Kau sangat tahu aku bukan penyuka pedas. Tapi, malam itu choi pan mengantarkanku pada rasa yang berbeda. Seakan aku tak ingin meninggalkan Pontianak malam itu.Â
Kau dan sebuah rasa yang menakjubkan!Â
Belum lagi, saat aku dan legitimasi lidahmu harus tertahan sebentar di kota penuh sensasi. Hongkong van Borneo, Singkawang.Â
Kala itu manusia belum terbungkus protokol kesehatan seperti saat ini. Singkawang begitu menyita indera dengan pesona ajaibnya. Begitupun dirimu malam itu. Matamu, senyummu, dan lembut jemarimu yang menyentuh pipi kasarku.Â
Kita terhanyut dalam tebaran warna lampion. Melebur bersama dentang sepasang simbal menyusupi tarian barongsai.Â
Terlebih hadirnya sejumput mie kering meringkuk dalam mangkuk kuliner kita di kedai pinggir jalan. Mie lembut dengan kuah daging sapi begitu otoriter menjelajah dan menjajah kepasrahan lidah kita. Berdua.Â
Hmm, aku begitu fasih dengan intuisiku, Sinar. Memilihmu di antara wanita cantik lainnya bukan lagi soal rasa.Â
Kau berlebih dengan rasamu. Dan aku hanya manusia yang mengagumi seluruh hidupmu. Bahkan, keras kepalamu, juga superioritasmu yang selalu dapat kau tundukkan hanya dengan kata "iya" dariku.Â
"Makanan adalah nilai dari kejujuran. Itu yang aku tahu. Kadang, yang tidak cocok, yang tidak serasi, yang berasa kurang pas tidak perlu dijadikan satu," itu kilahmu saat mencoba semangkuk rujak soto Banyuwangi. Sedikit. Tanpa keluh apapun lagi, kau tinggalkan suapanmu.Â
Aku iyakan saja. Meskipun bagiku tidak ada yang salah dengan masakan itu.Â
Bumbu kacang dan petisnya begitu terasa segar, menyatu besama sayur rebus yang ditaburi toping jeroan sapi. Dan yang paling membuat cacing dalam perutku meronta adalah kuah soto yang begitu kusyuk menohok hidungku.Â