Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Hubungan Beracun? "No Toxic No Cry"

14 Februari 2022   07:07 Diperbarui: 15 Februari 2022   02:33 1502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : hubungan yang tidak sehat, mengapa harus dipertahankan? | Sumber: Unsplash @shelby deeter

"Our connection determines our future" (Ps. Jefri Rahmat) 

Welcome in the midle of Februari... Bulan pinky, bulan coklat, bulan kasih, bulan apa pun boleh-lah asal jangan jadi bulan-bulanan. Hehehe. 

Begitupun di atas rak etalase supermarket atau retail makanan sudah dipastikan riuh penuh keping-keping coklat yang bikin kepingin. Ya, sepasti pohon pinus menjelang Natal. 

Kalau kita membincangkan topik cinta, serasa dawai selaut, angkasa jadi kertasnya, dan tiap batang pohon sebagai pena, tapi entah mengapa semua tak akan cukup menampung tema satu ini. 

Tidak dapat kita pungkiri pada kenyataannya pandemi covid-19 banyak memberikan dampak bagi keharmonisan hubungan kita dengan pasangan.

Baiklah. Kali ini kita bakal ngubrulin topik paling digemari sepanjang musim bahtera cinta pasangan sejoli semesta. 

Oh, tapi tidak menutup kemungkinan juga bagi yang pacaran pun bertunangan, atau sedang menyandang status jomlo harapan bangsa. Take it easy, kita satu klan, Saudara. 

Maraknya konten-konten di media sosial yang mengangkat topik mental health dengan tema "aku dan pasanganku" menunjukkan kebutuhan masyarakat akan jawaban permasalahan merawat relasi dengan pasangan kita masing-masing. 

Bahkan kata toxic banyak diucapkan hanya untuk menyatakan sifat atau karakter seseorang; atau sebuah kondisi dalam lingkup sosial dirasa tidak nyaman. 

Pada dasarnya, tidak ada diagnosis khusus secara medis yang menyatakan tentang toxic people. Hanya saja ada beberapa sifat atau kondisi yang kemudian dilegalkan secara umum sebagai "toxic".

Lho trus apa sih yang dimaksud toxic itu? 

Ilustrasi: seorang korban dalam hubungan toksik | via unsplash @sidney sims
Ilustrasi: seorang korban dalam hubungan toksik | via unsplash @sidney sims

Ada batasan yang digunakan dalam paradigma umum, di mana seseorang atau sebuah kondisi dikatakan sebagai toxic. 

Yaitu bila kondisi atau sikap seseorang tersebut bersifat manipulatif, tidak peduli kepada sesama (no empathy), atau juga sikap seseorang yang playing victim. 

Bila seseorang berada dalam hubungan yang toksik berarti ia berada pada beberapa kondisi:

#1 Sebuah relasi yang mengisolasi. Korban dalam hubungan toksik akan memutuskan hubungan dengan orang lain selain pasangannya. Bahkan dalam beberapa kasus, korban akan memutuskan hubungan dengan keluarga, rekan, sahabat, yang pada masa dahulu menjadi circle korban. 

#2 Tidak memedulikan kebutuhan dirinya sendiri. Menganggap bahwa kebutuhan pasangannya tersebut merupakan kebutuhan paling penting. Sehingga, tidak jarang korban tidak bertumbuh menjadi siapa dirinya sendiri. 

Kasus seperti ini terjadi bila pelaku adalah seseorang yang senang memanipulasi. Korban gaslighting ada yang sering mengalami delusi, hingga menderita scizhophrenia hanya karena merasa dirinya tidak berharga. 

Korban hubungan beracun secara sadar merasa tersiksa dalam relasinya tersebut. Namun, kebanyakan dari mereka merasa tidak mampu keluar dan memutuskan hubungan tersebut. 

Bahkan ia "senang" bila merasa dapat memenuhi keinginan atau kebutuhan si pelaku. Meskipun pada kenyataannya, apa yang terjadi adalah hanya perasaan dan pikiran si korban yang (biasanya) tidak sama dengan realita. 

Keluar dari rantai relasi beracun memang tidak mudah. Akan ada sakit. Akan ada kehilangan. Akan ada kesepian karena hilangnya kehadiran pasangan. Akan ada masa duka. Sungguh sebuah kondisi yang tidak mudah untuk dapat kembali lagi. 

Namun, satu yang seringkali kita lupakan. Self love. Kata yang tidak asing bukan? Tentu tidak! 

Self love bukan hanya melulu mengesampingkan hal-hal yang membuat kita tidak nyaman. Self love merujuk pada rasa welas asih pada diri sendiri, menyoal pada bagaimana merawat diri kita sendiri. 

Jadi, saya salut kepada teman-teman yang telah berhasil keluar dari hubungan yang beracun. 

Bertumbuh Usai Runtuh

Ilustrasi: kembali kepada diri sendiri, menyayangi 
Ilustrasi: kembali kepada diri sendiri, menyayangi 

Izinkan saya berbagi cerita. Ini kisah tentang seorang kerabat yang pernah berada dalam hubungan beracun. Ia mengaku, hubungan tersebut memang benar-benar menyiksanya. 

