Ah, kini kau kembali menatap danau buatan di taman kota. Kau masih cantik, Sinar. Kau punya bola mata cantik yang selalu memandangku dalam beragam bahasa. Dan aku pasti tahu apa maumu.Â
Aku juga ingat kegilaanmu saat menuturkan segala rasa masakan. Seumpama diorama emosi, kau selalu berujar bagaimana makanan mampu mengodifikasikannya.Â
"Tahu ga? Kalau bebek panggang Koh Liem ini satu dari sekian banyak metafora kebudayaan," begitulah mukadimahmu  setiap kali mampir ke warung Babah Liem di pojok gang rumahmu.Â
Aku tahu, memang daging bebek panggang Koh Liem sangat lembut. So, juicy. Sama seperti convit de canard bintang lima yang biasa aku kunjungi bersama klien kantorku.Â
Bedanya, hanya di masalah harga, packaging, dan sentuhan hospitality penjual. Harga di sana bisa jadi tiga hingga empat kali lipat. Dari sisi packaging ya... Babah Liem hanya mengunduh ilmu warisan dari generasi sebelum dia, kan?Â
"Kamu mau ga kalo besok kita dinner di Dine Inn?" kupikir kau akan senang dengan tawaranku ini.Â
Wanita mana yang tak akan luluh dengan tawaran seperti itu. Dine Inn sebuah restoran mahal di kota kami.Â
Tapi, ternyata kau lebih gila dari dugaanku. Atas promosi jabatan ku, kau ingin menghadirkan choi pan ke dalam mulut rakusku.Â
Ya, kita berdua memang gila saat itu. Terbang ke Borneo hanya demi menikmati perpaduan kekenyalan choi pan. Merasakan lembutnya si putih tepung tapioka dan tepung beras berpadu dengan padanan daging, daun kucai, serta sedikit wortel di dalamnya.
"Gimana menurutmu?"
"Kek dimsum yha? Ada gurih, tapi sambal ebinya wuiiiih. Jawara!!" kau meringis melihat teriakku dalam peluh.Â