Tanpa terduga, pukul 17.00 telah lewat. Tetiba terdengar jerit berhamburan disusul asap berebut terbang mengudara. Tercampur dengan kepulan gas air mata.
Sesak. Perih di mata.
Suara helikopter meraung dekat telinga. Pesawat itu terbang rendah. Kadang membuat alenia pikiranku pun ikut terbang.Â
Sementara aku linglung mencari Riri di pelataran kampus Trisakti. Ini situasi gila. Tetapi aku lebih gila! Tubuh kecilku akhirnya melewati barikade aparat yang berupaya meringsek masuk area kampus.
Untung saja badan kurus membuatku mampu menyusup dari arah belakang kampus. Mataku nyalang mencari tubuh seukuran batang lidi. Mencari rupa pipi tirus yang digemari Udin. Aku terus mencari. Sementara rasa perih masih saja menyakiti bola mataku.
"Surya!" aku mendengar suara yang tak asing. Ya, suara Udin. "Ngapain loe ampe sini? Noh, Riri," telunjuk Udin mengarah pada sosok tubuh sebatang lidi yang kucari. Sedang kaos hitam yang melekat di badan Udin telah bercampur dengan darah.Â
Riri tergeletak di antara korban lain. Darah mengalir di pelipis wajah tirusnya. Kuusap pelan darah yang masih setia menetes di keningnya. Kupeluk tubuh kering itu. Erat. Nafasku. Hidupku.
"Maafin Riri, Bang," ucap pelan itu hadir ditelan nafas yang sulit dijangkaunya. Kata-kata yang selama ini selalu kuharap bisa keluar dari mulut bawelnya. Aku melihat sekilas, celana jeans biru muda miliknya bermotif bercak darah. Juga luka lebam menghiasi lengan kanannya.
Raga tipis itu masih dalam rengkuhku.
Raga penuh darah itu. Nafasku! Hidupku! Tumbang.
***