan dalam memori jangka panjang. Memori implisit akan menyimpan saat kita belajar berjalan, menyetir mobil, mengenal tiap tikungan jalanan antara rumah dengan kantor, belajar cara makan, atau cara minum.
Begitu pula bila kita terbiasa mengkonsumsi pornografi. Semua informasi akan tersimpan dalam memori implisit. Dengan mekanisme yang sama, otak emosi akan menyimpan informasi menyenangkan dari menikmati pornografi.
Pada saat kita menikmati pornografi, hormon dopamin akan "membanjiri" otak pre frontal cortex (PFC) kita. Tentu saja ada pula keterlibatan reaksi kimiawi lainnya dalam proses ini.Â
Hormon dopamin yang dipancarkan oleh sistem limbik akan menimbulkan rasa senang dalam durasi singkat. Rasa nyaman ini kemudian menimbulkan sensasi "nagih" pada beberapa individu.Â
Ingat, salah satu tupoksi sistem limbik adalah membuat keputusan dengan cepat supaya kita mendapatkan gratifikasi atau reward. Yaitu rasa nyaman. Sekaligus sebisa mungkin menolak segala sesuatu yang dianggap sebagai ancaman atau bahkan "punishment".
Apa yang harus kita lakukan bila anak kita kedapatan mengkonsumsi konten pornografi?
Dalam beberapa kesempatan yang lalu saya pernah menyinggung tentang penggunaan ponsel atau gadget lain pada anak. Seringkali saya menjumpai saran atau masukan tentang pembatasan penggunaan ponsel terhadap anak-anak.Â
Ya, monggo saja. Akan tetapi pelarangan penggunaan ponsel atau "kekepoan" kita membatasi penggunaan ponsel pada anak pun tidak serta merta menghentikan mereka menggunakan ponsel, bukan?Â
Alih-alih berhenti. Dalam kesempatan berdiskusi dengan orang tua, bahkan ada yang membagikan pengalaman mereka bagaimana anak menunggu lengah orang tua dan mengambil ponsel yang disita orang tua karena ia "ketagihan" bermain game online. Atau keinginan mereka untuk berelasi melalui beragam aplikasi media sosial.
Satu tanya saya. Bagaimana andai kita yang memiliki ponsel tersebut, lalu ada seseorang yang selalu membuka dan mencoba mencari tahu aksesibilitas bersosialisasi kita melalui ponsel tersebut. Apa reaksi kita? Marah? Jengkel? Merasa dibatasi?
Mengapa kita marah atau tersinggung? Yap. Betul. It's all about privacy. Ini tentang privasi kita. Demikian pula dengan anak-anak.Â
Mengawasi setiap gerak dan membatasi penggunaan ponsel pada anak justru memberikan contoh bahwa anak-anak pun boleh melakukan trespassing. Boleh melanggar batas hak privasi orang lain.Â
Berbincang mengenai pornografi dan kekerasan tak dapat kita lepaskan dari "moralitas". Sedangkan moralitas terbangun dari empati.Â
Semenjak anak-anak mulai menyadari keberadaan dirinya, kita dapat melatih empati mereka. Kita dapat berlatih self control bersama mereka.Â
Kalau sudah beranjak remaja? Ya tak mengapa. Latihan berempati tidak memandang usia, bukan?Â
Sebagai orang tua kita harus banyak berlatih menjadi teman untuk anak. Sehingga anak tidak canggung untuk bertanya tentang seks kepada orang tua.Â
Beritahukan bahwa mereka sedang terpapar pornografi. Cobalah bertanya, apa yang ingin mereka ketahui dari pornografi tersebut.
Berlatih merespon positif bila sedang dinasehati. Berlatih meregulasi emosi marah. Belajar datang saat dipanggil, belajar bertanya tentang seks kepada orang tua. Berlatih memelihara hewan peliharaan atau merawat tanaman di halaman. Dan masih banyak stimulan lain yang dapat kita aplikasikan sesuai kemampuan anak.
Apabila sebagai orang tua kita merasa tidak mengerti apa yang harus dilakukan pada anak-anak yang telah terbiasa menikmati konten pornografi, alangkah baiknya kita berkonsultasi pada ahli yang bersangkutan.
Parenting bukan bertujuan untuk menyelesaikan problem anak pada masa kini. Namun, tentang bagaimana mempersiapkan anak supaya mampu bertahan hidup di masa yang akan datang.
Salam sehat, salam sadar
Penulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H