Ada batasan yang digunakan dalam paradigma umum, di mana seseorang atau sebuah kondisi dikatakan sebagai toxic.Â
Yaitu bila kondisi atau sikap seseorang tersebut bersifat manipulatif, tidak peduli kepada sesama (no empathy), atau juga sikap seseorang yang playing victim.Â
Bila seseorang berada dalam hubungan yang toksik berarti ia berada pada beberapa kondisi:
#1 Sebuah relasi yang mengisolasi. Korban dalam hubungan toksik akan memutuskan hubungan dengan orang lain selain pasangannya. Bahkan dalam beberapa kasus, korban akan memutuskan hubungan dengan keluarga, rekan, sahabat, yang pada masa dahulu menjadi circle korban.Â
#2 Tidak memedulikan kebutuhan dirinya sendiri. Menganggap bahwa kebutuhan pasangannya tersebut merupakan kebutuhan paling penting. Sehingga, tidak jarang korban tidak bertumbuh menjadi siapa dirinya sendiri.Â
Kasus seperti ini terjadi bila pelaku adalah seseorang yang senang memanipulasi. Korban gaslighting ada yang sering mengalami delusi, hingga menderita scizhophrenia hanya karena merasa dirinya tidak berharga.Â
Korban hubungan beracun secara sadar merasa tersiksa dalam relasinya tersebut. Namun, kebanyakan dari mereka merasa tidak mampu keluar dan memutuskan hubungan tersebut.Â
Bahkan ia "senang" bila merasa dapat memenuhi keinginan atau kebutuhan si pelaku. Meskipun pada kenyataannya, apa yang terjadi adalah hanya perasaan dan pikiran si korban yang (biasanya) tidak sama dengan realita.Â
Keluar dari rantai relasi beracun memang tidak mudah. Akan ada sakit. Akan ada kehilangan. Akan ada kesepian karena hilangnya kehadiran pasangan. Akan ada masa duka. Sungguh sebuah kondisi yang tidak mudah untuk dapat kembali lagi.Â
Namun, satu yang seringkali kita lupakan. Self love. Kata yang tidak asing bukan? Tentu tidak!Â