Pada beberapa kasus, ada di antara mereka  yang belum fasih dan terampil dalam menggunakan kosakata bahasa Inggris. Sementara, kultur bahasa ibu yakni bahasa daerah masih tetap melekat. So, jadilah bahasa campuran yang TBH terkesan ruwet dan njundhet.Â
Bagi anak-anak Jaksel ada kebiasaan yang terbangun ketika mereka menggunakan bahasa asing, dalam hal ini bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di sekolah formal mereka. Kebiasaan inilah yang membuat kosakata bahasa Indonesia mereka menjadi sangat minim.Â
Nah, saya lebih sepakat dengan salah satu opini anak remaja yang satu ini, "Kenapa mesti diributin? The point is, kita mesti tahu kapan kita gunakan bahasa Jaksel itu. Which is, kudu bisa mbedain antara saat pertemuan formal atau saat hangout ma temen."
Bagi saya pribadi terlibat dalam percakapan informal menggunakan bahasa Jaksel hanya sekadar permainan kata. Ya, itung-itung aktivitas relaksasi pengusir gabut di saat galau. Alias, just for fun. FYI, saya juga pernah mengajar bahasa Inggris.Â
BTW, tidak semua pengguna bahasa Jaksel pun menyepakati penggunaan trilingual. Kebanyakan dari mereka lebih memilih dwilingual. Lagi-lagi, ini masalah kenyamanan.Â
Saya paham mungkin sedari tadi Anda semua merasa risih dengan segala singkatan yang saya tulis dalam huruf kapital berwarna merah. Atau aksara bercetak miring. Apa sih, artinya? Jadi ga jelas.Â
Nah, daripada Anda naik pitam, saya geber sebagian bahasa Jaksel yang mungkin terkesan ugal-ugalan.Â
Yuk, saya kenalkan beberapa kosakata yang kerap digunakan dalam bahasa Jaksel.Â
#1 CMIIW, Correct Me If I'm Wrong. Kosakata ini digunakan bila kita ingin menyampaikan  pendapat kita yang sok pintar. Kadang terkesan menimbulkan efek ragu.
Misalkan, "Ih, Tante Lydia itu emang suka bebek goreng. Cmiiw, iya ga?"
#2 IMO,  In My Opinion. Perdebatan yang panjang akan semakin seru bila kita menambahkan IMO di belakang kalimat awal.Â