Mungkin ia belum pernah mengalami kekerasan secara fisik. Tetapi, secara mental, ia mengalaminya. Bahkan, dengan beragam ujaran negatif dan manipulatif dari pasangan toksiknya saat itu ia berada di titik terendah. 

Ia tetiba panik untuk sebuah peristiwa yang bagi kami biasa saja. Ia juga sering tidak fokus, bahkan merasa cemas yang seringkali mengganggu rutinitas hariannya. 

Hingga kemudian ia memenuhi saran dari beberapa kawan yang menganjurkannya menemui ahli kesehatan profesional. 

Ya, tentu saja, perjuangan kerabat saya bukan hanya berhenti sampai ia memutuskan hubungan dengan pasangannya. 

Mari saya bagikan apa yang pernah ia lewati dalam proses panjangnya sehingga akhirnya ia kini mampu berdiri kembali. 

#1 Putuskan hubungan. Apapun yang terjadi, sebaiknya kita putuskan segala akses komunikasi yang dapat menghubungkan kita dengan pasangan kita. 

Lho berarti putus silaturahmi? Hmm, tunggu sebentar. Orang tersebut, pasangan toksik tersebut, merupakan seseorang dengan status "istimewa". Ia bukan seperti orang biasa. Maka untuk melakukan pemblokiran atas segala akses komunikasi adalah hal yang penting. 

Ini dilakukan karena kita harus memutus siklus berantai dari hubungan toksik. 

gambar siklus hubungan toksik | via coretanq
gambar siklus hubungan toksik | via coretanq

Dan akan berputar seperti itu terus-menerus.

Kalaupun nanti suatu saat akan menjalin komunikasi lagi dengan pelaku, maka tegaskan batasan bagi diri sendiri. Tegaskan bahwa kita tidak akan terlibat dalam hubungan toksik tersebut. Tegaskan pada diri sendiri bahwa kita BERHARGA. 

#2 Merawat diri sendiri. Saya yakin, pasti ada perasaan duka seusai kehilangan hubungan tersebut. Ada marah, ada sedih, ada denial (penolakan), dan ada perasaan kecewa. 

Tapi teman-teman yang baru saja putus dari hubungan toksik, saya ajak kembali menyayangi diri sendiri. Berikan diri kita waktu untuk grieving, untuk berkabung. It's okay to not be okay. Kita manusia. 

Di sisi lain, mungkin sebagai distraksi, perlahan kita merawat diri dengan istirahat yang cukup, untuk memulihkan tenaga setelah habis terkuras pada hubungan toksik yang telah lewat. 

Atau untuk mengisi "rasa kosong", kita dapat berolahraga, melakukan hobi yang sempat kita tinggalkan, atau kita dapat mengedukasi diri bagaimana untuk pulih usai memutus hubungan toksik. 

Salah satu cara yang rekan saya anjurkan adalah menjadi voulenteer, relawan kegiatan sosial. Tidak perlu terlibat dalam kegiatan besar. Memedulikan kaum miskin papa di sekitar kita, itu juga sebuah aktivitas sosial, bukan? 

Dengan demikian, energi yang dulu kita curahkan untuk pasangan toksik mampu tersalurkan. Saya yakin, bila ada kepedulian kepentingan liyan, kita pun ikut bertumbuh di dalamnya. 

#3 Seperti dalam lead saya, our connection determines our future. Bila saya boleh terjemahkan secara bebas: hubungan kita menentukan masa depan kita. 

Kembali membuka diri pada relasi yang pernah ditinggalkan karena pernah terisolasi dalam hubungan toksik. Kembali terhubung dengan rekan-rekan, komunitas, saudara, atau keluarga. Lingkungan yang aman. Lingkungan yang dapat membantu untuk bertumbuh. 

Bila perlu, terhubunglah dengan ahli kesehatan profesional yang dapat membantu kita untuk pulih. Kita akan mendapatkan treatment yang tepat. Go seek for help. 

Mari berwelas asih pada diri kita. Tidak mudah? Perlu perjuangan? Merawat memang bukan hal yang mudah. Terlebih merawat luka dalam diri kita. Kadang terasa perih, kadang ingin berhenti. Kadang ingin mengulang lagi hal yang "seru" dalam hubungan kita dulu. 

Kadang pun kita ingin sesegera mungkin menjalin hubungan baru dengan orang baru. Hmm, perlu diingat, bila luka belum sembuh benar, kita akan berpotensi untuk menjadi pelaku atau kembali terjebak dalam hubungan toksik yang seperti dulu dengan orang yang baru. 

So, pastikan luka itu sembuh. Paling tidak, kita bisa mengingat atau bercerita tentang pengalaman buruk tersebut tanpa ada rasa sakit hati dalam diri kita. 

Selamat menjalani proses hayat kita. Selamat bertumbuh bersama. 

Salam sehat, salam sadar. 

Penulis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun