"Biasanya, kalau sudah seperti ini saya yang harus gerak. Ponsel dia (anaknya) saya sita. Dan saya bilang supaya dia brenti main game online. Nanti nek ndak brenti ndak dapet uang saku, ndak boleh tidur pakai AC," nada jengkel terdengar dari cerita seorang ibu di sebuah antrian panjang supermarket.
"Apa dia berhenti menggunakan ponselnya dan lebih giat belajar?" tanya saya.Â
"Ndak. Malah tambah bikin jengkel saya, " begitulah ibu ini melanjutkan cerita kejengkelannya.Â
Keprihatinan orang tua tidak berhenti pada mandegnya motivasi belajar anak. Lebih jauh lagi banyak yang berpendapat bahwa dalam konten kekerasan dan vulgarnya gambar-gambar pada setiap karakter akan memberikan efek negatif terhadap anak.Â
Hmm, sebelum kita berjibaku dengan anak-anak dan pornografi, yuk kita sama-sama belajar bagaimana seluk-beluk pornografi secara neuroanatomi.
Okay, now. Pada masa dahulu aktivitas seksual bahkan divisualisasikan dalam bentuk seni dan keyakinan. Coba kita lihat pada relief candi Sukuh.
Baca juga: Museum Seks di Beberapa Negara dan Candi Sukuh
Katakan saja memang pornografi telah hadir semenjak masa lampau. So, mengapa sampai sekarang orang tua masih aware, masih mengkhawatirkan anak-anak mereka terkontaminasi oleh konten-konten yang menampilkan visualisasi gambar-gambar porno?Â
Pornografi ditilik dari lensa nurturing bukan lagi menjadi persoalan baru. Yang membuat kita cemas adalah dampak negatif yang ditimbulkan konten "miring" media sosial pada anak-anak yaitu menyoal: kecanduan.Â
Manusia lebih cenderung menyukai pleasure, keseruan dan /atau kenyamanan. Aktivitas menikmati pornografi pada era kekinian telah mengalami evolusi menjadi aktivitas seks yang diterima sebagai informasi yang membuat senang.Â
Ini mengapa individu mulai dari usia anak remaja hingga usia dewasa  menyukai aktivitas seks yang dicitrakan dalam beragam rupa. Baik dalam wujud visual maupun audiovisual.