Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Jakarta, 12 Mei '98 yang Lalu

12 Mei 2022   07:07 Diperbarui: 12 Mei 2022   14:47 3831
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi demo mahasiswa Mei 1998 via buguruku.com

Jakarta, 12 Mei 1998. Kuintip jam, waktu berjalan meninggalkan pukul 6. Pagi hari. 

Matahari tipis menerobos masuk dalam kamarku. Ternyata pagi hari belum terlambat datang. Aku pikir, malam telah menghabisi segala periode terhebatnya. Kemarin.

Sinar kecil pagi benar-benar telah membangunkanku. Mataku masih begitu lengket sementara nada dering alam berisik di telinga. Bunyi burung-burung kecil menghardikku berulang. Tanpa harus mencela ayam di kandang yang masih terdiam. Beku.

"Sompreeet! Bangun, Bang!" ah gila. Suara sopran tak beraturan itu benar-benar terdengar tanpa moralitas. "Noh, gue udah siapin sarapan. Ini udah siang, Bang!" kuambil kacamata. Oh, jagat dewa dan para guru nirwana. Ternyata pagi gercep merubah diri menjadi siang. Deadline skripsi semalam menciptakan sebuah delusi. 

"Abaaaang! Sumpe deh, ntar gue tarik sendiri tuh ojek! Gue udah telat. Hiiiiih, Abaaang!" Komando itu terdengar seperti jeritan Emak enam tahun yang lalu. 

Teriakan yang selalu membuatku menyerah. Pasrah. Sejauh memori periodikku mengingat, usai frasa tersebut terucap, langkah berikutnya: guyuran air siap membuatku kuyup.

Noh pembaca sekalian, kenalin. Adikku semata wayang. Yang menyayangiku setengah hati. Ya iyalah. Yang setengahnya lagi buat si Udin. Siapa Udin? Kalau Anda penasaran, silakeun diteruskan membacanya, Kisanak. 

Dialah Riri. Adikku. Sebut saja namanya Riri. Katanya ogah disebut Mawar. Ia sudah berdiri di depan pintu kamar. Mantap. Pertanda, ada satu kemungkinan hukuman selain guyuran air. Bahwa, sekali lagi aku menarik selimut, motor bututku bisa mampir di Depok. Lapangan parkir UI. 

Lalu aku harus menumpang angkot biru Bang Raiz. Tetangga sebelah. Buset dah. Yang pasti aku ogah. Demi apapun, aku ogah mengulang kejadian 2-3 minggu kemarin. Ogah ngerepotin Bang Raiz terus. Itu saja. 

Ya, aku bangkit. Berdiri dan menghampiri meja makan. Belum mandi? Ah biarlah. Paling cuci muka. Itu maha cukup, Karibku. 

Secangkir kecil kopi hitam di atas meja makan kusesap sedikit. Pekatnya membuatku semakin memburu isi cangkir kecil itu. Nasi goreng kiriman Mpok Romlah, anak Haji Nasrin, masih tergeletak di atas meja. Entah kesambet malaikat mana Mpok Romlah. Sang kembang kampung. Setiap pagi ia selalu mengirim sarapan untuk kami, aku dan adikku.

Tadinya kupikir karena aku pintar dan lumayan ganteng. Ternyata tidak. Kemarin ayam tetangga mati demi melihatku mengambil telurnya. 

Semula, kupikir Romlah hanya merasa kasihan pada nasib kami berdua. Ya, saat itu kami, aku dan adikku harus menahan lapar satu setengah hari. Uang tabunganku habis untuk membayar kontrakan rumah yang harus kami lunasi 3 bulan di depan.

"Ini Bang. Kata Abah, buat sarapan Abang ama adek Abang, " serantang nasi uduk pun kami terima kala itu. Rasanya bak roti dari surga.

Kalian tahu? Suara lembut Romlah selalu membuat sensor otakku bergegas menghimpun segala data masa lalu. Seketika aku membeku. Bodoh. Suara Romlah benar-benar seperti kain sutera Emak. Ya, kain ungu muda yang selalu disimpannya rapi di dalam lemari kayu. 

Ah, sudahlah. 

Hidup dengan bergantung dari upah menulis cerpen di media lokal emang ga bisa nambahin duit buat si adek kuliah. So, aku banting setir dari mahasiswa menjadi peracik cerita plus driver ojek Pasar Rebo. 

Kadang aku juga menerima tawaran mahasiswa kekinian yang hanya mau menyandang status mahasiswa tanpa mau ribet soal skripsi. Ya, itung-itung aku ikut kuliah sekaligus dibayar. Bukankah ini semacam kuliah di kampus kedinasan? Lumayan.

