Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

IMO, Don't Get Wrong Siapa Takut Pakai Bahasa Jaksel?

13 Januari 2022   19:45 Diperbarui: 15 Januari 2022   13:31 1625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berbahasa adalah pilihan setiap orang |via unsplash @brett jordan

"Hahaha... miminku, you're nothin but dha best. FYI, barusan nangkring in my head. Just to be honest, jujurly ai lop yu"

Well, begitulah komentar saya untuk Mimin yang sukses membaca isi kepala saya. Akhirnya topil bahasa Jaksel moentjoel ke permukaan. Ahaay! 

Bahasa gaul yang dipopulerkan oleh anak-anak Jakarta Selatan pada awalnya mendapat pertentangan keras. 

Kontroversi tersebut timbul dikarenakan penggunaan bahasa Indonesia yang dianggap meninggalkan marwah bahasa negri sendiri. Atau karena komunikan kurang dapat menangkap kosakata dalam bahasa gaul sehingga pesan kurang tersampaikan dengan baik? Entah. 

Bagi beberapa orang, pandangan ini justru membuat pengejawantahan bahasa hanya ditilik dari sudut pandang hitam atau putih. Antara baik dan benar pada saat pemilihan kosakata dalam percakapan. 

Bahasa Jaksel yang unik mulai mewabah di kalangan generasi Z melalui komunikasi dalam beragam aplikasi perpesanan jejaring sosial. 

Mari kita sedikit mengulik proses komunikasi baik secara lisan maupun tulisan. 

Harold Dwight Lasswell, pencetus Teori Komunikasi membagi komponen proses komunikasi ke dalam lima unsur. Komunikan ( si penerima pesan), komunikator (si pemberi pesan), pesan, media, efek. 

Mau komunikasi kita menjadi harmonis? Ya, kelima unsur tersebut harus bersinergi. Tak lepas pula kontrol emosi (yang ini ga boleh terlewatkan), Saudara. 

Permasalahan yang timbul dalam penggunaan  bahasa belibet ini adalah pemahaman pesan informasi dalam tutur komunikator. Ya, pesan tidak akan tersampaikan bila tidak ada kesepahaman antara komunikan dan komunikator. 

Wah, macam perkara usreg pendirian Menara Babel nih, gaes. Alih-alih pesan tersampaikan. Yang terjadi malah tensi darah komunikan semakin mendidih. Mungkin juga berakhir dalam dilema overthinking, atau malah jadi overreacted. 

Nah kan, saya jadi ikut-ikutan?

Faktor aktivitas keseharian membuat saya kerap berdekatan dengan generasi Z. Entah dalam pekerjaan maupun dalam keseharian yang membuat saya terkadang ikut larut dalam bincang mereka. Terutama, percakapan secara texting di media sosial. 

Sebenarnya, penggunaan bahasa Jaksel ini bukan mengindikasikan tinggi rendahnya nilai nasionalisme atau tetek bengek ideologi bangsa pada diri pengguna bahasa trilingual. 

Let us use their shoes. Mari kita lihat dari angle pengguna, Saudara. 

Ada kultur yang melingkungi hingga menggugah rakyat generasi Z terutama area Jaksel yang menjadi stimulan bagi respon mereka menggubah literasi konvensional ke dalam bahasa campur aduk. 

Kondisi ini menurut ahli Linguistik Universitas Indonesia Bernadette Kushartanti adalah fenomena yang tak dapat dielakkan (bbc.com). Karena dalam hidup berkomunitas sosial, pasti ada resiko kontak antar bahasa yang mempengaruhi warna dalam penggunaan bahasa percakapan. 

Toh dari generasi ini pun saya mendapati ada beberapa di antara mereka yang menyukai karya ilmiah. Bahkan ikut ambil bagian dalam lomba penulisan karya ilmiah anak bangsa. 

Berikut ini pendapat pengguna bahasa trilingual yang ada di sekitar saya. Anak-anak ini berada pada rentang usia SMA. 

Pada umumnya, alasan generasi Z menggunakan bahasa trilingual (dalam hal ini bahasa daerah Jawa, Inggris, dan bahasa Indonesia) hanyalah seputar kenyamanan dalam percakapan semata. 

Bagi mereka menggunakan bahasa Indonesia yang formal dalam percakapan secara tertulis maupun lisan informal dianggap monoton, kaku. Tidak ada variasi. 

Pada beberapa kasus, ada di antara mereka  yang belum fasih dan terampil dalam menggunakan kosakata bahasa Inggris. Sementara, kultur bahasa ibu yakni bahasa daerah masih tetap melekat. So, jadilah bahasa campuran yang TBH terkesan ruwet dan njundhet. 

Bagi anak-anak Jaksel ada kebiasaan yang terbangun ketika mereka menggunakan bahasa asing, dalam hal ini bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di sekolah formal mereka. Kebiasaan inilah yang membuat kosakata bahasa Indonesia mereka menjadi sangat minim. 

Nah, saya lebih sepakat dengan salah satu opini anak remaja yang satu ini, "Kenapa mesti diributin? The point is, kita mesti tahu kapan kita gunakan bahasa Jaksel itu. Which is, kudu bisa mbedain antara saat pertemuan formal atau saat hangout ma temen."

Bagi saya pribadi terlibat dalam percakapan informal menggunakan bahasa Jaksel hanya sekadar permainan kata. Ya, itung-itung aktivitas relaksasi pengusir gabut di saat galau. Alias, just for fun. FYI, saya juga pernah mengajar bahasa Inggris. 

BTW, tidak semua pengguna bahasa Jaksel pun menyepakati penggunaan trilingual. Kebanyakan dari mereka lebih memilih dwilingual. Lagi-lagi, ini masalah kenyamanan. 

Saya paham mungkin sedari tadi Anda semua merasa risih dengan segala singkatan yang saya tulis dalam huruf kapital berwarna merah. Atau aksara bercetak miring. Apa sih, artinya? Jadi ga jelas. 

Nah, daripada Anda naik pitam, saya geber sebagian bahasa Jaksel yang mungkin terkesan ugal-ugalan. 

Yuk, saya kenalkan beberapa kosakata yang kerap digunakan dalam bahasa Jaksel. 

#1 CMIIW, Correct Me If I'm Wrong. Kosakata ini digunakan bila kita ingin menyampaikan  pendapat kita yang sok pintar. Kadang terkesan menimbulkan efek ragu.

Misalkan, "Ih, Tante Lydia itu emang suka bebek goreng. Cmiiw, iya ga?"

#2 IMO,  In My Opinion. Perdebatan yang panjang akan semakin seru bila kita menambahkan IMO di belakang kalimat awal. 

Misal, "Latte itu emang legit, ada manis dan gurih susu ngeblend ama kopinya. But IMO, keknya latte yang ini susunya overwhelmed deh."

#3 FOMO, insecure, gaslighting, ghosting, insecure, positive vibes, negatif vibes, dan vibes-vibes yang lain. 

FOMO, Fear of missing out. Istilah-istilah tersebut seringkali muncul dalam percakapan yang mereka sebut deep talk, percakapan hingga di atas 2 jam. Tak luput, anxiety, verbal abuse, cringe, dan kalau ingin diteruskan, bakal bikin kitab baru tandingan DSM-5.

FYI, anak Jaksel memang sangat peduli dan senang akan dunia mental health. Meskipun penggunaan istilah mental health terkesan berlebih dan bahkan bias makna. 

Misal, "Sumpe gue FOMO nih. Ternyata picky tuh artinya orang yang susah milih pacar. And then red flag itu kaga pernah dipilih jadi pacar. Ughh keknya gue jadi insecure nih."

#4 Overthinking, Overreacting, overwhelmed, overrated, dan over-over yang lainya. 

Entah mengapa anak-anak Jaksel senang sekali menggunakan kata berawalan over. Mungkin bagian ini tidak perlu saya ulas banyak karena pada dasarnya, bahasa Jaksel diartikan per kata. 

Misalnya, "gile, beib. Kantor gue tuh bener-bener bikin gue overwhelmed. Ga ada jam kerja nine to five. Gue jadi overrated tau ga si. Udah gitu gaji gue underpaid, lagi."

#5 TBL, MBL, KBL, dan semua yang pake akhiran konsonan B dan L. 

Nah, istimewanya singkatan anak-anak Jaksel yang kekadang membuat sebel adalah yang belakangnya ada kata "lhoh".

TBL : Takut Banget Lhoh

MBL: Mager Banget Lhoh

KBL : Keren Banget Lhoh

Dan masih banyak niatan anak-anak Jaksel menggabungkan semua kata dengan " Banget Lhoh". 

#6 TBH, naturally, honestly, hingga jujurly. 

TBH, singkatan dari to be honest, atau biasanya anak Jaksel menggunakan honestly, bahkan ada yang memakai bahasa Indonesia yang diberi akhiran -ly dibelakangnya. Seperti, jujurly yang biasanya kerap digunakan di kolom komentar tweeter. 

Saya melihat fenomena ini sebagai ajang kreativitas dengan catatan. Boleh saja menggunakan bahasa Jaksel atau bilingual, atau trilingual. 

Asal kita tahu artinya, asal lawan bicara kita pun tahu artinya, asal kita tahu batasan kapan dan pada media apa kita menggunakan bahasa Jaksel tersebut. 

Hmm, seperti biasanya. Dari sudut pandang mana pun, bahasa adalah ungkapan rasa. Siapa pun kita berhak memilih menggunakannya. Take it or leave it. 

Ah, sudah terlalu banyak karakter. Bisa-bisa overwhelmed and too much information, nih. Ya, asal gue ga underpaid aja gengkuh. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun