Lho berarti putus silaturahmi? Hmm, tunggu sebentar. Orang tersebut, pasangan toksik tersebut, merupakan seseorang dengan status "istimewa". Ia bukan seperti orang biasa. Maka untuk melakukan pemblokiran atas segala akses komunikasi adalah hal yang penting.Â
Ini dilakukan karena kita harus memutus siklus berantai dari hubungan toksik.Â
Dan akan berputar seperti itu terus-menerus.
Kalaupun nanti suatu saat akan menjalin komunikasi lagi dengan pelaku, maka tegaskan batasan bagi diri sendiri. Tegaskan bahwa kita tidak akan terlibat dalam hubungan toksik tersebut. Tegaskan pada diri sendiri bahwa kita BERHARGA.Â
#2 Merawat diri sendiri. Saya yakin, pasti ada perasaan duka seusai kehilangan hubungan tersebut. Ada marah, ada sedih, ada denial (penolakan), dan ada perasaan kecewa.Â
Tapi teman-teman yang baru saja putus dari hubungan toksik, saya ajak kembali menyayangi diri sendiri. Berikan diri kita waktu untuk grieving, untuk berkabung. It's okay to not be okay. Kita manusia.Â
Di sisi lain, mungkin sebagai distraksi, perlahan kita merawat diri dengan istirahat yang cukup, untuk memulihkan tenaga setelah habis terkuras pada hubungan toksik yang telah lewat.Â
Atau untuk mengisi "rasa kosong", kita dapat berolahraga, melakukan hobi yang sempat kita tinggalkan, atau kita dapat mengedukasi diri bagaimana untuk pulih usai memutus hubungan toksik.Â
Salah satu cara yang rekan saya anjurkan adalah menjadi voulenteer, relawan kegiatan sosial. Tidak perlu terlibat dalam kegiatan besar. Memedulikan kaum miskin papa di sekitar kita, itu juga sebuah aktivitas sosial, bukan?Â
Dengan demikian, energi yang dulu kita curahkan untuk pasangan toksik mampu tersalurkan. Saya yakin, bila ada kepedulian kepentingan liyan, kita pun ikut bertumbuh di dalamnya.Â