Wah, macam perkara usreg pendirian Menara Babel nih, gaes. Alih-alih pesan tersampaikan. Yang terjadi malah tensi darah komunikan semakin mendidih. Mungkin juga berakhir dalam dilema overthinking, atau malah jadi overreacted.Â
Nah kan, saya jadi ikut-ikutan?
Faktor aktivitas keseharian membuat saya kerap berdekatan dengan generasi Z. Entah dalam pekerjaan maupun dalam keseharian yang membuat saya terkadang ikut larut dalam bincang mereka. Terutama, percakapan secara texting di media sosial.Â
Sebenarnya, penggunaan bahasa Jaksel ini bukan mengindikasikan tinggi rendahnya nilai nasionalisme atau tetek bengek ideologi bangsa pada diri pengguna bahasa trilingual.Â
Let us use their shoes. Mari kita lihat dari angle pengguna, Saudara.Â
Ada kultur yang melingkungi hingga menggugah rakyat generasi Z terutama area Jaksel yang menjadi stimulan bagi respon mereka menggubah literasi konvensional ke dalam bahasa campur aduk.Â
Kondisi ini menurut ahli Linguistik Universitas Indonesia Bernadette Kushartanti adalah fenomena yang tak dapat dielakkan (bbc.com). Karena dalam hidup berkomunitas sosial, pasti ada resiko kontak antar bahasa yang mempengaruhi warna dalam penggunaan bahasa percakapan.Â
Toh dari generasi ini pun saya mendapati ada beberapa di antara mereka yang menyukai karya ilmiah. Bahkan ikut ambil bagian dalam lomba penulisan karya ilmiah anak bangsa.Â
Berikut ini pendapat pengguna bahasa trilingual yang ada di sekitar saya. Anak-anak ini berada pada rentang usia SMA.Â
Pada umumnya, alasan generasi Z menggunakan bahasa trilingual (dalam hal ini bahasa daerah Jawa, Inggris, dan bahasa Indonesia) hanyalah seputar kenyamanan dalam percakapan semata.Â
Bagi mereka menggunakan bahasa Indonesia yang formal dalam percakapan secara tertulis maupun lisan informal dianggap monoton, kaku. Tidak ada variasi.Â