Perlu diketahui bahwa remaja yang delinkuen, dalam hal ini delinkuen psikopatik mengalami mental defect. Ini kondisi di mana remaja tidak mempunyai kemampuan untuk menyadari, memahami, mengendalikan dan mengatur emosi serta perilaku mereka sendiri.Â
Klitih merupakan satu dari sekian banyak fenomena kenakalan remaja yang hadir di tengah masyarakat. Tentu saja karena istilah klitih berawal dari Kota Gudeg, maka fenomena yang sedang viral saat ini pun kemudian banyak dikaitkan dengan kondisi Jogja yang sedang darurat klitih.Â
Bagaimana Hukum Berbicara Mengenai Kenakalan Remaja?Â
Masa remaja adalah masa individu berada di sebuah batas antara dewasa dan masa anak-anak. Di dalam UU Perlindungan Anak No. 11 Tahun 2012 jelas dinyatakan bahwa remaja termasuk dalam golongan anak-anak.Â
Tepat pada pasal 1 butir 3 menyatakan bahwa, "anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana."
Hal yang menarik bila kita cermati dalam kasus klitih, bahwa kegeraman masyarakat luas mendapati fakta di lapangan yang begitu ironis. Seakan segala macam teori ilmiah tak mampu lagi menjadi tangan yang cukup panjang untuk menjangkau permasalahan ini.Â
Edwin Sutherland, seorang pakar kriminologi mengungkapkan bahwa sebuah kejahatan bukanlah warisan. Kejahatan merupakan suatu tindakan yang dipelajari dari interaksi melalui proses komunikasi.Â
Begitu pun dengan klitih. Mengutip dari pernyataan Soeprapto, Kriminolog Fisipol Universitas Gajah Mada dalam cnnindonesia.com aksi klitih disinyalir merupakan kejahatan jalanan yang membutuhkan perencanaan dan komunikasi panjang dalam sebuah kelompok sebelum mereka melakukan tindak pidana tersebut.
Yang masih perlu diperhatikan adalah remaja delinkuen merupakan remaja yang mengalami defisiensi moral. Yaitu suatu kondisi dimana remaja delinkuen melakukan tindakan yang dinilai jahat atau nakal tersebut tanpa mengalami gangguan intelektualitasnya. Hanya saja intelektualnya belum berfungsi. Sehingga remaja delinkuen mengalami kebekuan moral.
Peliknya problematika sosial seperti klitih melibatkan banyak faktor. Faktor keluarga, lingkungan sekitar, maupun sekolah menjadi titik tolak kematangan pertumbuhan dan perkembangan individu remaja menuju dewasa.Â
Kondisi keluarga yang terpecah karena kurangnya keharmonisan memunculkan potensi bagi remaja untuk memiliki konsep diri yang negatif. Bila dibandingkan dengan remaja yang tumbuh dalam dimensi keluarga yang harmonis, maka remaja yang mempunyai konsep diri negatif rentan akan melakukan perilaku yang jahat atau nakal.
Sikap abai orangtua terhadap anak pun memicu anak untuk mencari dimensi lain sebagai ruang "bernaung" dan mengaktualisasikan dirinya.