Langit semakin pekat. Jalanan basah belum mengering.Â
Perjalanan menuju kampus Trisakti masih separuh jalan. Sementara itu, ubun-ubun kepalaku serasa ingin memberontak. Berdenyut. Lurus dengan peluh yang menghiasi kening. Beginilah Jakarta seperti biasa. Macet. Dan kami harus berlatih sabar. Tapi entah mengapa macet kali ini membuatku gusar.Â
Bagai kesetanan aku menghajar jalanan. Jika saja aku bisa membuat motor ini terbang. Akan kutancap gas dengan kecepatan sepersepuluh nano detik.
Hari ini semua saluran televisi menawarkan berita santer yang sedang terjadi. Demonstrasi mahasiswa. Sekilas aku melihat Udin dalam tayangan berita itu. Anak Fisip yang sempat satu meja pergerakan mahasiswa denganku di kampus. Dulu. Sebelum aku drop out tak mampu membayar uang kuliah.Â
Setiap ada pertemuan perkumpulan mahasiswa, kami berdua bergerak paling depan. Aku dan Udin selalu aktif membincangkan tentang buku-buku aliran kiri masa Orba. Aksi diskusi bersama beberapa teman tersebut selalu mendatangkan perdebatan panjang di rumah.
Aku tahu pemberontakanku akan membuat Babe semakin naik pitam. Memang kusengaja.
Status anggota Korpri membuat Babe ketakutan akan denda mutasi di daerah terpencil bila melawan perintah. Terlebih, bila melawan penguasa. Sang pemberi perintah. Babe memilih manut, sendika dhawuh. Kala itu.Â
Tapi kini, demi apapun yang sedang hidup! Nanar mataku melihat adikku berdiri di sebelah Udin! Aku jelas melihat adikku mengenakan almamater kuning yang dijinjingnya tadi pagi. Ia telah berada di antara barisan massa pekat aparat.
'Din! Apa yang nangkring di kepala loe? Itu adik gue. Hidup gue, Din!'
Kenapa juga bocil itu bersiasat kecil di belakangku turut mengikuti arus perlawanan ini?
Sungguh. Saat itu, 12 Mei 1998 bukan hari biasa. Salah satu saluran televisi menanyangkan. Gedung wakil rakyat penuh sesak dengan himpunan mahasiswa semesta. Beragam warna almamater terpantul di siang yang muram.Â