Asal kalian tahu, meski cinta adikku setengah hati, setengah mati aku rela ngejabanin agar mimpinya bisa kelar hingga ke langit mana pun.


***

Jakarta, jam 16:38 waktu setempat. 

Langit semakin pekat. Jalanan basah belum mengering. 

Perjalanan menuju kampus Trisakti masih separuh jalan. Sementara itu, ubun-ubun kepalaku serasa ingin memberontak. Berdenyut. Lurus dengan peluh yang menghiasi kening. Beginilah Jakarta seperti biasa. Macet. Dan kami harus berlatih sabar. Tapi entah mengapa macet kali ini membuatku gusar. 

Bagai kesetanan aku menghajar jalanan. Jika saja aku bisa membuat motor ini terbang. Akan kutancap gas dengan kecepatan sepersepuluh nano detik.

Hari ini semua saluran televisi menawarkan berita santer yang sedang terjadi. Demonstrasi mahasiswa. Sekilas aku melihat Udin dalam tayangan berita itu. Anak Fisip yang sempat satu meja pergerakan mahasiswa denganku di kampus. Dulu. Sebelum aku drop out tak mampu membayar uang kuliah. 

Setiap ada pertemuan perkumpulan mahasiswa, kami berdua bergerak paling depan. Aku dan Udin selalu aktif membincangkan tentang buku-buku aliran kiri masa Orba. Aksi diskusi bersama beberapa teman tersebut selalu mendatangkan perdebatan panjang di rumah.

Aku tahu pemberontakanku akan membuat Babe semakin naik pitam. Memang kusengaja.

Status anggota Korpri membuat Babe ketakutan akan denda mutasi di daerah terpencil bila melawan perintah. Terlebih, bila melawan penguasa. Sang pemberi perintah. Babe memilih manut, sendika dhawuh. Kala itu. 

Tapi kini, demi apapun yang sedang hidup! Nanar mataku melihat adikku berdiri di sebelah Udin! Aku jelas melihat adikku mengenakan almamater kuning yang dijinjingnya tadi pagi. Ia telah berada di antara barisan massa pekat aparat.

'Din! Apa yang nangkring di kepala loe? Itu adik gue. Hidup gue, Din!'

Kenapa juga bocil itu bersiasat kecil di belakangku turut mengikuti arus perlawanan ini?

Sungguh. Saat itu, 12 Mei 1998 bukan hari biasa. Salah satu saluran televisi menanyangkan. Gedung wakil rakyat penuh sesak dengan himpunan mahasiswa semesta. Beragam warna almamater terpantul di siang yang muram. 

Tanpa terduga, pukul 17.00 telah lewat. Tetiba terdengar jerit berhamburan disusul asap berebut terbang mengudara. Tercampur dengan kepulan gas air mata.

Sesak. Perih di mata.

Suara helikopter meraung dekat telinga. Pesawat itu terbang rendah. Kadang membuat alenia pikiranku pun ikut terbang. 

Sementara aku linglung mencari Riri di pelataran kampus Trisakti. Ini situasi gila. Tetapi aku lebih gila! Tubuh kecilku akhirnya melewati barikade aparat yang berupaya meringsek masuk area kampus.

Untung saja badan kurus membuatku mampu menyusup dari arah belakang kampus. Mataku nyalang mencari tubuh seukuran batang lidi. Mencari rupa pipi tirus yang digemari Udin. Aku terus mencari. Sementara rasa perih masih saja menyakiti bola mataku.

"Surya!" aku mendengar suara yang tak asing. Ya, suara Udin. "Ngapain loe ampe sini? Noh, Riri," telunjuk Udin mengarah pada sosok tubuh sebatang lidi yang kucari. Sedang kaos hitam yang melekat di badan Udin telah bercampur dengan darah. 

Riri tergeletak di antara korban lain. Darah mengalir di pelipis wajah tirusnya. Kuusap pelan darah yang masih setia menetes di keningnya. Kupeluk tubuh kering itu. Erat. Nafasku. Hidupku.

"Maafin Riri, Bang," ucap pelan itu hadir ditelan nafas yang sulit dijangkaunya. Kata-kata yang selama ini selalu kuharap bisa keluar dari mulut bawelnya. Aku melihat sekilas, celana jeans biru muda miliknya bermotif bercak darah. Juga luka lebam menghiasi lengan kanannya.

Raga tipis itu masih dalam rengkuhku.

Raga penuh darah itu. Nafasku! Hidupku! Tumbang.

***

Solo, malam menjelang 12 Mei 2022

Menolak lupa: Indonesia berhutang pada mereka. Kepada mereka yang hilang, pada mereka yang masih selalu dalam kenang. Mereka, korban Mei '98. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun