Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Leburnya Eijkman ke Dalam BRIN: Riset Kalis atau Menangis?

4 Januari 2022   22:21 Diperbarui: 5 Januari 2022   08:03 2367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
LBME yang kini telah berganti kostum PRBM Eijkman | via instagram.com @eijkmaninstitute

Bagi kita, liburan awal tahun mungkin akan terasa lebih menyenangkan. Suasana santai, berlibur, jalan-jalan bareng orang terdekat, berhaha hihi dengan kerabat, atau apalah apalah. Well, it will be a nice thing. 

Sangat berbeda dengan ribuan pekerja honorer di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. Bagi mereka liburan awal tahun ini adalah bencana besar dalam rumah tangga mereka. 

Awal tahun ini merupakan kejutan besar bagi para pekerja lembaga biomolekuler yang dulu sempat berlindung di bawah sayap Kementrian Riset dan Teknologi ini. 

Berita peleburan Eijkman di bawah naungan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengejutkan banyak pihak. Terlebih bagi mereka yang berstatus non periset honorer. 

Perpres No.78 Tahun 2021 menjadi rujukan bagi leburnya LBME beserta 39 balitbang yang lain semenjak tanggal 1 September 2021 yang lalu 5 entitas negri yang pada masa terdahulu berdiri independen, resmi bergabung dalam BRIN. 

Lembaga Biologi Molekuler Eijkman | via instagram.com @eijkmaninstitute
Lembaga Biologi Molekuler Eijkman | via instagram.com @eijkmaninstitute

Kelima entitas tersebut antara lain BATAN (Badan Tenaga Atom Nasional), LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional), LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi), dan Kemenristek termasuk di dalamnya LBM Eijkman. 

Dalam konpers-nya, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko (LTH) menjelaskan bahwa peleburan ini adalah solusi terbaik yang mampu diberikan oleh pemerintah kepada para periset yang selama ini berdedikasi penuh dengan gelar formal S3. 

Beberapa waktu yang lalu, keputusan pemerintah terkait LBME memang menuai beragam pendapat publik. Pro dan kontra? Ya, selalu ada kontroversi di balik sebuah keputusan birokrat. 

Seiring dengan begitu beragamnya opini publik, banyak yang mengaitkan keputusan ini dengan kepentingan politik. Ya, maklum.. netijen +62 memang selalu menyukai cocokologi, kelirumologi, dan logi-logi lainnya. 

Terlebih, negara ini sudah kian mendekati tahun politik. Apapun isu yang sedang bergulir pasti nikmat untuk dijadikan menu bahasan yang menggelitik. 

Beragam argumen seperti biasa muncul berkaitan dengan acara "pamitan" Eijkman via jendela media sosial mereka.

tangkapan layar pamitan Eijkman | via Twitter.com @eijkman_inst
tangkapan layar pamitan Eijkman | via Twitter.com @eijkman_inst

Sebagai masyarakat awam yang sering berkunjung di platform penyedia jurnal riset, saya pribadi pun terusik dengan kabar berita ini. Terlebih LBM Eijkman pada rentang waktu 2-3 tahun ini bukanlah lembaga riset independen yang asing di kuping masyarakat. 

Pandemi covid mengantar massa merasa dekat dengan hasil riset LBM Eijkman. Salah satunya adalah PCR (yang akhirnya telah diberhentikan) dan riset vaksin Merah Putih (hey, gimana kabarnya?). 

Merujuk pada pernyataan Handoko mengenai perbaikan mutu hasil riset negri ini, mungkin pengambilan langkah integrasi beberapa entitas negri adalah opsi terbaik. Mengapa? 

Yuk kita tilik sebentar sampai seberapa jauh hasil riset anak negri yang dipublikasikan ke dunia internasional. 

Melalui laman www.scimagojr.com diketahui bahwa Indonesia sepanjang tahun 2017-2020 kemarin mengalami peningkatan jumlah hasil riset yang go internasional. 

Pada tahun 2016 kemarin, terlepas dari varian subjek hasil penelitian Indonesia berhasil mengunggah 12.701 dokumen. Sedang pada tahun 2018 terdapat 34.918 dokumen. Peningkatan terjadi pada tahun 2020 Indonesia berhasil setor sebanyak 50. 145 dokumen. 

Atmosfer penelitian di Indonesia semakin cerlang? Entah. Yang jelas, hal ini cukup membawa angin segar bagi para stakeholder hasil penelitian. 

Paling tidak, kita dapat menjawab ketersediaan kebutuhan masyarakat yang 6 tahun lalu tertertinggal jauh dari negeri Jiran, Malaysia. 

Namun, apakah peningkatan ini juga berimbang dengan terpenuhinya standar prevalensi kebutuhan penduduk pengguna dengan ketersediaan jurnal? Perkara inilah yang selayaknya mendapat perhatian tersendiri dari BRIN mendatang. 

Dampak Intervensi Ideologi: Degradasi Hasil Risetkah Ini? 

LBME yang kini telah berganti kostum PRBM Eijkman | via instagram.com @eijkmaninstitute
LBME yang kini telah berganti kostum PRBM Eijkman | via instagram.com @eijkmaninstitute

Pengangkatan Megawati Soekarnoputri sebagai pimpinan Dewan Pengarah BRIN menimbulkan banyak polemik di kalangan masyarakat luas. 

Ini jelas menjadi kekhawatiran bagi dunia riset Indonesia. Terlihat jelas pada pasal 6 Perpres tersebut di atas, yang menjelaskan tentang tugas Dewan Pengarah. 

Yaitu "memberikan arahan kepada Kepala dalam merumuskan kebijakan dan penyelenggaraan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan serta invensi dan inovasi, penyelenggaraan ketenaganukliran, dan penyelenggaraan keantariksaan menjadi landasan dalam perencanaan pembangunan nasional di segala bidang kehidupan yang berpedoman pada nilai Pancasila."

Terlihat indah. Begitu idealis. Namun bagi beberapa kalangan, alih-alih idealis. Perkara ini merupakan mimpi buruk bagi independensi sebuah riset. Mereka menganggap ada intervensi ideologi yang akan mempengaruhi hulu sebuah riset; kepustakaan! 

Begitu pula kekawatiran masuknya kepentingan politik kembali menjadi bahan bahasan di media sosial. 

Tak mampu terbayangkan bila terjadi benar degradasi ilmu pengetahuan hanya untuk segelintir kepentingan pihak tertentu. 

Sebuah hasil riset, penelitian sudah sepatutnya berdiri secara independen. Independensi merupakan komponen kredo masyarakat terhadap hasil dari riset tersebut adalah murni, kalis dari lapangan. Oh, goodness.    

Bagi para penikmat jurnal penelitian, termasuk saya, sudah kepalang terkejut dengan  berita tersebut. Riset yang selama ini dipercaya dilakukan secara independen, kini berstatus terstrukur secara sentralis. 

Pertanyaan publik pun menggulir pada peleburan ini merupakan satu dari sekian cara negara memangkas budget pada pos-pos tertentu. Mengambil simpulan dari fakta bahwa pandemi covid-19 telah memporak-porandakan ekonomi di setiap negara, termasuk Indonesia. 

Hemat pangkal kaya? Hmm, it's all about choises, right? 

Next, dimensi negatif dari peleburan ini adalah terputusnya rantai penghasilan para tenaga honorer yang berbasis kontrak di lembaga pemerintahan. Sesuai peraturan yang ada, mereka akan dihentikan tanpa pesangon. Saya hanya berharap, ini tidak akan menambah beban mental bagi rakyat terdampak. 

Mengintip tutur Kepala BRIN, Handoko via cnnindonesia.com (4 Januari 2022), secara keseluruhan ada 39 kementrian/ lembaga riset akan dilebur ke dalam BRIN. 

Apakah kebijakan ini pun nantinya tidak akan berpengaruh pada hasil riset para peneliti? 

Berkaca pada pengalaman Amerika saat Trump mengandalkan firasatnya ketika mengambil kebijakan negara di tengah meningkatnya korban terpapar virus covid-19 di Amerika. Semoga saja tidak terjadi di negri ini.

Salam, 

Penulis 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun